Kenalkan Matthias Jaissle, Pelatih RB Salzburg yang Baru Berusia 33 Tahun

"Red Bull punya tradisi mencetak pelatih muda. Orang ini salah satunya!"

Biografi | 10 March 2022, 01:58
Kenalkan Matthias Jaissle, Pelatih RB Salzburg yang Baru Berusia 33 Tahun

Libero.id - RB Leipzig baru saja tersingkir dari babak 16 besar Liga Champions setelah dipermalukan Bayern Muenchen dengan skor sangat telak. Tapi, kekalahan itu tidak otomatis menutup pengakuan terhadap kualitas sang pelatih, Matthias Jaisle.

Sebelum Salzburg menyerah 1-7 pada leg kedua babak 16 besar Liga Champions, Rabu (9/3/2022) dini hari WIB, Jaissle sebenarnya sempat memiliki memori indah di Allianz Arena. Itu terjadi pada Desember 2008 saat masih menjadi pemain. Dia saat itu membela Hoffenheim di Bundesliga. 

Hoffenheim baru promosi dan harus menghadapi sang juara bertahan. Mereka memainkan sepakbola cepat dan menyerang, memenangkan 11 dari 15 pertandingan pertama di kasta elite. Mereka tiba di Bavaria dengan keunggulan tiga poin atas tim asuhan Juergen Klinsmann. 

Saat itu, Jaissle berada di jantung pertempuran. Bek tengah yang pada hari pertandingan baru berusia 20 tahun direkrut Ralf Rangnick dari Akademi VfB Stuttgart, dua tahun sebelumnya. Dan, dia segera membuktikan dirinya sebagai prospek yang sangat menjanjikan.

Jaissle adalah kunci Hoffenheim promosi pada 2007/2008. Dengan cepat, dia membuktikan dirinya sebagai salah satu bek terbaik di Bundesliga.

Malam itu adalah kesempatan terbesar dalam kariernya. Sorotan juga tertuju padanya. Pasalnya, dia ditugaskan untuk menghentikan Miroslav Klose dan Luca Toni. Dalam pertandingan yang sengit, dimainkan dengan tempo yang sangat tinggi dengan banyak tekel keras, Hoffenheim mengambil kendali, dan unggul 1-0 berkat gol Vedad Ibisevic setelah turun minum.

Jaissle menikmati permainan yang luar biasa. Tapi, dia sempat tergelincir ketika mencoba menutup ruang Philipp Lahm. Ternyata, kesalahan itu memungkinkan Bayern menyamakan kedudukan 1-1.

Kemudian, di injury time, tekel malang Andreas Beck pada Klose mengirim bola langsung ke jalur Toni. Jaissle tidak bisa mencegah striker Italia itu memastikan kemenangan dramatis 2-1. Jaissle meninggalkan lapangan dengan marah dan putus asa. Tapi, dia juga sangat bangga. 

Hasil laga itu membuat Hoffenheim menjadi peserta Bundesliga yang layak diperhatikan. Bahkan, Pelatih Jerman saat itu, Joachim Loew, mulai mempertimbangkan secara serius untuk memantau Jaissle.

Jaissle adalah kandidat paling alami. Pertahanan tengah bukanlah bagian terkuat dari Der Panzer saat itu. Bahkan, Jaissle dianggap lebih unggul dari Mats Hummels. Jadi, dia dipantau setiap minggu. Asisten pelatih Jerman, Hansi Flick, berada di tribun penonton ketika Hoffenheim menjamu Hannover pada Maret 2009.

Sayang, di situlah karier bermain Jaissle secara efektif berakhir. Saat babak kedua, berjalan beberapa menit, dia memecahkan ligamen lututnya. Cedera itu berdampak fatal karena dia tidak pernah benar-benar pulih atau mendapatkan kembali kebugaran terbaiknya.

Masalah tendon meniskus dan achilles merusak upaya comeback pada 2011. Dan, dia akhirnya terpaksa mengumumkan pensiun pada awal 2014. Itu setahun setelah terakhir bermain untuk skuad cadangan Hoffenheim.

