Di Mana Sekarang? Al-Saadi Khadafi, Putra Diktator Libya Eks Pemain Perugia

"Al-Saadi Khadafi bermain sepakbola secara profesional di Serie A untuk Perugia, Udinese, dan Sampdoria."

Biografi | 17 February 2021, 11:59
Di Mana Sekarang? Al-Saadi Khadafi, Putra Diktator Libya Eks Pemain Perugia

Libero.id - Pernah di suatu era, keluarga Muammar Khadafi tidak hanya menjadi topik pemberitaan media-media politik di seluruh dunia, melainkan juga olahraga. Itu karena Al-Saadi Khadafi bermain sepakbola secara profesional di Serie A untuk Perugia, Udinese, dan Sampdoria.

Al-Saadi adalah anak ketiga Kolonel Khadafi setelah Muhammad dan Saif Al-Islam. Sebagai putra diktator Libya, Al-Saadi hidup penuh kemewahan sejak kecil. Dia melakukan apa saja yang diinginkan, termasuk berbisnis dan bermain sepakbola.

Hobi Al-Saadi kepada sepakbola sudah ditunjukkan sejak kanak-kanak. Di kompleks kediaman keluarganya di Bab al-Azizia, Tripoli, Al-Saadi memulai bermain bola. Ayahnya sendirilah yang mendatangkan pelatih ke rumah untuk melatih Al-Saadi. Lalu, ketika remaja dia bergabung dengan klub sepakbola di Libya.

Pada 2000, pria kelahiran Tripoli, 25 Mei 1973, tersebut bermain untuk Al-Ahly Tripoli. Kemudian, berlanjut ke Al-Ittihad Tripoli pada 2001-2003. Di kedua klub besar Libya tersebut, Al-Saadi sebenarnya bermain biasa-biasa saja. Hanya karena pengaruh sang ayah, dia mendapatkan keistimewaan dari pelatih, manajemen klub, maupun wasit.

Rumornya, sepakbola Libya telah diatur untuk menguntungkan Al-Saadi dan semua klub yang diperkuatnya. Setiap Al-Saadi ikut bermain, wasit harus "membantu" dirinya memenangkan pertandingan. Pemain lawan juga dilarang protes. Jika melawan, pasukan keamanan digunakan untuk membungkam sang pemain.

Entah kabar itu benar atau tidak, fakta menunjukkan Al-Saadi mampu bermain 74 kali untuk Al-Ittihad dan mengemas 24 gol selama 2 musim serta dipercaya 18 kali membela tim nasional Libya. Bahkan, Al-Saadi merangkap sebagai kapten timnas, kapten klubnya, sekaligus presiden Asosiasi Sepakbola Libya (LFF).

"Saya akan menghancurkan klubmu! Saya akan mengubahnya menjadi sarang burung hantu! " tulis The Los Angeles Times saat itu, mengutip Khalifa Bin Sraiti, Presiden Al-Ahly Benghazi, setelah Al-Ittihad kalah pada sebuah pertandingan Liga Premier Libya.

Setelah menjadi penguasa tunggal sepakbola Libya, Al-Saadi tidak puas. Dia merasa dengan kemampuan bermain sepakbolanya yang bagus akan bisa sukses di kompetisi Eropa.

Petualangan Al-Saadi di Benua Biru dimulai pada  6 Juni 2000. Ketika itu, BBC Sport melaporkan Al-Saadi telah menandatangani kontrak dengan juara Liga Malta, Birkirkara FC dan akan bermain  di Liga Champions 2000/2001. Tapi, langkah itu gagal terwujud setelah juara Liga Malta 1999/2000 itu disingkirkan KR Reykjavik dengan agregat 2-6 pada fase Kualifikasi I.

Gagal dengan Malta, Al-Saadi mencoba dengan Italia. Pada 2003, Al-Saadi membawa uang dalam jumlah yang banyak untuk diberikan kepada Perugia sebagai investor menggunakan uang dari perusahaan minyak nasional, Tamoil. Sebagai imbalannya, Al-Saadi menjadi pemain.

Sebagai investor, Al-Saadi meminta Perugia mempekerjakan Diego Maradona sebagai konsultan teknis. Dia juga menunjuk sprinter legendaris Kanada yang sedang mendapatkan sanksi akibat doping, Ben Johnson, sebagai pelatih kebugaran pribadinya.

