Cara Unik La Turbie, Akademi AS Monaco Rekrut Remaja Usia 14, 15, 16 Tahun

"Beda dengan akademi lain, Akademi AS Monaco itu tidak merekrut pemain saat kanak-kanak, melainkan di usia 14, 15, 16 tahun. Unik!"

Feature | 07 March 2021, 02:31
Cara Unik La Turbie, Akademi AS Monaco Rekrut Remaja Usia 14, 15, 16 Tahun

Libero.id - Jika di Spanyol ada La Masia dan La Fabrica serta di Belanda terdapat De Toekomst, maka Prancis memiliki La Turbie. Tapi, berbeda dengan lainnya, Akademi AS Monaco itu tidak merekrut pemain saat kanak-kanak, melainkan di usia remaja, yaitu 14, 15, 16 tahun. Unik!

Monaco merupakan kerajaan kecil di perbatasan Italia-Prancis yang merupakan wilayah protektorat Prancis. Dengan mayoritas penduduk merupakan ekspatriat, sepakbola bukan olahraga utama. Orang-orang di sana lebih tertarik menyaksikan Formula 1 dan berjudi di casino yang banyak tersebar di Monte Carlo.

Bukti lain menunjukkan, Stade Louis II, yang merupakan kandang satu-satunya klub di tempat itu, tidak pernah terisi penuh saat pertandingan Ligue 1 maupun kompetisi Eropa. Meski hanya berkapasitas 18.000 kursi, penonton yang hadir setiap pekan tidak lebih dari 5.000 orang. Itu sudah termasuk suporter lawan.

Bahkan, larangan bagi penduduk Monaco untuk datang ke casino setiap ada pertandingan sepakbola agar Stade Louis II dikunjungi tidak pernah berhasil. Stadion tetap kosong, meski Monaco memiliki 8 trofi Ligue 1.

Aneh? Memang! Tapi, bukan berarti Monaco tidak memiliki DNA sepakbola. Diimpor dari Inggris ke pantai utara Prancis pada awal abad 20, sepakbola mencapai Monaco pada 1920-an. Butuh empat dekade bagi tim untuk juara liga pertama kali, yaitu 1960/1961 ketika jersey ikonik mereka yang dirancang Grace Kelly diluncurkan.

Saat klub berada dalam era yoyo, naik-turun ke Division 1 dan Division 2 (sekarang Ligue 1 dan Ligue 2) berkali-kali, seorang presiden baru tiba pada 1975. Mengikuti langkah beberapa klub ternama Eropa yang sukses dengan pembinaan para pemain muda, Monaco mulai mengalihkan pandangan ke akademi.

Presiden Monaco ketika itu, Jean-Louis Campora, menyewa pelatih kepala dari Institut National du Football de Vichy milik Asosiasi Sepakbola Prancis (FFF), Gerard Banide, untuk membuat akademi di sebuah lokasi di luar teritorial Monaco. Tempat itu di bekas tambang dan terletak di wilayah Prancis, di La Turbie, yang dekat dengan Nice.

Tidak mudah bagi Monaco membangun akademi di sana. Pertama, lokasinya terletak di atas bukit kapur. Monaco harus membelah bukit itu untuk didirikan sejumlah lapangan sepakbola berstandar FIFA.

Kedua, konsekuensi dari demografi Kerajaan Monaco adalah tidak banyak penduduk yang memiliki anak. Sehingga, akademi tersebut tidak dapat menawarkan pendidikan awal yang sama seperti klub Prancis lainnya. Jika ada anak di Monaco, belum tentu orang tuanya mengizinkan bermain sepakbola.

"Tidak ada cukup banyak anak yang bermain sepakbola di daerah ini. Jadi, kami tidak memiliki tim akar rumput dari U-9 ke atas seperti di tempat lain. Lulusan kami bergabung pada usia 15 tahun dari institut nasional seperti Clairefontaine dan kami hanya memilih selusin ketika klub lain mengambil hingga 30 orang," kata Direktur La Turbie, Bertrand Reuzeau, dilansir The Guardian.

Karena tidak mungkin merekrut pemain yang lebih muda dari usia 14 tahun dari luar Monaco, maka klub terpaksa mencari pemain muda pada tahap akhir perkebangan mereka. "Kami harus berkeliling negara ini," tambah pria yang 11 tahun bekerja untuk Paris Saint-Germain (PSG) sebelum bergabung dengan Monaco.

Ternyata, itu justru menjadi kekuatan Monaco. Situasi tidak ideal itu memaksa klub untuk mencari pemain terbaik dan memperkuat jaringan pemandu bakat hingga ke pelosok-pelosok Prancis. Bahkan, hingga Eropa Timur, Balkan, Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Timur.

