Kisah Sulaiman Al-Fahim, Eks Bos Portsmouth Curi Uang Istri Ongkosi Klub

"Dampak dari bisnis tidak jujur itu telah membuat Portsmouth hancur. Bangkrut total."

Biografi | 06 March 2021, 14:00
Kisah Sulaiman Al-Fahim, Eks Bos Portsmouth Curi Uang Istri Ongkosi Klub

Libero.id - Ketika wabah investasi taipan-taipan Timur Tengah melanda sepakbola Inggris, ada satu nama yang mencuri perhatian karena aksi kontroversialnya. Dia adalah Sulaiman Al-Fahim, yang menguasai Portsmouth 6 pekan pada 2009 menggunakan uang curian 5 juta pounds milik istrinya.

Sulaiman Abdul-Karim Mohammed Al-Fahim merupakan pengusaha asal Uni Emirat Arab (UEA). Spesialisasi utamanya real estate. Dia menerima gelar sarjana di bidang pemasaran dari Universitas UEA di Al-Ain dan gelar masternya dari Kogod School of Business, American University in Finance and Real Estate.

Al-Fahim adalah CEO Hydra Properties Real Estate Development Company, yang berbasis di Abu Dhabi. Dia berstatus Presiden Arab Union for Real Estate selama dua periode pada 2009-2013 dan 2013-2017.

Sepanjang kariernya, Al-Fahim menerima berbagai penghargaan bergengsi di dunia real estate. Sebut saja CEO Middle East Award for International Achievement. Lalu, Best Achievement Award 2008 saat dia berhasil memimpin Hydra Properties Real Estate Development Company secara lokal maupun internasional.

Prestasi Al-Fahim di bidang pengembangan properti digambarkan sebagai "sulit untuk dicapai oleh perusahaan manapun dalam waktu singkat". Akibatnya, The Arabian Business menempatkan Al-Fahim dalam daftar tokoh paling kuat di Arab peringkat keempat setelah Al-Walid bin Talal, Muhammad Al-Abbar, dan Muntadhar Al-Zaidi.

Kesuksesan di bisnis perumahan membuat Al-Fahim tertantang. Kebetulan, dia menyukai olahraga. Bisnis olahraga dimulai dari menjadi sponsor utama berbagai turnamen catur. Lalu, Al-Fahim terpilih sebagai Presiden Federasi Catur UEA pada 2008-2012.

Dari catur, Al-Fahim melebarkan sayap ke sepakbola. Ketika Thaksin Shinawatra ingin menjual mayoritas sahamnya di Manchester City, Al-Fahim hadir. Dia adalah bagian utama dalam penandatanganan kesepakatan penjualan Man City pada 2008. Al-Fahim digambarkan sebagai arsitek dari kesepakatan tersebut.

Saat itu, dia sebenarnya sedang melirik berbagai klub Eropa. Lalu, dia melihat potensi Man City. Berhubung hanya memiliki dana yang terbatas, Al-Fahim mencari rekan bisnis. Dia menghubungi Abu Dhabi United Group milik Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan. Sejarah kemudian mencatat bahwa Sheikh Mansour menjadi pemilik tunggal The Citizens.

Gagal di Man City, Al-Fahim mencari klub yang lebih murah. Pada 26 Mei 2009, dia membeli Portsmouth dari Alexandre Gaydamak. Prosesnya penuh kerahasiaan. Baik proses negosiasi maupun nominal yang dibayarkan Al-Fahim kepada Gaydamak, semuanya misterius. Pers dan suporter hanya tahu proses itu diresmikan pada 6 Agustus 2009.

Meski Al-Fahim berjanji akan menyuntikkan 50 juta pounds untuk membuat The Pompey bisa mendatangkan pemain-pemain hebat pada transfer window musim panas 2009, faktanya lain. Klub justru menjual bintang berpenghasilan tinggi, termasuk Peter Crouch, Sylvain Distin, Glen Johnson, hingga Niko Kranjcar.

Selanjutnya, kejanggalan demi kejanggalan pelan-pelan terungkap ke publik. Saat musim 2009/2010 baru kick-off, rekening The Pompey justru sudah mengering. Pada 1 Oktober 2009, klub mengakui beberapa pemain dan staf tidak gajian.

Pada 3 Oktober, media-media Inggris mulai melaporkan bahwa Al-Fahim sedang memulai proses penjualan saham Portsmouth kepada Ali Al-Faraj dari Arab Saudi. Pada 5 Oktober, kesepakatan disetujui untuk penjualan ke Al-Faraj melalui perusahaan yang terdaftar, Falcondrone. Dia memegang 90% saham dan Al-Fahim tetap mempertahankan 10% sisanya.

