Kisah "Perang Bola", El Salvador Serang Honduras Gara-gara Piala Dunia 1970

"Percaya atau tidak, sepakbola pernah membuat dua negara bertetangga terlibat perang terbuka. Militer saling serbu."

Feature | 05 March 2021, 12:47
Kisah "Perang Bola", El Salvador Serang Honduras Gara-gara Piala Dunia 1970

Libero.id - Percaya atau tidak, sepakbola pernah membuat dua negara bertetangga terlibat perang terbuka. Dikenal sebagai La guerra del futbol (Perang sepakbola) atau ada juga yang menyebut "Perang 100 jam", militer El Salvador menginvasi Honduras dan terlibat pertempuran yang melibatkan persenjataan berat.

Meski disebut "Perang Sepakbola", penyebab konflik tersebut tidak sesederhana itu. Sepakbola hanya puncak gunung es yang menjadi pemicu pertempuran dua negara Amerika Tengah pada 14-18 Juli 1969 itu.

Akar utamanya adalah reformasi tanah di Honduras dan masalah imigrasi serta demografi di El Salvador. Honduras lebih dari lima kali ukuran tetangganya El Salvador. Tapi, pada 1969 populasi El Salvador (3,7 juta) adalah 40% lebih besar dari Honduras (2,6 juta).

Pada awal abad 20, orang El Salvador mulai bermigrasi ke Honduras dalam jumlah besar. Akibatnya, pada 1969 ketika perang meletus, lebih dari 300.000 orang El Salvador tinggal di Honduras. Mereka merupakan 20% dari populasi Honduras.

Di Honduras, seperti di sebagian besar Amerika Tengah, tanah dimiliki oleh elite atau perusahaan besar. United Fruit Company memiliki 10% tanah, sehingga sulit bagi rakyat biasa untuk bersaing.

Pada 1966, United Fruit bersatu dengan banyak perusahaan besar lainnya untuk membentuk La Federacion Nacional de Agricultores y Ganaderos de Honduras (Federasi Nasional Petani dan Peternak Honduras). Kelompok ini menekan Presiden Honduras, Jenderal Oswaldo Lopez Arellano, untuk melindungi hak orang-orang kaya pemilik tanah.

Lalu, pada 1962, Honduras berhasil memberlakukan Undang-undang Reformasi Tanah yang baru. Diterapkan pada 1967, Undang-undang ini memberi pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagian besar tanah yang diduduki secara ilegal oleh imigran El Salvador untuk didistribusikan kembali kepada penduduk asli Honduras.

Kebijakan itu menimbulkan masalah bagi orang-orang El Salvador yang menikah dengan orang Honduras. Ribuan pekerja El Salvador juga diusir dari Honduras, termasuk pekerja migran dan pemukim jangka panjang.

Ketika orang-orang kedua negara dalam ketegangan tinggi, Kualifikasi Piala Dunia 1970 Zona CONCACAF digelar. Berhubung Meksiko mendapat tiket otomatis sebagai tuan rumah, maka Amerika Serikat (AS) menjadi unggulan utama. Sementara Kanada, Haiti, Honduras, Kosta Rika, El Salvador, hingga Jamaika menjadi kuda hitam.

Pada Putaran I, 12 negara dibagi 4 grup dengan masing-masing diisi 3 tim, bertanding home-away 4 kali. Lalu, 4 juara grup (AS, Haiti, Honduras, El Salvador) maju ke semifinal yang kembali dibagi 2 grup. AS dan Haiti di Grup 1, sementara Honduras dan El Salvador di Grup 2. Haiti dan El Salvador menjadi juara grup untuk bertemu di final. El Salvador menang dan lolos ke Piala Dunia menemani Meksiko.

Saat semifinal Grup 2 itulah sejarah kelam tercipta. Pada leg I di Tegucigalpa, 8 Juni 1969, Honduras menang 1-0. Tapi, tensi pertandingan sangat panas. Para pemain terlibat keributan di lapangan. Sementara di luar stadion, terjadi perkelahian massal. Banyak pendukung El Salvador yang mengalami luka berat akibat dipukuli pendukung maupun Polisi Honduras.

Bahkan, malam sebelum pertandingan, para pendukung Honduras memainkan perang psikologis dengan mengepung hotel tempat El Salvador menginap. Mereka membunyikan klakson mobil, menabuh genderang, bernyanyi, bersiul, hingga berteriak hingga pagi.

Kekalahan dari Honduras ternyata tidak bisa diterima oleh banyak pendukung El Salvador. Seorang pendukung remaja berusia 18, Amelia Bolanos, bahkan nekat mengakhiri hidupnya.

Saat itu, Amelia sedang duduk di depan TV di San Salvador ketika striker Honduras, Roberto Cardona, mencetak gol kemenangan di menit terakhir. Dia bangkit dan berlari ke meja yang berisi pistol ayahnya di laci. Tanpa diduga, Amelia menembak dirinya sendiri tepat di jantung. Semua orang terkejut!

