8 Program Pengiriman Pemain Muda Indonesia ke Luar Negeri Sejak 1979

"Pepatah "tidak ada yang instan di sepakbola" sepertinya tak dipahami di Indonesia. Sudah berulangkali pengiriman pemain ke luar negeri. Bagaimana hasilnya?"

Feature | 03 January 2021, 13:00
8 Program Pengiriman Pemain Muda Indonesia ke Luar Negeri Sejak 1979

Libero.id - Pepatah yang menyebut "tidak ada yang instan di sepakbola" sepertinya kurang pas diterapkan di Indonesia. Meski selalu gagal, tetap saja ada program pengiriman pemain ke luar negeri untuk mendapatkan tim maupun pemain hebat dalam waktu singkat.

Di banyak negara, untuk bisa menciptakan pesepakbola hebat, pembenahan infrastruktur menjadi prioritas utama. Mendatangkan pelatih hebat dan menyiapkan kurikulum modern juga dilakukan setelah memiliki fasilitas lapangan dan penunjang yang representatif.

Pengiriman pemain muda ke Eropa atau Amerika Latin juga dilakukan. Tapi, bukan yang utama. Biasanya hanya digunakan untuk menambah wawasan serta sudut pandang pemain dan berlangsung singkat.

Namun, hal yang berbeda justru dilakukan di Indonesia. Baik oleh PSSI maupun pihak swasta, pengiriman pemain-pemain muda untuk menimba ilmu ke luar negeri sudah menjadi tradisi yang berlangsung puluhan tahun. Meski hasilnya selalu tidak memuaskan, pengiriman terus dilakukan hingga hari ini.

Dulu, peran PSSI sangat dominan ketika memutuskan untuk menghamburkan uang miliaran rupiah demi membiayai anak-anak muda Indonesia ke Eropa atau Amerika Latin. Sekarang, fungsi itu mulai diganti sejumlah perusahaan swasta sebagai bagian dari kepentingan bisnis maupun tanggung jawab sosial perusahaan.

Berikut ini 8 program pengiriman pemain muda yang pernah dan sedang dilaksanakan oleh Indonesia, baik PSSI maupun pihak swasta:


1. Bina Utama (1979)

Bina Utama juga dikenal sebagai Binatama. Itu adalah program PSSI yang dimulai pada 1979. Lebih dari 20 pemain di bawah usia 23 tahun dikirimkan ke Brasil. Binatama menggantikan program terdahulu PSSI yang juga menempatkan para pemain dalam pelatnas jangka panjang di Salatiga (Diklat Salatiga). Bedanya, Salatiga adalah kota di Jawa Tengah.

Untuk Binatama, 4 pelatih lokal top pada masa itu, yaitu Soetjipto Soentoro, Sartono Anwar, Ipong Silalahi, dan Jopie Timisela, dipercaya sebagai penanggung jawab selama di Negeri Samba. Mereka berlatih 7 bulan dengan harapan bisa melahirkan Pele atau Zico baru versi Indonesia.

Proyek luar negeri pertama PSSI tersebut menghasilkan nama-nama seperti Rully Nere, Bambang Nurdiansyah, Bertie Tutuarima, Nasir Salasa, Subangkit, Mundari Karya, hingga GH Sutejo.

Awalnya, lulusan Binatama ditampilkan di Piala Dunia Junior 1979 di Jepang. Tapi, Indonesia hancur lebur saat bertemu Argentina, Polandia, dan Yugoslavia. Selanjutnya, mereka dikirim untuk Kualifikasi Piala Dunia 1982. Tergabung bersama Australia, Selandia Baru, Fiji, dan Taiwan di Grup 1, Indonesia hanya berhasil menduduki peringkat 3 dengan 6 poin.


2. PSSI Garuda I (1981)

Setelah dianggap berhasil oleh PSSI, program pengiriman pemain ke Brasil dilanjutkan pada 1981. Diberi nama PSSI Garuda I, sejumlah pemain muda berbakat dikirim berlatih 6 bulan di Negeri Samba. Proyek ini memunculkan Marzuki Nyakmad, Patar Tambunan, Azhary Rangkuti, Aji Ridwan Mas, Abdul Khamid, hingga Hermansyah.

