Kisah Ajaib Komoro Lolos ke Piala Afrika Pertama Kali dalam Sejarah

"Komoro diperkuat pemain seperti Yusuf, Ali, Fuad, Abdullah, Faiz, dan Nasir Hamid."

Feature | 29 March 2021, 23:58
Kisah Ajaib Komoro Lolos ke Piala Afrika Pertama Kali dalam Sejarah

Libero.id - Komoro membuat sejarah baru ketika memastikan diri tampil di Piala Afrika 2021, yang dimundurkan 1 tahun. Itu menjadi kelolosan pertama Les Coelacantes. Mereka layak berbangga karena tergabung satu grup dengan tim Piala Dunia seperti Mesir dan Togo.

Union of the Comoros adalah sebuah negara pulau di Samudra Hindia, di ujung utara Selat Mozambik, di lepas pantai timur Afrika. Negara ini berbatasan maritim dengan Madagaskar dan Mayotte di tenggara, Tanzania di barat laut, Mozambik di barat, dan Seychelles di timur laut.

Ibukota dan kota terbesarnya adalah Moroni. Agama mayoritas penduduk, dan agama resmi negara, adalah Islam Sunni. Sebagai anggota Liga Arab, mereka adalah satu-satunya negara di dunia Arab yang seluruhnya berada di belahan bumi selatan (di bawah garis khatulistiwa).

Komoro juga merupakan negara anggota Uni Afrika, Organisasi Internationale de la Francophonie (OIF), Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dan Komisi Samudra Hindia (IOC). Negara ini memiliki tiga bahasa resmi, yaitu Komoro, Prancis, dan Arab.

Komoro adalah negara Afrika terkecil keempat berdasarkan luas. Populasinya (tidak termasuk Mayotte) diperkirakan 850.886 penduduk pada 2019. Sebagai bangsa yang terbentuk di persimpangan peradaban yang berbeda, Komoro terkenal dengan budaya dan sejarahnya yang beragam.

Negara berdaulat ini terdiri dari tiga pulau besar dan banyak pulau kecil. Semuanya di Kepulauan Komoro. Pulau-pulau besar umumnya dikenal dengan nama Prancisnya: Grande Comore paling barat laut (Ngazidja), Mohéli (Mwali), dan Anjouan (Ndzuani). Negara ini juga mengklaim pulau besar keempat, paling tenggara, Mayotte (Maore), yang merupakan wilayah seberang lautan Prancis.

Komoro menjadi bagian dari kolonialisme Prancis selama abad 19, sebelum kemerdekaannya pada 1975. Sejak itu, Komoro telah mengalami lebih dari 20 kudeta atau percobaan kudeta, dengan berbagai kepala negara dibunuh secara tragis.

Seiring dengan ketidakstabilan politik yang konsisten, Komoro memiliki ketimpangan pendapatan terburuk diantara negara mana pun di Afrika. Negara ini hanya sedikit lebih baik dari Sudan Selatan dan Somalia, yang berstatus negara paling menderita di Benua Hitam. Setengah populasi hidup di bawah garis kemiskinan internasional dengan pendapatan sebesar USS1,25 (Rp20.000) per hari.

Untuk sepakbola, Asosiasi Sepakbola Komoro (FFC) dibentuk pada 1979. Tapi, mereka baru bergabung dengan Konfederasi Sepakbola Afrika (CAF) pada 2003. Mereka juga baru diterima menjadi anggota FIFA pada 2005.

Tapi, sebagai negara "bukan anggota FIFA", Komoro memainkan pertandingan pertama pada Samudera Hindia Games 1979. Itu adalah satu-satunya permainan yang mereka mainkan sampai kualifikasi Piala Arab 2009 pada 2006. Kedua pertandingan tersebut adalah dua pertandingan pertama mereka dengan pengakuan penuh FIFA, dan termasuk kemenangan 4-2 atas Djibouti.

