Apa yang Sebenarnya terjadi? Wakil China jadi Lumbung Gol di Liga Champions Asia

"Liga Super China itu No.1 di Asia. Tapi, hasil LCA bikin malu. Kok, bisa?"

Analisis | 20 April 2022, 14:07
Apa yang Sebenarnya terjadi? Wakil China jadi Lumbung Gol di Liga Champions Asia

Libero.id - Beberapa tahun lalu, Liga Super China menghebohkan dunia dengan transfer gila-gilaan banyak pesepakbola kelas atas. Kini, pada 2022, sisa-sisa sensasi itu tidak terlihat di Liga Champions Asia. Dua wakil mereka jadi bulan-bulanan di fase grup. Apa yang sebenarnya terjadi?

Dalam daftar koefisien di Konfederasi Sepakbola Asia (AFC), Liga Super China memiliki poin 100.000. Itu artinya, berada di puncak piramida.

Di belakang Negeri Tirai Bambu terdapat Liga Qatar dengan 97.644 poin, diikuti Jepang (93.321), Arab Saudi (88.449), Korea Selatan (85.979), dan Iran (81.724). Sementara Thailand jadi yang terbaik di Asia Tenggara dengan 51.189 poin atau ada di peringkat delapan Asia.

Posisi tersebut membuat China memiliki hak mengirimkan tiga wakil otomatis ke fase grup dan satu melalui play-off. Jumlah itu sama dengan Jepang dan Arab Saudi. Entah apa sebabnya, hanya Qatar yang punya empat wakil otomatis di fase grup.

Untuk LCA 2022, China awalnya mengirimkan Shandong Taishan selaku juara Liga Super China dan Piala FA 2021. Lalu, Shanghai Port (runner-up) dan Guangzhou Evergrande (peringkat ketiga). Sedangkan Changchun Yatai (peringkat keempat) melalui play-off. 

Kemudian, hal mengejutkan terjadi. Gelombang ketiga Covid-19 melanda China setelah drawing dilakukan AFC. Akibatnya, Changchun memutuskan mundur. Begitu pula Shanghai. China hanya menyisakan Guangzhou dan Shandong.

Dengan dua wakil, seharusnya tidak masalah bagi Liga Super China untuk menunjukkan statusnya sebagai kompetisi peringkat pertama Asia. Jika anda ingat, Shandong di masa lalu pernah ditangani Sven-Goran Eriksson dan Andre Villas-Boas. Klub ini pernah dibela Asamoah Gyan.

Sementara Guangzhou jauh lebih mentereng reputasinya. Mereka adalah juara LCA 2013 dan 2015. Mereka pernah mempekerjakan Marcelo Lippi dan Fabio Cannavaro sebagai pelatih. Bahkan, Alessandro Diamanti, Alberto Gilardino, Lucas Barios, hingga Paulinho sempat main di klub ini.

Namun, itu dulu. Sekarang, keadaan Shandong dan Guangzhou berbalik 180 derajat. Begitu pula dengan kualitas Liga Super China.

Akibat krisis keuangan yang melanda hampir semua klub China sebagai akibat investasi gila-gilaan di masa lalu, Shandong dan Guangzhou ikut kolaps. Mereka menjual pemain-pemain dan pelatih kelas dunia yang dulu pernah membuat Liga Super China menuai decak kagum. Gantinya, pemain dan pelatih biasa. 

Bahkan, krisis di Guangzhou jauh lebih parah. Ambruknya Evergrande Real Estate Group sebagai perusahaan induk telah membuat The South China Tigers tampil ala kadarnya di LCA musim ini. Mereka menampilkan pemain-pemain lokal. Beberapa diantaranya berstatus anggota skuad U-20.

Keputusan kedua klub dengan membawa skuad terburuk ke LCA juga menyebabkan hasil yang sangat buruk. Setidaknya pada dua pertandingan awal.

Catatan menunjukkan, Shandong menderita dua kekalahan dari dua pertandingan di Grup F. Mereka menderita 12 gol dan belum memasukkan bola. Kekalahan memalukan didapat dari Daegu FC (0-7) dan Urawa Red Diamonds (0-5). Selanjutnya, pada Kamis (21/4/2022), Lion City Sailors dari Singapura menanti.

Seperti Shandong, Guangzhou juga tampil sangat buruk. Bahkan, jauh lebih memalukan. Mereka sudah menderita 13 gol dan tanpa memasukkan.

Kekalahan menyakitkan Guangzhou didapatkan dari Johor Darul Ta'zim (0-5) dan Kawasaki Frontale (0-8). Sesuai jadwal, mereka akan menjalani pertandingan ketiga melawan Ulsan Hyundai pada Kamis (21/4/2022). Dan, lagi-lagi, hasilnya diprediksi kalah dengan gol besar. 

(andri ananto/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network