Kisah "One Team in Tallinn", Laga Tanpa Lawan Gara-gara Lampu Stadion

"Laga hanya berlangsung 3 menit karena tuan rumah justru tidak datang karena hal sepele, lampu stadion."

Feature | 21 March 2021, 11:00
Kisah "One Team in Tallinn", Laga Tanpa Lawan Gara-gara Lampu Stadion

Libero.id - Terakhir kali Skotlandia tampil di Piala Dunia terjadi pada 1998. The Tartan Army lolos setelah menjadi runner-up Grup 4 kualifikasi zona Eropa. Uniknya, mereka harus melewati satu laga unik melawan Estonia, yang dikenang hingga hari sebagai "One Team in Tallinn".  

Kejadian itu tercipta pada 9 Oktober 1996 di Kadrioru Stadium, Tallinn, dipimpin wasit asal Yugoslavia, Miroslav Radoman, dan disaksikan sekitar 1.000 orang, yang 99,9% adalah pendukung Skotlandia yang datang langsung dari Glasgow. Laga hanya berlangsung 3 menit karena tuan rumah justru tidak datang karena hal sepele, lampu stadion.

Cerita tersebut bermula pada 8 Oktober 1996 malam atau 1 hari sebelum pertandingan dalam sesi latihan resmi jelang pertandingan. Skotlandia berlatih di stadion dalam sorot lampu yang tidak memenuhi standar FIFA.

"Kami melakukan peninjauan lapangan seperti biasa pada malam sebelumnya. Tapi Craig Brown (pelatih Skotlandia) tidak terlalu senang dengan fasilitasnya. Ada masalah lampu," kata mantan gelandang The Tartan Army, Craig Burley, bercerita beberapa tahun kemudian, dilansir Four Four Two.

"Lapangannya sangat buruk. Tapi, saya bahkan tidak akan menyebutnya sebagai lapangan non liga. Itu bahkan tidak terlalu bagus. Barang lama yang lusuh. Lampunya sangat redup dan saya pikir dia merasa itu akan menjadi masalah," tambah pemilik 46 caps dan 3 gol untuk Skotlandia itu.

Kemudian, Asosiasi Sepakbola Skotlandia (SFA) mengajukan pengaduan ke markas besar FIFA di Zurich. FIFA merespons dengan menggelar pertemuan yang alot hingga larut malam (berakhir pukul 02.30). Rapat memutuskan pertandingan dimajukan pukul 15.00, tidak lagi seperti rencana awal pukul 18.45.

Estonia tidak senang dengan keputusan itu. Ada banyak alasan masuk akal yang melandasinya. Pertama, itu adalah hari Rabu, yang berarti mimpi buruk bagi para penggemar yang bekerja. Kedua, markas pelatihan mereka berjarak lebih dari 60 km dari Tallinn, yaitu di Kethna.

Ketiga, dan yang paling penting, ekonomi. Pasalnya, BBC Sport biro Skotlandia telah setuju untuk membayar Estonia 50.000 pounds untuk menyiarkan pertandingan di malam hari. Perbedaan waktu antara Glasgow dengan Tallinn menyebabkan pergeseran jadwal akan menjadikan siaran dilakukan siang hari di Skotlandia sehingga bisa dipastikan sepi peminat karena semua orang bekerja.

"Awalnya, kami tidak percaya bahwa itu terjadi. Kami mengetahuinya sekitar pukul 11.00. Itu adalah hari kerja. Tidak mungkin mengatur ulang hal-hal seperti keamanan dan teknis penyelenggaraan lainnya. Kami berpikir tidak akan ada fans Estonia yang datang," ujar mantan kiper Estonia, Mart Poom.

"Pada saat itu kami merasa seperti diperlakukan tidak adil. Kami seperti anak kecil dan orang-orang dapat melakukan apapun yang mereka inginkan kepada kami. Saat itu kami memang baru menjadi negara (terpisah dari Uni Soviet). Tapi, bukan begitu perlakuan yang seharusnya," lanjut mantan kiper Derby County itu.

Jadi, rencana Estonia tetap tidak berubah. Mereka akan muncul untuk kick-off pukul 18.45 seperti yang telah diatur sebelumnya. Aiver Pohlak, Presiden Asosiasi Sepakbola Estonia (EFA) saat itu, menyesali sikap Skotlandia. Dia menganggap hal tersebut sebagai arogansi "kakak" kepada "adik".