Pada tahun 2007, Komoro pertama kali memasuki kualifikasi Piala Dunia 2010 dan Piala Afrika 2010. Sayangnya mereka kalah di babak penyisihan secara menyakitkan dengan agregat 2-10 ke Madagaskar.

Selanjutnya, selama Kualifikasi Piala Dunia 2018 pada Oktober 2015, Les Coelacantes melaju melewati babak pertama untuk pertama kalinya dengan mengalahkan Lesotho dalam gol tandang setelah dua kali seri. Sejak itu, hasil terus meningkat, termasuk kemenangan kandang melawan Botswana, Mauritius, dan Malawi di Kualifikasi Piala Afrika 2019.

Puncak prestasi Komoro di sepakbola terjadi tahun ini. Tergabung di Grup G bersama Mesir, Togo, dan Kenya, pasukan Amir Abdou sudah memastikan tempat di Kamerun di matchday 5.

Sebagian besar pujian tentu saja layak diberikan kepada Abdou, sebagai pelatih tim nasional sejak 2014. Dia merevolusi sepakbola Komoro. Enam tahun lalu ketika Abdou pulang ke negara asal leluhurkan setelah hidup bertahun-tahun di Prancis, revolusi segera dilakukan.

Sebagai orang yang lahir di Marseille, dia mengubah barisan pemain amatir Komoro menjadi profesional. Dia menghubungi diaspora Komoro di Eropa, khususnya di Prancis, untuk bersedia pulang kampung membela tanah leluhur. Hasilnya, banyak pemain Komoro yang lahir, besar, dan berkarier di Benua Biru.

"Saya pikir saya adalah satu-satunya profesional ketika saya tiba pada 2010. Kami adalah 5 atau 6 ekspatriat pada saat itu. Jelas bahwa kami memulai dari bawah. Tapi, tahun demi tahun, dengan penambahan profesional lain, seluruh organisasi menjadi lebih profesional," kata kapten Komoro, Nadjim Abdou kepafa BBC Sport Africa.

Gelandang yang biasa disapa Jimmy itu lahir di Prancis. Saat ini dia membela Martigues di Divisi IV Prancis. Tapi, dia pernah berkarier di Championship Division bersama Millwall dan AFC Wimbledon. "Memanggil diaspora Komoro adalah ide brilian. Ini juga dilakukan negara-negara lain bukan?" tambah Jimmy.

Jimmy tidak sendirian, pemain lain yang lahir dan besar di Prancis adalah Said Bakari. Bek yang sejak 2017 tercatat sebagai anggota RKC Waalwijk di Eredivisie tersebut sempat menerima pendidikan di Akademi Paris Saint-Germain (PSG). "Ini (tampil di Piala Afrika) seperti keajaiban," ucap Bakari.

Jika melihat daftar pemain Komoro yang tampil melawan Togo dan Mesir, akhir bulan ini, tidak ada satupun pemain dari klub lokal. Hanya ada dua pemain yang berkompetisi di Afrika, yaitu Mauritania. Mereka adalah Faouz Faidine Attoumane dan Ibroihim Youssouf, yang membela FC Nouadhibou.

Selebihnya, semua pemain berbasis di Eropa, baik dari kasta tertinggi maupun di Divisi IV. Sebut saja Abdallah Ali Mohamed, yang bermain bersama Sandy Walsh di Zulte Waregem (Belgia). Ada lagi Youssouf M'Changama (Guingamp), Faiz Mattoir dan Mohamed Youssouf (Ajaccio), atau Benjaloud Youssouf (Le Mans).

Terdapat pula pemain-pemain dari luar Prancis. Contohnya, Fouad Bachirou (Nottingham Forest), Rafidine Abdullah (Lausanne), Nasser Chamed (Gaz Metan Medias), Faïz Selemani (Kortrijk), hingga El Fardou Ben Nabouhane (Red Star Belgrade).

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network