Kisah Unik Sadiq Khan, Jadi Walikota Muslim di London, Tapi Dukung Liverpool

"Ayahnya, Amanullah, dan ibunya, Sehrun, tiba di London dari Pakistan pada 1968. Bapaknya sopir dan ibunya penjahit."

Biografi | 10 January 2021, 06:00
Kisah Unik Sadiq Khan, Jadi Walikota Muslim di London, Tapi Dukung Liverpool

Libero.id - Meski berstatus Walikota London, Sadiq Khan tidak mendukung klub dari kota yang dipimpinnya. Pria kelahiran 8 Oktober 1970 tersebut ternyata mencintai klub dari kota lain yang sebenarnya merupakan rival tim-tim London. Klub itu, Liverpool!

Berasal dari Tooting di London Selatan, Khan datang dari keluarga Muslim Sunni kelas pekerja. Kakek neneknya bermigrasi dari Lucknow di Uttar Pradesh, India, ke Pakistan setelah pemisahan India-Pakistan pada 1947. Lalu, ayahnya, Amanullah, dan ibunya, Sehrun, tiba di London dari Pakistan pada 1968.

Khan adalah anak kelima dari delapan bersaudara dengan tujuh di antaranya laki-laki. Di London, Amanullah bekerja sebagai sopir bus dan Sehrun sebagai penjahit pakaian. Khan dan saudara-saudaranya dibesarkan di sebuah flat dengan tiga kamar tidur di Henry Prince Estate di Earlsfield.

Saat kecil, Khan bersekolah di Fircroft Primary School dan kemudian Ernest Bevin School. Dia belajar sains dan matematika dengan harapan menjadi dokter gigi saat dewasa. Tapi, seorang guru merekomendasikan agar dia membaca buku ilmu hukum karena memiliki kepribadian yang argumentatif. Khan melakukannya dan kemudian belajar hukum di London Metropolitan University.

Sempat menjadi pengacara, Khan memutuskan terjun ke politik sebagai anggota DPR. Lalu, dia menjabat sebagai orang nomor satu di London sejak 9 Mei 2016. Khan menggantikan Boris Johnson yang terpilih menjadi Menteri Luar Negeri sebelum akhirnya beralih status sebagai Perdana Menteri Inggris.

Seperti kebanyakan orang Inggris, Khan juga menyukai sepakbola. Sebagai orang keturunan Pakistan, dia juga dididik untuk menggemari kriket dan tinju. Bahkan, akibat perlakuan rasialisme yang didapat saat kecil, Khan dan saudara-saudaranya sempat belajar tinju di sebuah sasana di Earlsfield Amateur Boxing Club.

Namun, sepakbola yang akhirnya menjadi olahraga pilihan Khan. Di kota tempat dirinya memimpin terdapat banyak klub yang merumput Liga Premier hingga kompetisi non liga. Sebut saja West Ham United, Fulham, Queen Park Rangers, Arsenal, Chelsea, Tottenham Hotspur, Charlton Athletic, Millwall, dan masih banyak lagi.

Bagi Khan, kehebatan klub-klub tersebut ternyata tidak bermakna apa-apa. Dia secara terbuka menyatakan sebagai Liverpludian. Alasan Khan tidak suka tim London karena memiliki pengalaman rasial saat datang langsung ke stadion.

"Pengalaman pertama saya (ke stadion) saat saya dan dua saudara saya pergi ke Stamford Bridge (menonton Chelsea). Di sana kami justru dihina secara rasial oleh sekelompok orang yang memakai sepatu Dr. Martens dan jaket bomber hijau," ujar Khan pada 2015, dilansir Liverpool Echo.

Kecewa dengan perlakuan yang didapatkan di markas The Blues, Khan berpindah klub. Dia mendatangi satu persatu klub sepakbola di London, termasuk Wimbledon yang sudah bubar dan pecah menjadi MK Dons dan AFC Wimbledon.  

"Saya sempat pergi ke Plough Lane (kandang almarhum Wimbledon) untuk menonton Wimbledon melawan Spurs. Itu pertandingan yang sangat bagus. Sayang, saya justru kembali menjadi korban rasialisme oleh pendukung Wimbledon. Padahal, saat itu saya juga sedang mendukung Wimbledon," tambah Khan.

"Suporter Wimbledon mengira saya pendukung Spurs. Mereka menduga saya Yahudi. Salah satu dari mereka menyebut saya Yid. Mereka menyerang saya karena saya tidak menggunakan atribut. Tapi, saya juga melihat ada orang seperti saya yang mengenakan atribut, mereka tetap diperlakukan kurang baik," tambah Khan.

Pengalaman-pengalaman kurang menyenangkan itulah yang membuat Khan berubah pikiran tentang klub sepakbola asal London. Dia "murtad" dengan meninggalkan klub London untuk mendukung Liverpool, yang sebenarnya bermusuhan.

Sejak saat itu, Khan tidak peduli jika London mempunyai banyak tim sepakbola berkualitas dengan prestasi maupun barisan bintang kelas dunia. Bagi Khan, Liverpool adalah klub sepakbola yang pantas diikuti dan didukung sepenuh hati hingga menjadi Walikota London.

"Pada 1980-an, sangat tidak aman bagi orang seperti saya untuk datang ke stadion (akibat hooligan). Jadi, saya memutuskan menonton pertandingan di televisi. Semua program sepakbola saya tonton. Saya melihat Liverpool pada masa itu memainkan sepakbola yang bagus. Saya jatuh cinta," ungkap Khan.

Menariknya, sejak Khan menjadi Walikota, baru ada satu tim London yang juara. Tim itu, Chelsea pada 2016/2017. Selebihnya, Leicester City (2015/2016), Manchester City (2017/2018, 2018/2019), dan Liverpool (2019/2020).

"Sebagai penggemar sepakbola mari kita buang rasialisme di tribun. Saya tidak ingin menyakiti siapapun. Tapi, anda dapat berbisik di telinga pelayan jika anda takut membicarakannya secara langsung dengan rasialis atau melaporkannya ke klub setelahnya," kata Khan

"Beruntung, (sepakbola) saat ini telah berubah. Kini, jauh lebih aman untuk pergi ke pertandingan. Saya pernah membawa putri saya saat Chelsea melawan Liverpool di Stamford Bridge. Kami (Liverpool) kalah, tapi itu menyenangkan. Saya merasa aman sepanjang waktu dan putri saya tidak mengalami apa yang saudara-saudara saya alami dulu di Stamford Bridge atau yang saya alami sendiri di Plough Lane," pungkas politisi Partai Buruh itu.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network