Ini seperti demam pelatih Asia yang sempat melanda sepakbola Asia Tenggara.
Seperti di Asia, sepakbola Afrika selama bertahun-tahun didominasi pelatih-pelatih asing, khususnya dari Eropa. Tapi, fenomena berbeda terjadi di Piala Afrika 2021. Faktanya, 14 dari 24 kontestan menggunakan pelatih produk dalam negeri.

Sepakbola di Afrika terlanjur akrab dengan pelatih-pelatih Eropa seperti Prancis, Jerman, Belanda, Inggris, hingga Serbia. Nama-nama seperti Philippe Troussier, Claude Le Roy, Winfried Schefer, Herve Renard, Bruno Metsu, hingga Milovan Rajevac sudah dianggap warga Afrika. 

Entah karena faktor warisan kolonial atau memang memiliki ilmu yang lebih baik, fakta menunjukkan sangat jarang pelatih lokal diberi kepercayaan menukangi tim nasional. 

"Pelatih asing selalu mendapat lebih banyak bantuan keuangan, dan ini membuat pekerjaan mereka lebih mudah," kata Pelatih Mali, Mohamed Magassouba, dilansir Deutche Welle.

Meski pelatih asing dominan, fakta membuktikan kualitas produk domestik juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Dari 32 edisi Piala Afrika sejak 1957, 15 diantaranya dimenangkan pelatih lokal. Bahkan, Charles Kumi Gyamfi dari Ghana dan Hassan Shehata dari Mesir mengangkat masing-masing tiga trofi.

Bagi beberapa pengamat sepakbola Afrika, alasan lain mengapa pelatih dari benua itu diabaikan demi orang Eropa adalah kurangnya ambisi. Jurnalis Mali, Bakary Cisse, yang telah meliput Piala Afrika selama lebih dari 20 tahun percaya bahwa mereka mendapatkan reputasi itu melalui gaya kerja mereka.

"Pelatih lokal pada umumnya tidak dihormati. Bahkan, ketika mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan dan kualifikasi yang sama dengan orang Eropa, mereka tidak mengambil kesempatan ketika mereka mendapatkannya," kata Cisse.



Tapi, perlahan dan pasti, semuanya berubah di Piala Afrika tahun ini. Mali contohnya, mempekerjakan Magassouba. Awalnya, dia ditunjuk sebagai pelatih sementara pada 2017. Kemudian, diberi pekerjaan secara permanen pada 2019. Pengalamannya, melatih Daring Club Motema Pembe pada 1990-an. Itu merupakan salah satu periode paling sukses dalam sejarah klub Kongo. Dia juga sempat membesut RD Kongo.

Sebagai pelatih Mali, Magassouba tidak hanya mengelola tim senior. Dirinya juga dipercaya menukangi tim junior. "Sejak saya mengambil alih, kami mengubah mentalitas para pemain berdasarkan semangat," jelas Magassouba.

Menurut Magassouba, hanya pelatih lokal yang memahami betul kebudayaan para pemain, tentang bagaimana pemain Afrika berpikir, dan apa yang mereka butuhkan untuk tampil. Dia berharap kiprahnya di Mali akan mengilhami asosiasi sepakbola di Afrika lainnya untuk mulai mempekerjakan pelatih lokal.



Ternyata, langkah Mali diikuti beberapa negara Afrika lainnya seperti Burkina Faso, Senegal, hingga Aljazair. Bahkan, Aljazair memenangkan Piala Afrika edisi terakhir dengan pelatih lokal, Djamel Belmadi.

Menurut Direktur Teknik Burkina Faso, Pascal Yougbare, negaranya telah menempatkan fokus pada pengembangan pelatih lokal selama 10 tahun terakhir, dengan dukungan FIFA dan CAF. "Yang berubah adalah kesadaran akan potensi negara sendiri dan kebutuhan untuk mengembangkan sumber daya lokal," kata Yougbare. 

Faktanya, selain Mali, Burkina Faso, Senegal, dan Aljazair, 10 negara lainnya juga menggunakan pelatih lokal. Sebut saja Cape Verde, Ethiopia, Guinea, Zimbabwe, Guinea-Bissau, Nigeria, Sudan, Guinea Khatulistiwa, Sierra Leone, dan Tunisia.