Di Italia, ketika laga tinggal 15 menit lagi dan tim Anda sudah unggul 1-0, maka Anda habis-habisan mempertahankan hasil itu.
Pernah dalam satu pekan, tepatnya 16 Oktober 2011, lima laga Seri A Italia berakhir dengan hasil 0-0. 14 gol tercipta dalam 10 laga atau rata-rata 1,4 gol per laga.
 
Hasil itu setidaknya menjadi pembenaran dari kalimat terkenal yang pernah diungkapkan jurnalis legendaris Italia Giani Brera: “Hasil paling sempurna dari sebuah pertandingan sepak bola adalah 0-0.”

Selain kalimat legendaris itu, Giani Brera adalah penemu kata yang sangat terkenal hingga kini libero, dalam bahasa Italia artinya bebas. Dalam terminologi bola, libero adalah tipikal bek tengah yang menyapu bola setiap kali lawan menembus garis pertahanan terakhir. Istilah Inggrisnya adalah sweeper.

Brera yang bekerja untuk La Gazzetta dello Sport, meninggal pada kecelakaan mobil tahun 1992 lalu. Kecelakaan ini datang tidak lama setelah pada suatu pekan, Seri A menghasilkan 48 gol dari 9 laga atau rata-rata 5,33 gol per game. Ketika Italia merayakan pekan itu sebagai angin perubahan, Brera menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap sepak bola Italia.

MISKIN GOL

Sebagai sebuah bangsa sepak bola, Italia punya filosofi berbeda dari bangsa lainnya. Dalam bukunya “Italian Job”, Gianluca Vialli pernah menjelaskan apa yang sesungguhnya membedakan sepak bola Italia dengan Inggris. Vialli mengutip kata-kata Sven Goran Eriksson, pria yang pernah berkelana di Italia maupun Inggris.



“Beda Italia dengan Inggris, di Italia, ketika laga tinggal 15 menit lagi dan tim Anda sudah unggul 1-0, maka Anda habis-habisan mempertahankan hasil itu. Di Inggris, Anda akan terus menyerang, seintens dan seaktif sebelumnya. Penonton tidak akan menerima cara main yang lain,” kata Eriksson dikutip dari Italian Job. 

Bagi Giani Brera, bagian paling signifikan dari keindahan sepak bola terletak pada skor minim. 

Logikanya, bertahan adalah menghalalkan segala cara untuk menghindari terciptanya gol dalam sebuah pertandingan. Statistik pun mendukung argumen bahwa gol di Liga Italia, tidak sebanyak jika dibandingkan liga papan atas Eropa lainnya. Dikutip dari Mirror (09/05/2014), rata-rata gol kompetisi Seri A sebanyak 5 musim dari tahun 2010 sampai 2014 mencapai 2,6 gol per laga. Rerata ini paling sedikit jika dibandingkan La Liga (2,77), Premier League (2,79) dan Bundesliga (2,94). 

Jika melihat data itu, di Italia bertahan adalah seni terbaik bermain bola. Bagi Giani Brera, bagian paling signifikan dari keindahan sepak bola terletak pada skor minim. Gol menjadi sesuatu yang langka. Gol bernilai premium. Kemampuan sebuah tim untuk bertahan tanpa kompromi adalah elemen paling vital dalam sepak bola.

Banyak yang melupakan bahwa seni sepak bola tidak hanya terciptanya gol. Bertahan atau menghalangi terciptanya gol juga bagian dari seni. Italia adalah kawah candradimuka yang menghasilkan seniman-seniman besar dalam pertahanan. 

Salah satu bek besar yang pernah dilahirkan negeri Azzurri adalah Claudio Gentile. Menurut Gentile, sepak bola bukan untuk balerina. Dia berucap setelah habis-habisan berusaha menghentikan setiap pergerakan Maradona pada Piala Dunia 1982. Kehebatan bertahan Italia ketika itu berperan besar bagi gelar juara dunia 1982. 

Sebelum Gentile, ada nama Armando Picchi, disebut oleh bapak catenaccio Helenio Herrera sebagai master dalam bertahan. Satu era dengan Gentile, ada nama Gaetano Scirea. Berturut-turut setelah itu muncul  Franco Baresi, Paolo Maldini, Ciro Ferrara, Alessandro Costacurta, Alessandro Nesta, dan Fabio Cannavaro. Nama terakhir itu mengangkat trofi pada Piala Dunia 2006. Belakangan ini ada Giorgio Chiellini, Leonardo Bonucci, Andrea Barzagli, dan Alessio Romagnoli. 

Di luar kritik, dan stereotipe sepak bola negatif, kehebatan Italia adalah kemampuannya mempertahankan identitas sebagai raja permainan bertahan. Menurut James Richardson, mantan presenter Football Italia di  Channel 4, tidak ada negara yang punya identitas dalam permainan sepak bola, sekuat Italia.