Setelah kembali ke Indonesia, anggota tim ini digabungkan dengan lulusan Binatama tampil di Kualifikasi Piala Dunia 1982. Tim tersebut juga tidak bisa berbicara banyak di SEA Games 1981 (perunggu) dan SEA Games 1983 (fase grup). 


3. PSSI Garuda II (1987)

Beda dengan Garuda I yang mengikuti Binatama ke Brasil, Garuda II memilih Eropa Timur sebagai tempat pemusatan latihan. Mereka menetap selama beberapa bulan di Cekoslovakia dan menghasilkan pemain-pemain seperti Rochy Putiray, Nil Maizar, Agung Setyabudi, hingga Zulkarnain Jamil.

Sekembalinya dari luar negeri, lulusan Garuda II kembali ke klub masing-masing. Beberapa pemain menjadi andalan Bertje Matulapelwa saat meraih medali emas SEA Games 1987. Sejumlah nama lainnya juga ikut Anatoli Polosin saat meraih medali perunggu SEA Games 1989 dan emas SEA Games 1991.


4. PSSI Primavera (1993)

Dengan tujuan membentuk dan melatih pemain muda, PSSI kembali mengirim pemain muda ke luar negeri. Dengan label Primavera, anak-anak muda berusia 18 tahun dikirim ke Italia dan diikutkan kompetisi junior Lega Calcio Primavera (U-21). Karena itu, tim tersebut dikenal sebagai PSSI Primavera.

Dibantu Sampdoria, tim tersebut ditangani Romano Matte dengan bantuan Danurwindo gan Harry Tjong. Mereka digembleng dengan kultur sepakbola Negeri Pizza. Tim ini menghasilkan pemain-pemain top seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Kurnia Sandy, Yeyen Tumena, Aples Tecuari, Alexander Pulalo, hingga Indriyanto Nugroho.

Bagaimana hasilnya? Sama seperti program-program sebelumnya, tidak ada yang bisa dibanggakan dari lulusan Primavera selain transfer Rp100 Indriyanto dari Arseto Solo ke Pelita Jaya. Beberapa pemain juga hadir dan tampil ketika Indonesia terlibat sepakbola gajah dengan Thailand di Piala Tiger 1998.
 

5. PSSI Baretti (1994)

Meski terbukti gagal saat mengikuti Piala Asia U-19 1994 maupun Kualifikasi Olimpiade 1996, PSSI tetap melanjutkan proyek Primavera ke Italia. Bedanya, mereka hanya mengganti nama menjadi PSSI Baretti. Disebut seperti itu karena para pemain akan berkompetisi di Lega Calcio Baretti (U-19).

Memunculkan nama-nama seperti Uston Nawawi, Elly Aiboy, Charis Yulianto, Nova Arianto, Aris Indarto, Tugiyo, hingga Haryanto Prasetyo, proyek Baretti juga gagal menghadirkan prestasi. Indonesia gagal di banyak turnamen antarnegara di Asia Tenggara maupun Asia.


6. Deportivo Indonesia (2008-2012)

Sociedad Anonima Deportiva Indonesia (SAD Indonesia atau Deportivo Indonesia) adalah tim bentukan PSSI di Uruguay yang terdiri dari para pemain berusia 17 tahun. Mereka dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia dan digembleng di kompetisi junior Uruguay, Quinta Division, di bawah asuhan Cesar Payovich Perez.

Sama seperti Primavera atau Baretti, Deportivo Indonesia juga mendapatkan kucuran dana dari keluarga Bakrie. Butuh uang sekitar Rp12,5 miliar per tahun untuk membiayai para pemain di Uruguay. Ada 5 angkatan pemain Deportivo Indonesia pada periode 2008-2012.

Tim ini menghasilkan pemain-pemain seperti Rizky Pellu, Alfin Tuasalamony, Yandi Sofyan, Syamsir Alam, Alan Martha, Yerico Christiantoko, Rudolof Yanto Basna, Ryuji Utomo, Teja Paku Alam, Vava Mario Yagalo, Awan Setho Raharjo, Bagas Adi Nugroho, Hansamu Yama Pranata, Maldini Pali, hingga Terens Puhiri.

