Kisah Valencia Bakar Patung Pelatih yang Dua Kali Capai Final Liga Champions

"Final Liga Champions seharusnya jadi prestasi. Tapi, tidak bagi fans klub ini."

Feature | 03 May 2022, 21:35
Kisah Valencia Bakar Patung Pelatih yang Dua Kali Capai Final Liga Champions

Libero.id - Sebagian besar penggemar tidak akan membakar patung pelatih yang berhasil membawa tim kesayangan melaju ke dua final Liga Champions berturut-turut. Tapi, itulah yang dilakukan pendukung Valencia terhadap salah satu pelatih yang cukup berjasa, Hector Cuper.

Kesuksesan Valencia pada masa-masa awal geliat sepakbola Eropa ada hubungannya dengan memenangkan Piala Fairs berturut-turut pada 1961/1962 dan 1962/1963. Kemudian, mereka kalah di final dari Real Zaragoza pada 1963/1964. 

Saat itu, Valencia mengembangkan reputasi sepakbola yang atraktif dan menyerang. Pada Piala Fairs 1961/1962, misalnya, mereka menjadi penghancur Nottingham Forest 7-1 di babak pertama. Lalu, kemenangan 10-3 atas raksasa Hungaria, MTK Budapest, dan yang paling terkenal, kemenangan 7-3 atas Barcelona.

Poinnya, fans Valencia memiliki hubungan yang kurang baik dengan pelatih berkarakter defensif. Bahkan, penunjukkan Alfredo di Stefano tidak mendapat persetujuan saat mengambil alih kursi panas Valencia. Padahal, Legenda Real Madrid itu mengakhiri penantian 24 tahun untuk meraih gelar La Liga.

"Valencia yang memenangkan liga pada 1971 di bawah Di Stefano tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa mereka telah kehilangan semangat juang. Dia ternyata adalah seorang pelatih dari insting yang sepenuhnya defensif, masa kepemimpinannya dipandang dengan sedikit kasih sayang," tulis Phil Ball dalam buku laris "Morbo: The Story of Spanish Football".

Melompat jauh ke depan, pada 1990-an, Valencia mempekerjakan Claudio Ranieri. Ketika pelatih asal Italia itu mengambil alih bench di Mestalla, Sang Kelelawar baru saja menyelesaikan musim 1996/1997 dengan buruk di peringkat 10. Itu terjadi setelah mereka berada di urutan kedua pada musim sebelumnya.

Ranieri mampu membuat semuanya stabil. Dia memainkan serangan balik dengan pola 4-4-2. Meski sempat kalah memalukan 0-6 dari Salamanca yang terancam degradasi, mereka mengakhiri musim di tempat kesembilan.

Valencia membawa permainan itu ke musim 1998/1999. Dan, seperti Riyad Mahrez dan Jamie Vardy yang kemudian berkembang di bawah Ranieri di Leicester City beberapa tahun kemudian, Gaizka Mendieta serta Claudio Lopez juga berubah menjadi pemain andalan Valencia ketika itu.

Mendieta telah berada di Valencia selama bertahun-tahun dan mengukir reputasi sebagai pemain muda yang andal. Di bawah tangan Ranieri, dia muncul sebagai salah satu gelandang serang paling kuat di Spanyol. Dia mencetak 10 gol dalam 30 pertandingan liga pada 1997/1998.

Dirinya juga telah mencetak empat gol dalam enam musim sebelumnya di Valencia dan berusaha mempertahankan penampilannya untuk sisa waktunya di klub dengan mencetak 30 gol liga dalam tiga musim terakhirnya.

Sementara itu, Lopez berubah dari hanya mencetak tiga gol dalam 32 pertandingan liga musim 1996/1997 menjadi 21 gol dalam 32 pertandingan pada musim 1998/1999. Hanya Rivaldo dan Raul Gonzalez ketika itu, yang mencetak lebih banyak gol dari penyerang Argentina tersebut.

Gol Lopez tidak hanya membawa Valencia lolos ke Kualifikasi Liga Champions saat finish di urutan keempat, melainkan juga sembilan golnya dalam enam pertandingan, termasuk dua di final, memastikan gelar Copa del Rey untuk Valencia.


(diaz alvioriki/anda)

Selanjutnya

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network