"Kami akan meninggalkan markas kami pada pukul 16.00 sesuai jadwal untuk kick-off pukul 18.45. Kami tahu Skotlandia akan pergi dan berarti tidak akan ada pertandingan," ungkap Pohlak.

Benar saja. Estonia membuktikan ucapannya. Pada pukul 14.00, Skotlandia sudah tiba di stadion. Di sana tidak ada perwakilan Estonia maupun petugas keamanan dan kru televisi. Begitu pula suporter tuan rumah. Yang ada hanya wartawan, ofisial FIFA, wasit, penjaga stadion, dan satpam. Suporter Skotlandia yang berjumlah 1.000 orang dengan leluasa masuk stadion dan duduk di tribun utama tanpa tiket.

Tidak peduli dengan pemandangan yang dilihat, Skotlandia memulai prosesi pertandingan. Mereka menjalani pemanasan di lapangan. Begitu pula wasit yang memimpin. Fans The Tartan Army menyambut mereka dengan meriah.

"Kami terasa seperti orang bodoh. Saya ingat anak-anak (para pemain) tertawa di terowongan (menuju lapangan) bersama ofisial pertandingan dan tidak ada orang lain. Browny (Craig Brown) memarahi Darren Jackson karena bercanda. Kali ini kami hanya ingin naik pesawat dan pulang," beber Burley.

Saat jam pertandingan, Skotlandia keluar ruang ganti menuju lapangan ditemani wasit tanpa ada pemberitahuan dari pembawa acara maupun lagu resmi FIFA. Tidak ada lagu kebangsaan yang diputar. Para pendukung Skotlandia yang di stadion menggantinya dengan nyanyian dan teriakan versi mereka sendiri.  

"Kami pikir mungkin Skotlandia akan kembali, karena itu sangat aneh. Tapi, kami telah melihat di berita bahwa Skotlandia datang ke stadion yang kosong dan penggemar Skotlandia telah menyerbu lapangan. Jelas, kami ingin bermain. Jika saya tidak salah, ada beberapa pemain Skotlandia yang cedera hari itu. Kami merasa seperti memiliki kesempatan menang," ujar Poom.

Setelah kejadian tersebut, para pengurus FA dari kedua kubu terlibat perdebatan sengit di FIFA. Skotlandia mengharapkan kemenangan WO 3-0, sementara Estonia berpegang pada keluhan mereka bahwa perubahan jadwal yang mendadak membuat masalah teknis tidak akan bisa diselesaikan dalam waktu singkat.

Lalu, sebuah komite yang diketuai Lennart Johansson dari Swedia bertemu hampir sebulan kemudian untuk mengambil keputusan final. Pria yang di kemudian hari menjadi presiden UEFA dan wakil presiden FIFA itu menyarankan replay di tempat netral, 4 bulan berselang, di Stade Louis II, Monaco. Hasilnya, 0-0.

“Saya harus mengakui bahwa untuk karier saya, pertandingan ulang itu penting. Jika kami bermain pada Oktober, saya tidak akan memiliki kesempatan bermain di Inggris lagi. Jim Smith adalah pelatih Derby. Dia mendatangkan saya pada 1994 saat melatih Portsmouth. Saya tidak memiliki karier yang bagus karena cedera dan tidak cukup bermain di laga timnas untuk mendapatkan izin kerja. Jadi, saya kembali ke Estonia," kata Poom.

"Jim mengawasi saya saat pertandingan di Monaco. Dia meminta pelatih kiper Skotlandia, Alan Hodgkinson, untuk melihat saya selama pertandingan. Ternyata, hal itu bagus untuk saya, dengan clean sheet, dan beberapa penyelamatan penting. Kemudian saya menandatangani kontrak dengan Derby," tambah Poom.

Hasil pertandingan itu disyukuri semua pihak. Skotlandia lolos ke Piala Dunia setelah unggul 2 poin atas Swedia dan tertinggal 2 poin dari pemuncak grup, Austria. Sementara Poom berhasil dikontrak Derby setelah memenuhi semua syarat izin kerja, yang ditentukan di laga itu.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network