Dengan filosofi itu, Monaco ternyata menarik minat banyak pelatih top untuk bergabung ke akademi. Salah satu yang legendaris adalah Arsene Wenger. Mantan nakhoda Arsenal itu bergabung pada 1987. Dia punya jasa besar mendatangkan George Weah, Lilian Thuram, Emmanuel Petit, hingga anak emasnya, Thierry Henry.

Henry, Thuram, dan Petit, semua pemenang Piala Dunia. Mereka bergabung pada usia 15 tahun dan menyelesaikan setidaknya 100 pertandingan Ligue 1 sebelum pindah ke luar negeri dan menjadi bintang di luar Prancis.

"Para pemain yang bergabung dengan kami menghabiskan masa mudanya dengan keluarga mereka. Kami mulai berbicara dengan mereka pada usia 12 atau 13 tahun dan menggunakan penundaan sebagai kekuatan, karena anak-anak dapat tetap berada di lingkungan asalnya lebih lama sebelum bergabung," ungkap Reuzeau.

Presiden, pelatih, serta pemain datang dan pergi. Tapi, filosofi Akademi Monaco masih membuahkan hasil hingga hari ini. Setelah Henry meninggalkan Monaco, akademi terus memproduksi pemain-pemain jempolan. Salah satu yang menjadi buah bibir adalah Kylian Mbappe.

"Saat kami berbicara dengan talenta terbaik, mereka percaya pada proyek kami karena banyak pemain muda yang eksis di tim utama. Itu memudahkan kami meyakinkan mereka untuk bergabung," lanjut Reuzeau.

Selain Mbappe, lulusan La Turbie di era milenial juga meliputi Thomas Lemar dan Tiemoue Bakayoko. Jangan lupa, Fabinho, Benjamin Mendy, Bernardo Silva, Nicolas N'Koulou, Stephane Ruffier, atau Layvin Kurzawa juga memulai dari La Turbie. Mereka adalah pemain-pemain yang cara perekrutannya sama dengan generasi Henry.

"Kami hanya harus menunjukkan kepada mereka statistik pemain Prancis yang pergi lebih awal untuk ke Inggris. Biasanya berhasil," ucap Reuzeau.

Lima filosofi yang membuat La Turbie sukses

Sebelum menentukan pemain yang akan direkrut, Monaco mengandalkan talent scout jempolan. "Apa yang saya pelajari selama berada di Monaco adalah klub memiliki jaringan pemandu bakat pemain muda terbaik di Prancis," kata Tor-Kristian Karlsen, salah satu direktur di akademi.

"Pemain berusia 11 atau 12 tahun dilacak di seluruh negeri. Pemandu bakat kami akan bekerja dengan standar tinggi di semua wilayah. Mereka menjalani proses identifikasi yang sangat ketat. Sebab, indetifikasi merupakan faktor awal yang paling penting dalam pekerjaan akademi," tambah Karlsen

Selain pemandu bakat, keragaman asal usul pemain menjadi hal kedua. "Kami menginginkan profil yang berbeda untuk satu posisi, untuk menghindari terciptanya persaingan langsung untuk setiap tempat," jelas Reuzeau.

"Ketika talenta tiba di La Turbie, ada pelatih yang sangat baik untuk bekerja meningkatkan keterampilan mereka sebagai pesepakbola dan perkembangan manusia. Jaringan pendukungnya juga kelas satu," tambah Karlsen.

Filosofi ketiga adalah spesialisasi. Lulusan akademi mempelajari dasar-dasar permainan, transisi, dan bermain di berbagai posisi hingga tim U-17. Setelah itu, barulah mereka diberikan satu posisi khusus. Untuk bisa bermain di satu posisi tertentu, pelatih memiliki parameter tertentu dan bukan atas keinginan sang pemain.

Selanjutnya, para pemain akademi terbaik bercampur dengan para pemain profesional berpengalaman di Monaco B. Mereka akan bermain di Divisi IV kompetisi Prancis. Jika bagus, karier meraka akan naik. Jika jelek, mereka akan dilepas.

Untuk membuat pemain tetap bagus, evaluasi di luar lapangan menjadi filosofi kemepat akademi. "Kami sering menolak untuk mendekati prospek dengan catatan buruk di luar lapangan dan mencoba mendidik individu serta para pemain. Setiap lulusan akademi melakukan pekerjaan asosiatif untuk memahami orang-orang pada usia yang sama yang hidup dalam kondisi yang berbeda," kata Reuzeau.

Terakhir, penggunaan teknologi beruba "big data". "Semua klub memiliki data yang sama tentang pemain mereka. Tapi, kami mencoba membedakan diri kami dengan cara kami menyajikannya kepada para pemain. Lulusan akademi kami memberikan umpan balik tentang beban pelatihan mereka," ujar Reuzeau.

"Kami memberi mereka analisis teknis tentang game mereka dalam waktu 48 jam setelah peluit akhir dan aplikasi seluler dikembangkan untuk mengakses data mereka dari ponsel cerdas mereka," pungkas Reuzeau.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network