Kisah Thomas Beattie, Pesepakbola LGBT Pertama di Liga Singapura

"Pada 2015, pemain ini pensiun setelah cedera di laga Warriors versus Geylang."

Biografi | 10 February 2022, 05:15
Kisah Thomas Beattie, Pesepakbola LGBT Pertama di Liga Singapura

Libero.id - Seperti halnya Indonesia, Malaysia, atau Filipina, Singapura juga tidak melegalkan LGBT. Tapi, bukan berarti tidak ada orang-orang penyuka sesama jenis. Bahkan, ada yang sempat menjadi pesepakbola di S-League. Thomas Beattie contohnya.

Beattie bukan pemain berkebangsaan Singapura. Dia berasal dari Inggris. Gelandang serang itu lahir di Goole, 16 September 1986. Itu sebuah kota kecil di West Yorkshire, yang berdekatan dengan markas Sheffield (United maupun Wednesday), Leeds United, hingga Hull City.

Saat kanak-kanak, Beattie selalu menonjol karena bakat sepakbolanya. Jadi, dia direkrut Akademi The Tigers saat berusia sembilan tahun. "Sepakbola adalah penyelamat saya. Saya datang dari kota kecil di Yorkshire. Saya selalu bertekad untuk tidak tinggal di sana," ujar Beattie, dilansir Goal UK.

"Saya menandatangani kontrak profesional saya di Hull ketika  berusia 16 tahun dan saya bermain untuk tim cadangan. Saya bermain bertahun-tahun di atas usia saya di akademi dan saya berada di lintasan untuk menembus tim utama," kata Beattie.

"Saya menemukan kekejaman lingkungan yang membuatnya sulit untuk mengetahui siapa saya pada saat itu. Terutama ketika anda masih remaja, dan sepakbola menjadi pekerjaan anda, fokus utama anda adalah menaiki tangga itu," tambah Beattie.

"Tapi, saya berjuang dengan sesuatu secara internal yang tidak dimiliki rekan satu tim saya. Saya tidak tahu apa itu, saya tahu bahwa lingkungan tempat saya berada tidak dapat merangkul setiap orang menjadi bagian dari diriku. Saya tidak memiliki panutan, saya tidak mengerti apa itu gay. Jadi, saya bersembunyi dibalik sepakbola, memfokuskan setiap energi untuk itu," ungkap Beattie.

Harapan Beattie untuk masuk skuad utama Hull ternyata tidak terwujud. Pada usia 19 tahun, dia keluar dari Hull dan mengambil beasiswa kuliah sambil bermain di Amerika Serikat (AS).

"Saya merasa seperti saya benar-benar harus keluar. Saya memiliki satu tahun tersisa di kontrak saya. Jadi, saya pergi ke klub dan memberi tahu mereka bahwa saya ingin pergi. Mereka sangat baik dengan saya. Mereka mengatakan mereka akan mendukung apa pun yang ingin saya lakukan," ujar Beattie. 

Beattie terkesan di AS. Dia bermain di tim kampusnya di North Carolina, Limestone College, Limestone Saints. Bahkan, setelah lulus, Beattie tidak mau kembali ke Eropa.  

Meski ditawari kontrak di klub Liga Premier Norwegia, Sandefjord, dan Kilmarnock di Liga Premier Skotlandia; Beattie memilih bermain Amerika Utara. Dia bermain untuk tiga klub Kanada, Forest City London, London City, dan Ottawa Fury. Semuanya di kompetisi kasta bawah.

Ketika Ottawa bangkrut, Beattie berstatus agen bebas. "Agen saya mengatakan kepada saya bahwa saya bisa pergi ke Singapura jika mau. Main selama satu tahun dan kemudian pindah," ucap Beattie.

Beattie awalnya menandatangani kontrak dengan Hougang United. Lalu, pindah ke Warriors pada 2014 dan memenangkan S-League di musim debutnya serta tampil di Liga Champions Asia 2015. Dia mencetak penalti dalam kemenangan adu penalti atas Yadanarbon dari Myanmar di kualifikasi pertama sebelum dikalahkan raksasa Cina, Guangzhou R&F.

"Saya pergi ke sana, dan saya jatuh cinta dengan lingkungan di sana. Saya pindah ke Warriors, kami memenangkan Liga Singapura dan lolos ke Liga Champions Asia. Itu adalah pengalaman yang luar biasa bisa bepergian ke seluruh Asia untuk bermain sepakbola," kata Beattie.

Sayangnya, setelah menemukan kesuksesan di lapangan, Beattie masih berjuang melawan iblis dalam dirinya. Itu adalah iblis LGBT yang menghantui dirinya sejak beranjak dewasa.

"Saat itulah saya benar-benar mulai berjuang dengan seksualitas saya. Saya berada di usia ketika banyak teman saya maju, menikah, punya anak, dan saya belum mengambil satu langkah pun dalam memajukan kehidupan pribadi saya," ujar Beattie.

"Saya merasa benar-benar tidak terpenuhi. Saya telah menikah dengan sepakbola sampai saat itu, dan saya baik-baik saja dengan itu. Tapi, saya mendambakan lebih banyak pemenuhan, yang tidak akan pernah diberikan sepakbola kepada saya," tambah Beattie.

Beattie merasakan keanehan dalam orientasi seksualnya sejak masih di Hull. Tapi, dia merasa tidak ada dukungan terstruktur yang cukup untuk para pemain ketika mereka memiliki masalah pribadi. Itu adalah masalah yang tidak hanya datang dari sepakbola, melainkan juga dari cara orang-orang LGBT dipandang dalam kehidupan di Inggris sebagai utuh.

