Kisah ‘Klub Punk’ St Pauli, Tim Sepakbola Paling Ideologis di Dunia

"St Pauli sangat ideologis, khususnya humanisme. Mereka menolak rasialisme, fasisme, homofobia, hingga seksisme."

Feature | 20 September 2020, 09:09
Kisah ‘Klub Punk’ St Pauli, Tim Sepakbola Paling Ideologis di Dunia

Libero.id - Di Eropa, klub sepakbola dengan menganut ideologi tertentu adalah hal biasa dan berlansung sejak lama. Ada yang percaya pada komunisme. Ada pula yang memuja fasisme. Tapi, tidak ada yang lebih ideologis dibanding St Pauli. 

Berdiri pada 15 Mei 1910, tim sedang bergulat di Bundesliga 2 itu dikenal sebagai "klub punk". St Pauli sangat ideologis, khususnya humanisme. Mereka menolak rasialisme, fasisme, homofobia, hingga seksisme. Bagi St. Pauli, manusia adalah setara, sama, dan harus hidup rukun berdampingan. Persaudaraan menjadi napas utama klub.

Berbeda klub-klub Eropa pada 1970 hingga 1980-an yang sibuk mengatasi hooliganisme, suporter St. Pauli justru lebih tertarik menyelesaikan masalah-masalah sosial dan politik. Menggunakan simbol tulang dan tengkorak, pendukung St. Pauli mengidentifikasikan dirinya sebagai golongan antikemapanan.

Awalnya, para pengurus klub tidak sadar dengan keberadaan simbol tengkorak itu. Kemudian, mereka mengerti bahwa simbol itu bisa menjadi identitas sekaligus menghasilkan uang untuk memutar roda perusahaan.

Di Jerman, St. Pauli adalah klub pertama yang memiliki semacam "dasar negara".  St. Pauli mengintegrasikan seperangkat prinsip fundamental (Leitlinien) untuk mendikte bagaimana klub dijalankan. Manifestasi klub disahkan dalam Kongres St. Pauli pada 2009. Bagi mereka, klub bukan hanya tentang permainan, melainkan juga kemanusiaan.

Pertama, St. Pauli adalah bagian dari masyarakat yang dikelilingi dan dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung oleh perubahan sosial di bidang politik, budaya, maupun sosial. Kedua, St. Pauli sadar akan tanggung jawab sosial yang tidak hanya terbatas pada bidang olahraga.

Ketiga, St. Pauli adalah klub dari distrik di kota tertentu sehingga memberinya tanggung jawab sosial dan politik terkait dengan kota beserta orang-orang yang tinggal di sana. Dalam hal ini Distrik St. Pauli di Kota Hamburg.

Keempat, St. Pauli bertujuan menyampaikan perasaan tertentu tentang kehidupan dan melambangkan keaslian olahraga. Hal ini memungkinkan orang untuk mengidentifikasi dengan klub secara independen dari keberhasilan olahraga apa pun yang mungkin diraihnya. Fitur penting dari klub yang mendorong rasa ini identifikasi harus dihormati, dipromosikan, dan dipertahankan.

Terakhir, toleransi dan rasa hormat dalam hubungan antarmanusia adalah pilar penting dari filosofi St. Pauli. Dalam keluarga besar St. Pauli tidak diizinkan perasaan atau tindakan yang menunjukkan kebencian pada seseorang atau golongan atas dasar warna kulit atau pandangan hidupnya.

Libero.id

Kredit: twitter.com/fcstpauli

Dengan prinsip-prinsip yang dianut, St. Pauli benar-benar menjadi surga bagi orang-orang dengan pikiran bebas, seniman, hingga aktivis. Pertandingan-pertandingan St. Pauli di Millerntor-Stadion lebih layak disebut festival kesenian dibanding sepakbola. Salah satu alasanya St. Pauli akan membuka pertandingan dengan memutar lagu "Hells Bells" dari AC/DC. Setelah itu, setiap gol yang lahir diputarkan "Song 2" dari Blur.

