Cerita Kiper Pernah Main di Enam Benua, Sempat Dinyatakan Meninggal Tiga Kali

"Pernah dipenjara 101 hari di Singapura."

Feature | 20 January 2020, 21:30
Cerita Kiper Pernah Main di Enam Benua, Sempat Dinyatakan Meninggal Tiga Kali

Libero.id - Lutz Pfannenstiel bukan pemain biasa. Dia satu-satunya pemain bola yang pernah main bersama klub di kesemua enam benua yang menjadi anggota FIFA (Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, Afrika, Asia dan Oceania).

Dia pernah dipenjarakan (kemudian didapati tidak bersalah) dengan tuduhan menjadi budak suap di Singapura. Dia pernah dikabarkan meninggal dunia tiga kali dalam pertandingan di Inggris tetapi kemudian siuman.

Dia pernah menolak tawaran Bayern Munich dan kemudian membela klub di Malaysia, Pulau Pinang!

Dari 1991-2011 Pfannenstiel menmbela 25 klub di seluruh dunia. Kini dia memimpin tim pencarian bakat TSG 1899 Hoffenheim di Bundesliga.

Pfannenstiel memulai karir di klub peringkat ke lima liga Jerman, 1. FC Bad Kötzting tetapi menunjukkan potensi besar dan mewakili timnas U-17 Jerman. Kemudian raksasa Jerman, Bayern Munich mendekatinya. Sadar tidak akan menjadi pemain inti dengan adanya Oliver Kahn, memilih untuk meninggalkan Jerman pada 1993.

“Jadi bila situasi tidak berpihak kepada saya, saya memutuskan untuk ke luar negeri dan saya berkelana pada umur 19 tahun untuk ke Malaysia, yang merupakan suatu keputusan nekat mengingat ada tawaran dari Bayern dan akhirnya anda bermain untuk Pulau Pinang di Asia Tenggara,” katanya kepada BBC.

Niatnya semula adalah mendapat pengalaman bermain di Malaysia dan kemudian pulang bermain di Jerman. Tetapi kelanjutannya berbeda.

Tahun berikutnya dia pindah ke klub Inggris, Wimbledon dan bermain dua belas kali untuk tim tersebut. Pemain-pemain Wimbledon dikenali sebagai ‘the Crazy Gang’ ketika itu dan mereka mengerjainya dengan meninggalkan dia di selokan.

Dia pindah lagi ke klub Inggris, Nottingham Forest pada 1995 tetapi selama dua musim tidak dipilih sebagai pemain inti.

Ketika di Forest dia dipinjamkan ke klub liga Afrika Selatan, Orlando Pirates. Selepas itu dia bermain di liga Finlandia, kembali Jerman tetapi kemudian kembali ke Asia Tenggara untuk bersama Geyland di Liga Singapura.

Waktu itu sepak bola Malaysia dan Singapura dibelenggu masalah suap. Lutz Pfannenstiel didakwa di persidangan dan kemudian menghabiskan 101 hari di penjara Singapura.

“…saya sebenarnya dituduh bermain terlalu bagus. Kami memenangi dua laga dan seri satu laga di mana saya dipilih menjadi pemain terbaik. Jika seorang hakim di pengadilan memberitahu anda, anda bermain lebih baik dari biasa, tentu tuduhan itu tidak masuk akal. Akhirnya saya keluar dari penjara, buktinya meringankan adalah tidak ada transfer uang,” jelasnya.

“Saya keluar setelah 101 hari dan menjadi orang yang lebih baik. Waktu itu waktu paling sulit dalam hidup saya, tetapi waktu di mana saya paling banyak belajar.”

Dia kemudian ke Liga Selandia Baru. Pada 2002, ketika dipinjamkan ke klub kecil di Inggris, dia dilanggar pemain lawan ketika coba menyelamatkan bola. Kedua paru-parunya runtuh dan dia tidak dapat bernapas. Tiga kali dia diumumkan meninggal oleh tim kesehatan tetapi kemudian berhasil siuman.

Namun begitu dia koma selama dua jam dan ketika bangun di rumah sakit, dia marah karena tidak dapat meneruskan pertandingan.

Dia kemudian ke Norwegia, Kanada, Selandia Baru sekali lagi, Albania, Armenia, Kanada sekali lagi, Brasil, Norwegia sekali lagi dan kemudian Namibia.

Walaupun sudah bermain di 25 klub di enam benua, dia ada satu impian yang tidak tercapai: bermain untuk klub Iran.

Lutz Pfannenstiel memberitahu the Independent: “Mereka [orang Iran] hidup untuk bola, mereka mati untuk bola… 110,000 pria berkumpul – hanya pria dalam stadion – duduk seperti jika anda kalahkan tim mereka anda tidak akan keluar dari stadion. Gairah, cinta pendukung kepada tim mereka amat menakjubkan.”

Gairah itu dia lihat sudah pudar di Barat karena pengaruh komersialisasi. Orang menonton pertandingan dan tidak lagi makan sosis, sebaliknya makanan-makanan mewah seperti sop dan steak.

Pfannenstiel menulis sebuah buku yang menceritakan pengalaman uniknya, yang cukup laris dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai ‘The Unstoppable Keeper’.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network