Dua hari setelah proses pengambilalihan Al-Faraj selesai, mantan Direktur teknik Portsmouth, Avram Grant, kembali ke posisinya sebagai Direktur sepakbola. Tapi, akibat masalah keuangan, operator Liga Premier dan FA menempatkan klub di bawah embargo transfer, yang berarti klub tidak diizinkan untuk merekrut pemain baru.

Rahasia penipuan Al-Fahim terungkap di pengadilan

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi pada proses pengambilalihan saham Portsmouth oleh Al-Fahim? Dia dijatuhi hukuman penjara 5 tahun oleh Pengadilan UEA karena terbukti mencuri 5 juta pounds uang milik istrinya. Dana itu dia gunakan membayar komitmen fee dalam proses pembelian saham The Pompey.

Pengadilan menyebut, Al-Fahim bersalah atas pemalsuan, menggunakan dokumen palsu, dan bersekongkol dalam kasus pencurian. Jaksa penuntut mengatakan bahwa istri Al-Fahim menemukan uang itu hilang setelah pengembalian yang dia harapkan dari rekening berbunga tinggi yang dia buka pada 2009 tidak masuk.

Dia mengatakan telah menghubungi bank untuk mempertanyakan masalah itu. Tapi, bank terus mengulur-ulur waktu, meski dia memintanya. Lalu, dia memutuskan untuk mengunjungi bank secara langsung. Dia terkejut ketika diberi tahu bahwa tidak ada uang di rekeningnya.

Istri Al-Fahim kemudian pergi ke Polisi. Setelah dilakukan penyelidikan, kasus terungkap. Pengadilan Dubai juga menghukum manajer bank tersebut atas pencurian, pemalsuan dokumen resmi, dan penggunaan dokumen palsu. Dia juga dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.

Al-Fahim tidak pernah menghadiri persidangan karena terlanjur melarikan diri ke Inggris. Dia juga tidak pernah menjalani hukuman penjara karena tidak pernah menginjakkan kaki ke UEA lagi.

Namun, terungkap fakta bahwa setelah menyerahkan uang 5 juta pounds itu, Al-Fahim tidak pernah melunasi kewajibannya kepada pemilik lama Portsmouth. Bahkan, dia menjualnya kepada Al-Faraj.

Dampak dari bisnis tidak jujur itu telah membuat Portsmouth hancur. Empat tahun kemudian, The Pompey masuk ke administrator keuangan dua kali karena bangkrut, menderita tiga degradasi, dan memiliki tujuh pemilik berbeda. Mereka juga tidak pernah kembali ke Liga Premier. Mereka kini ada di League One (kasta ketiga).

Pada 2013, Portsmouth diambil alih oleh Pompey Supporters Trust (PST), yang menjualnya kepada mantan CEO Disney, Michael Eisner, pada Agustus 2017. FA telah memperketat aturan tentang kepemilikan sejak kasus Al-Fahim, yang mencoreng sepakbola Inggris itu.

"Kasus tersebut, sekali lagi menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pemilik dapat membeli klub sepakbola tanpa memikirkan para pendukung yang telah mengabdi bertahun-tahun," ujar Juru bicara PST, Ashley Brown, kepada BBC Sports saat itu.

Memimpin negosiasi investasi di Beitar Jerusalem

Setelah lama tidak terdengar di sepakbola, Al-Fahim mendadak muncul pada akhir tahun lalu. Dia memimpin negosiasi pengambilalihan 50% saham Beitar Jerusalem. Bukan hanya sosok Al-Fahim yang mengejutkan, melainkan juga karena reputasi klub yang rasialis dan membenci orang Arab dan Muslim.

Tapi, pada 7 Desember 2020, atas peran Al-Fahim, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Nahyan, anggota keluarga penguasa Abu Dhabi, membeli 50% saham Beitar. Kesepakatan itu juga ditengahi oleh pengusaha Yahudi-UEA, CEO Koen Group, Naum Koen.

Sebagai bagian dari kesepakatan, Sheikh Khalifa al-Nahyan berencana untuk menginvestasikan sekitar USD92 juta ke klub selama 10 tahun ke depan dan putranya, Mohamed bin Hamad bin Khalifa, bergabung dengan dewan direktur klub.

"Pesan kami adalah bahwa kami semua (Yahudi dan Arab) setara. Kami ingin menunjukkan kepada anak-anak kecil kami bahwa kami semua setara dan bahwa kami dapat bekerja serta melakukan hal-hal indah bersama," ujar Co-owner Beitar, Moshe Hogeg, dilansir The New York Times.

Hubungan itu mungkin terjalin setelah UEA melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel pada 2020, yang sempat memunculkan kontroversi di seluruh dunia.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network