Pemakaman Amelia yang dihadiri banyak orang dan disiarkan besar-besaran di televisi nasional El Salvador. Itu membuat simpati mengalir deras. Banyak orang El Salvador menganggap Amelia sebagai martir dan ikon pembangkit semangat nasionalisme rakyat El Salvador untuk membalas Honduras.

Kemudian, El Salvador gantian menjamu Honduras di San Salvador, 15 Juni 1969. Perlakuan Honduras di Tegucigalpa benar-benar diingat rakyat El Salvador. Pembalasan yang lebih kejam disiapkan El Salvador saat Honduras datang. Hotel tempat Honduras menginap dilempari berbagai macam benda sepanjang malam hingga semua kacanya pecah.

Saat hari pertandingan, Honduras berangkat ke stadion dengan pengawalan ketat militer. Mereka duduk manis di dalam panser dengan persenjataan lengkap. Awalnya, El Salvador menolak mengawal Honduras dengan ketat. Tapi, FIFA turun tangan dan mengancam akan mencoret El Salvador jika mengabaikan standar keamanan FIFA.

Ketika menuju stadion, Honduras melewati barikade pendukung El Salvador yang berjejer di pinggir jalan dengan kemarahan dan memegangi foto Amelia. El Salvador menenangkan pertandingan 3-0. Suporter tuan rumah merayakan kemenangan itu dengan membakar bendera Honduras.

"Dalam kondisi seperti itu, para pemain dapat dimengerti, tidak terlalu memikirkan permainan. Mereka berniat keluar hidup-hidup. Kami sangat beruntung karena kalah," kata Pelatih Honduras saat itu, Mario Griffin, dilansir The Guardian.

Ditengah chaos, para pemain Honduras bisa selamat dari stadion dan kembali ke Tegucigalpa dengan selamat. Tapi, masih ada pertandingan penentuan yang harus dijalani.

Dengan hasil 1-0 dan 0-3, secara umum situasinya imbang 1-1. Saat itu, FIFA belum menggunakan sistem agregat skor sehingga laga ketiga digelar di tempat netral untuk menentukan tim yang melaju ke fase selanjutnya. Laga berlangsung di Meksiko pada 26 Juni 1969.

Beberapa jam sebelum pertandingan digelar di Mexico City, pemerintah El Salvador memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Honduras. Mereka menyatakan bahwa dalam waktu 10 hari sejak pertandingan rusuh di El Salvador, sekitar 11.700 orang El Salvador telah dipaksa meninggalkan Honduras .

Dikatakan juga bahwa karena Honduras "tidak melakukan apapun untuk mencegah pembunuhan, penindasan, pemerkosaan, penjarahan, dan pengusiran massal orang-orang El Salvador", maka tidak ada gunanya mempertahankan hubungan.

Lebih lanjut, diklaim bahwa "pemerintah Honduras tidak mengambil tindakan efektif apapun untuk menghukum kejahatan yang merupakan genosida itu. Mereka juga tidak memberikan jaminan ganti rugi atas kerusakan yang dialami orang-orang El Salvador".

Meski El Salvador menang di play-off dan lolos ke Piala Dunia untuk kali pertama dalam sejarah melalui pertandingan yang berjalan fair serta sportif, kemarahan tidak bisa diredakan. Dua minggu setelah pertandingan, perang dalam arti sesungguhnya terjadi.

Pada 14 Juli 1969, militer El Salvador menyeberang perbatasan dan membombardir Tegucigalpa. El Salvador menyerang Honduras dengan kekuatan penuh. Sekitar 30.000 tentara menginvasi Honduras menggunakan artileri berat, tank, hingga pesawat pembom.

Sebagai negara yang diserang, Honduras membalas. Dengan bantuan Diktator Nicaragua, Anastasio Somoza Debayle, Honduras membalas dengan menembaki pesawat-pesawat El Salvador maupun tentara-tentara yang menyeberangi perbatasan darat di barat daya.

Perang memang tidak berlangsung lama karena Organization of American States (OAS) segera mengambil alih kendali untuk menyerukan gencatan senjata. Setelah saling serang selama 100 jam, tentara El Salvador dan Honduras menarik diri dari medan pertempuran.

Namun, perang yang berlangsung 4,5 hari itu menimbulkan kerugian material maupun nyawa yang luar biasa. Antara 60.000 sampai 130.000 orang El Salvador terusir secara paksa atau melarikan diri dari Honduras. Ada 2.000 warga sipil yang mayoritas orang Honduras meninggal. Sementara korban El Salvador sekitar 900 orang meninggal dengan 3 pesawat tempur ditembak jatuh.

Seusai perang, El Salvador tetap tampil di Piala Dunia. Mereka tergabung di Grup A bersama Uni Soviet, Meksiko, dan Belgia. Dari 3 pertandingan, tim asuhan Hernan Carrasco Vivanco selalu kalah dengan menderita 9 gol dan tanpa memasukkan.

Sebelas tahun setelah perang, kedua negara menandatangani perjanjian damai di Lima, Peru, pada 30 Oktober 1980. Mereka setuju untuk menyelesaikan sengketa perbatasan di Teluk Fonseca dan lima bagian perbatasan darat melalui Mahkamah Internasional (ICJ).

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

    Artikel Pilihan


    Daun Media Network