"Ini masalah sosial. Ada begitu banyak kesalahpahaman seputar seksualitas dan gender. Orang berasumsi bahwa jika anda bermain sepakbola, anda tidak bisa menjadi gay," ucap Beattie.

"Di Inggris, siapa yang anda jangkau? Terutama sebagai atlet muda yang sedang berjuang. Saya tidak pernah ingin berbicara dengan siapa pun di klub saya, karena ini adalah fase eksplorasi dan perjalanan setiap orang berbeda. Anda ingin berbicara dengan seseorang yang tidak memihak, karena ketika anda memulai percakapan itu, tidak ada jalan untuk kembali," ungkap Beattie.

"Saya pikir tidak realistis bagi anak berusia 17 tahun menghubungi PFA (Asosiasi Pesepakbola Profesional Inggris) tentang seksualitas. Ada orang-orang di departemen itu yang brilian. Tapi, saya pikir untuk orang-orang di lingkungan itu, kecil kemungkinan mereka akan melakukannya," beber Beattie.

Dampak dari kesehatan mental yang buruk mempengaruhi Beattie di lapangan. Tubuhnya secara fisik menderita stres dan kurang tidur sehingga mengganggunya saat jauh dari ruang ganti stadion.

"Kami memiliki rutinitas (di sepakbola). Kami akan berlatih di pagi hari, mulai pukul 6.30 pagi sehingga kami bisa berlatih sebelum matahari tengah hari. Kami akan berlatih lagi di sore hari dengan sesi beban di sana. Jadi, itu sangat intens," kata Beattie.

"Akhirnya, saya mengalami cedera hamstring. Saya sedang berlatih dan tidur selama sekitar dua jam. Jadi saya pergi ke latihan dan mengatakan bahwa saya tidak merasa fit. Tubuh saya terasa seperti ditabrak kereta api. Itu luar biasa," ucap Beattie.

"Pelatih saya berkata, 'Lakukan pemanasan, lihat bagaimana perasaan anda'. Saya setuju, karena saya tidak pernah suka melewatkan latihan. Setelah 10 menit, saya mengalami cedera hamstring dan absen selama beberapa bulan," tambah Beattie.

Dan, puncak cedera Beattie datang pada pertandingan antara Warriors dengan Geylang International di S-League 2015. Saat itu, Beattie baru berusia 29 tahun. Dia ditantang duel striker Geylang, Lionel Felice. Dan, mereka bertabrakan.

Dalam kejadian seperti itu, hasil terburuk dalam banyak kasus adalah gegar otak. Tapi, bagi Beattie, hasilnya jauh lebih buruk.

"Saya melompat untuk menyundul bola, dan kepala saya berbenturan. Itu mematahkan lobus frontal saya, kedua rongga mata saya tertekan, dan otak saya mengalami pendarahan. Saya memiliki pecahan tulang di bagian belakang mata saya. Itu lebih seperti cedera kecelakaan mobil," ungkap Beattie.

"Itu adalah mimpi buruk yang harus saya lalui. Tapi, sejujurnya, saya melihat ke belakang dan menggambarkannya sebagai mimpi buruk yang indah. Sepakbola adalah semua yang pernah saya ketahui. Saya kehilangan sesuatu yang saya cintai. Tapi, saya menemukan diri saya dalam prosesnya," beber Beattie.

"Saya ingat saat bangun dari operasi dan berpikir bahwa saya tidak akan menghabiskan satu hari lagi untuk menyenangkan orang yang mungkin tidak akan pernah saya temui," ucap Beattie.

Namun, cedera dan pensiun dini ternyata menjadi momen Beattie untuk membuat keputusan terpenting dalam hidupnya dengan tampil di depan umum dan mengaku sebagai gay. "Itu adalah momen besar bagi saya, untuk belajar merangkul setiap bagian dari diri saya dan menerimanya," ujar Beattie.

"Setelah latihan, saya biasanya pulang ke rumah dan berbaring di tempat tidur. Saya melihat langit-langit, berdoa agar saya bangun, dan semuanya akan hilang. Saya masih berpikir jika saya bermain sekarang, saya tetap tidak akan keluar," kata Beattie tentang gejolak batinnya.

Meski LGBT masih ilegal di Singapura dan banyak negara Asia lainnya, Beattie ternyata tidak mau pulang ke Inggris. Dia memutuskan menetap di Negeri Singa. Dia menekuni bisnis kebugaran. Dia juga menemukan kesuksesan sebagai pengusaha teknologi seluler.

"Saya tahu banyak orang asing yang menikah di luar Singapura, yang pergi ke sana untuk bekerja dan suami mereka diberikan izin tinggal sesuai dengan kebijakan kerja seperti yang dianut oleh pemerintah. Saya tidak bisa berbicara banyak tentang Singapura dalam banyak hal sebagai mantan atlet yang tinggal di sana selama setengah tahun," ujar Beattie.

"Jujur, saya menemukan pengalaman yang tidak berbeda dengan Amerika, atau ke mana pun saya bepergian. Di masa depan, kami ingin itu berkembang. Tapi, itu akan memakan waktu, terutama dengan agama dan norma-norma sosial yang berbeda," tambah Beattie.

Beattie muncul secara terbuka dalam sebuah artikel di ESPN pada Juni 2020, setelah memberi tahu keluarga dan teman-teman tentang masalah seksualitasnya. Dia mengatakan tahun-tahun sejak itu adalah waktu yang paling berharga dalam hidupnya.

"Saya telah membangun dan menjual perusahaan. Saya dapat membebaskan diri saya dan menggunakan suara saya untuk mengadvokasi komunitas LGBT dan mengubah perspektif. Itu benar-benar memuaskan. Saya telah menemukan tujuan dalam sesuatu yang dulu membuat saya sakit," pungkas Beattie.

(diaz alvioriki/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network