Lalu, apa hasilnya? Al-Saadi hanya sanggup membuat satu penampilan sebagai pemain pengganti sebelum gagal dalam tes doping dan narkoba.

Saat itu, sebuah artikel di media papan atas Italia, La Repubblica, menyatakan: "bahkan dengan dua kali kecepatannya saat ini, dia masih akan dua kali lebih lambat dari kecepatannya sendiri". Itu adalah kalimat satir untuk menggambarkan kemampuan Al-Saadi yang sebenarnya.

Pendapat senada juga diungkapkan rekannya di Perugia, yaitu striker asal Inggris, Jay  Bothroyd. Pesepakbola yang sekarang masih aktif bermain di Jepang pada usia 38 tahun untuk Hokkaido Consadole Sapporo itu pernah menyatakan bahwa Al-Saadi pemain yang biasa-biasa saja, yang sebenarnya tidak layak bermain di Serie A.

Tapi, Bothroyd juga memiliki kesan positif tentang Al-Saadi. "Dia menjadikan sepakbola sebagai hobi. Dia miliarder yang ingin bermain sepakbola. Dia rajin berlatih setiap hari. Saya melihat dia berusaha sungguh-sungguh (untuk mencapai level tinggi). Saya tidak melihatnya minta perlakuan khusus," kata Bothroyd, dikutip National Post.

Mengingat kemampuannya yang terbatas, keterlibatan Al-Saadi dalam pertandingan-pertandingan Seri A sebenarnya tidak mungkin. Tapi berkat normalisasi hubungan diplomatik Italia dan Libya, hal ini terlaksana.

Pada era itu, produsen mobil Italia, Fiat, menanamkan modal dalam sektor minyak Libya. Sebagai balasannya, keluarga Khadafi memiliki 7% saham di Juventus. Bahkan, Tamoil sempat menjadi sponsor utama La Vecchia Signora. Pertandingan Supercoppa Italia 2002 antara Juventus dengan Parma juga digelar di Tripoli.

"Kesuksesan" Perugia dan Juventus mendapatkan uang dari Libya ternyata membuat Udinese dan Sampdoria iri. Mereka mengikuti langkah mereka untuk mendatangkan Al-Saadi. Pada 2005, Al-Saadi bergabung dengan Udinese.

Tapi, berhubung dana tidak juga mengalir, Al-Saadi hanya menjadi penghangat bangku cadangan kecuali untuk penampilan 10 menit dalam pertandingan akhir musim yang tidak penting melawan Cagliari. Udinese tidak melanjutkan kerjasama dengan Al-Saadi pada musim 2006/2007.

Selanjutnya, giliran Sampdoria yang mencoba memanfaatkan Al-Saadi. Presiden I Blucerchiati saat itu, Riccardo Garrone, yang sekaligus juga CEO perusahaan minyak swasta Italia, ERG, mengundang Al-Saadi berlatih di Stadio Luigi Ferraris. Tapi, setelah kontrak eksplorasi minyak di Libya tak juga didapatkan, Sampdoria melepas Al-Saadi.

Tidak sukses di sepakbola, Al-Saadi kembali ke Libya dan berbisnis. Pada 2011 ketika perang saudara pecah, Al-Saadi menjadi komandan Pasukan Khusus Libya dan bertugas melindungi ayahnya dari serangan kelompok pemberontak yang didukung Amerika Serikat (AS) dan Prancis.

Setelah ayahnya terbunuh dalam perang, dia kabur ke Niger. Pemerintahan baru Libya meminta bantuan Interpol untuk menangkap Al-Saadi. Hasilnya,  pada 5 Maret 2014, dia ditangkap di Niger dan diekstradisi ke Libya. Di negara asalnya, Al-Saadi harus menghadapi sejumlah dakwaan pembunuhan. Selama menjalani pemeriksaan, sempat beredar video penyiksaan Al-Saadi di tahanan.

Pada 3 April 2018, Pengadilan Banding membebaskan Al-Saadi dari tuduhan membunuh pesepakbola Bashir al-Rayani. Tapi, dia didenda 500 Dinar Libya dan hukuman penjara 1 tahun yang ditangguhkan karena terbukti minum dan memiliki alkohol.

Meski seharusnya dibebaskan dari penjara, tidak ada yang tahu di mana keberadaan Al-Saadi sekarang. Rumor menyatakan dia tetap dipenjara di Al-Hadaba, Tripoli, dan terjebak dalam perang saudara berkepanjangan yang masih berlangsung hingga hari ini.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network