"Saya benar-benar mencoba segalanya. Tapi, itu tidak pernah terjadi. Saya tidak tahu bagaimana tepatnya hal-hal ini akan berlanjut. Saya harus membiarkan semuanya beres dulu," kata Jaissle saat mengumumkan pengunduran dirinya yang terlalu dini sambil menangis, dilansir Kicker.

Musim panas itu, Jerman memenangkan Piala Dunia di Brasil. Jaissle akan menjadi bagian dari skuad jika tidak cedera. Tapi, takdir memang tidak bisa ditolak. Dia harus pergi dari sepakbola, mulai belajar ilmu manajemen di universitas, dan banyak bermain golf untuk mengisi waktu luangnya.

Namun, Rangnick menghubungi Jaissle. Pria yang kini melatih Manchester United tersebut memiliki pekerjaan yang ditawarkan kepada Jaissle. "Ralf sudah melihat (ada bakat) melatih dalam diri saya. Bahkan, ketika saya tidak memikirkannya sama sekali," kata Jaissle.

Ketika panggilan telepon itu datang, Rangnick bekerja sebagai Direktur olahraga untuk proyek Red Bull di Salzburg dan Leipzig. Dia melakukannya sejak akhir 2012. Dan, Jaissle diundang untuk bergabung dengan program pelatihan di departemen junior.

Di Leipzig, Jaissle membantu pelatih Hoffenheim saat ini, Sebastian Hoeness, di tim U-17. Jaissle juga berteman dengan pelatih Leicester City saat itu, Alexander Zorniger. Dan, ketika Zorniger dipekerjakan untuk mengambil alih Brondby pada 2016, dia menawari Jaissle pekerjaan sebagai asistennya.

Rangnick menyukai apa yang dikerjakan Jaissle di Denmark. Jadi, pada 2019, dia membanggilnya kembali ke Red Bull untuk menjadi pelatih tim junior di Salzburg. Dia dipandang sebagai salah satu prospek masa depan. Dia pelatih muda berbakat yang pada akhirnya akan menaiki tangga dengan sangat cepat. 

Pada Januari 2021, Jaissle dipromosikan untuk melatih FC Liefering. Itu adalah tim satelit Salzburg, yang bermain di Divisi II Austria. Dia ditunjuk untuk menggantikan kepergian Bo Svensson, yang pergi ke Mainz 05.

Kemudian, ketika Jesse Marsch dipilih untuk menggantikan Julian Nagelsmann menukangi Lepzig, Jaissle segera diumumkan sebagai pelatih tim utama Salzburg. Pada usia 33 tahun, dia menjadi pelatih Salzburg termuda yang pernah ada. Dirinya juga berusia 10 bulan lebih muda dari Nagelsmann.

"Kualitas Matthias berbicara. Saya sudah mengenalnya selama beberapa tahun. Dia masih muda, ambisius dan sangat cocok dengan klub kami," kata Direktur olahraga Salzburg, Christoph Freund, saat penunjukan Jaissle.

"Cara dia bekerja dan mengembangkan tim muda luar biasa. Dia sangat bagus. Sebagai hasilnya, dia adalah kandidat ideal kami. Dia belum menjadi nama besar. Tapi, kami semua ingin memberi kesempatan kepada pemain muda dan pelatih-pelatih muda untuk berkembang," tambah Freund.

Fans sedikit skeptis pada awalnya. Tapi, Jaissle berhasil meyakinkan mereka tentang kemampuannya dengan cepat. Di bawah asuhannya, Salzburg memainkan bola yang sangat cepat dan penuh percaya diri. Itu mengingatkan orang-orang pada Hoffenheim ketika dirinya menjadi bagai di dalamnya.

Meski usia rata-rata skuad hanya 22 tahun, Salzburg tidak takut menghadapi lawan yang jauh lebih berpengalaman. Itu adalah sesuatu yang telah mereka tunjukkan dengan mencapai target lolos ke babak gugur Liga Champions untuk pertama kalinya. Jadi, meski akhirnya disingkirkan Bayern, kepala Jaissle tetap tegak.

(diaz alvioriki/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network