St. Pauli juga pernah menyelenggarakan turnamen sepakbola yang diberi label FIFI Wild Cup. Itu adalah "Piala Dunia" untuk daerah-daerah yang ingin merdeka dari negara induknya seperti Greenland, Tibet, hingga Zanzibar.

Selain itu, semboyan "kick politic out of football" benar-benar dijunjung tinggi. Pemain yang melanggar akan mendapatkan hukuman berat. Contohnya, Cenk Sahin musim lalu. Pemain asal Turki itu dipecat setelah menyatakan dukungan kepada invasi militer Turki ke Suriah Utara untuk membasmi gerilyawan Kurdi melalui Instagram miliknya, @cenksahin67.

"Kita berada di pihak militer dan pasukan kita yang heroik. Doa kami bersama anda!" tulis Sahin saat itu.

Tindakan itu langsung memunculkan respons negatif dari suporter St Pauli. Mereka marah dan menghujani akun Sahin dengan berbagai kata kecaman. Pendukung juga beramai-ramai meminta manajemen klub memecat mantan pemain tim nasional Turki U-21 tersebut.

Meski Sahin menghapus unggahan tersebut, St Pauli tidak memberikan toleransi. Mereka membuang sang pemain ke Ingolstadt 04 sebelum akhirnya hijrah ke Liga Turki untuk membela Kayserispor pada awal 2020. Untuk musim 2020/2021, winger berusia 25 tahun tersebut bergabung dengan Gaziantep.

Langkah memecat Sahin harus dilakukan karena St. Pauli sangat menghargai aspirasi suporter. Bagi mereka pendukung adalah setengah dari nyawa klub. Fans adalah orang-orang yang bersedia mengeluarkan apa saja untuk kejayaan St. Pauli.

Salah satu contoh loyalitas suporter St. Pauli terjadi pada 2003. Saat itu, klub hampir bangkrut setelah terdegradasi dari Bundesliga 2 ke Regionaliga Nord (Divisi III). Manajamen tidak punya uang untuk menjalankan roda perusahaan. Pemasukan dari sponsor dan siarang televisi minim. Uang dari tiket pertandingan tidak cukup banyak untuk satu musim.

Dengan situasi kurang bagus, klub berinisiatif melakukan penggalangan dana. Diberi tajuk "Retteraktion" (penyelamatan), mereka mencetak kaus berlogo tengkorak dan tulang disertai tulisan "Retter" (penyelamat). Hasilnya, 140.000 kaus terjual dalam waktu 6 minggu.  

Selain cinta klub, suporter St. Pauli juga setia kawan. Mereka memiliki hubungan yang sangat dekat dengan fans dari sejumlah "rebel club"  di Eropa seperti Ternana, Rayo Vallecano, SV Babelsberg 03, Partizan Minsk, Hapoel Tel Aviv, AEK Athena, Glasgow Celtic, hingga Bohemians 1905.

Kelompok yang menamakan dirinya Ultra Sankt Pauli juga punya hubungan spesial dengan ultras Bayern, Schickeria Muenchen. Banner milik Schickeria Muenchen selalu terpampang di Millerntor-Stadion. Begitu pula dengan bendera Ultra Sankt Pauli plus gambar Che Guevaradi Allianz Arena.

Menjadi anggota Alerta Network, yaitu gerakan antifasisme internasional, suporter St. Pauli memiliki jumlah pendukung wanita terbanyak di Jerman. Pada 2002, kaum feminis di St- Pauli pernah memprotes iklan majalah dewasa Maxim di stadion yang menampilkan keseksian tubuh wanita. Lalu, pada 2011 mereka mendesak klub menghapus acara sexy dance di stadion.

Yang pasti, St. Pauli menjadi klub milik anak punk. Sejumlah grup band punk menidentifikasi sebagai penggemar St. Pauli. Sebut saja Asian Dub Foundation, Gaslight Anthem, atau Panteon Rococo. Jersey St. Pauli juga sering dikenakan dalam konser maupun video klip ban punk Amerika, Anti-Flag. Ada lagi The Sisters of Mercy.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network