Secara individu, banyak lulusan Deportivo Indonesia yang bertahan hingga hari ini. Tapi, secara tim, belum ada prestasi membanggakan yang dipersembahkan untuk timnas senior. Ada juga lulusannya yang banting stir menjadi artis sinetron.


7. Vamos Indonesia (2017-sekarang)

Setelah bubarnya Deportivo Indonesia, PSSI tidak pernah lagi mengirim program ke luar negeri. Otoritas tertinggi sepakbola Indonesia itu hanya menjadwalkan TC timnas di Eropa. Contohnya timnas U-19 di era Indra Sjafri yang berlatih di Spanyol maupun Shin Tae-yong yang ke Thailand, Kroasia, dan Spanyol.

Uniknya, kekosongan itu dimanfaatkan pihak swasta. Salah satunya Vamos Indonesia, yang pada 2019 mengirimkan 19 remaja Indonesia berlatih di Spanyol. Anak-anak muda berbakat itu diberangkatkan ke Palencia dan Palamos setelah melalui seleksi ketat dari sejumlah tempat di Jakarta dan sekitarnya.

Manajemen Vamos melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan akademi dan SSB asal para pemain tersebut. Jika di masa depan ada yang menjadi pemain profesional, akademi dan SSB tersebut akan mendapatkan kompensasi dari Vamos. SSB yang terlibat dalam program Vamos antara lain ASIOP Apacinti, Tiga Naga, Tunas Merah Putih, dan Pelita Jaya.

Vamos sudah mengirim pemain sejak 2017. Setiap tahun, jumlahnya selalu bertambah. Pada tahun pertama, mengirimkan 4 pemain. Lalu, tahun kedua 8 pemain dan tahun ketika 19 orang. Untuk 2020, mereka memberangkatkan 26 pemain. Selain berlatih, salah satu agendanya tampil pada sebuah turnamen bertajuk Mediterranean International Cup 2020.


8. Garuda Select (2019-sekarang)

Layaknya Vamos Indonesia, Garuda Select juga merupakan program pengiriman pemain muda ke Eropa oleh perusahaan swasta. Dibiayai Grup Djarum, 24 pemain usia 17 tahun bertanding di Inggris selama 6 bulan pada Januari-Mei 2019. Para pemain diseleksi dari kompetisi junior PSSI bertajuk Elite Pro Academy U-16. Mayoritas adalah anggota timnas U-16. Dennis Wise ditunjuk sebagai direktur program dan Des Walker sebagai pelatih.

Setelah kembali ke Indonesia, angkatan kedua menyusul. Sejumlah pemain angkatan pertama tetap diikutsertakan. Beberapa nama lainnya diambil dari seleksi terbuka yang langsung dipimpin Wise dan Walker.

Garuda Select generasi pertama dan memunculkan sejumlah nama pemain muda berbakat yang kini menjadi tulang punggung timnas U-19 asuhan Shin Tae-yong. Sebut saja si kembar Amiruddin Bagus Kahfi Alfikri dan Amiruddin Bagas Kaffa Arrizqi. Ada lagi Braif Fatari, Mochammad Supriadi, David Maulana, Brylian Aldama, hingga Sutan Diego Zico.

Mengklaim sukses pada angkatan pertama dan kedua, Garuda Select kembali mengirim pemain ke Inggris untuk 2020/2021. Masih dengan kru pelatih yang sama, angkatan ketiga berkekuatan 21 pemain. Ada beberapa pemain yang ikut terlibat di angkatan kedua.

"Tim pemandu bakat telah berkeliling ke berbagai daerah Indonesia untuk mencari pemain terbaik yang terlibat di Piala Soeratin dan kompetisi lain. Kami juga sudah melihat pemain-pemain yang dikirimkan oleh klub Elite Pro Academy Liga 1 U-16. Indonesia memiliki banyak pemain potensial yang masih bisa dikembangkan," kata Wise, dilansir Mola TV.

Bagaimana hasilnya? Baru bisa dilihat dalam beberapa tahun ke depan.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network