Kisah Rohingya United, Tim Sepakbola di Australia yang Menyatukan Para Pengungsi

"Terusir dari tanahnya tidak membuat mereka kehilangan harapan. Sepakbola jadi alat meraih mimpi."

Feature | 09 July 2021, 16:35
Kisah Rohingya United, Tim Sepakbola di Australia yang Menyatukan Para Pengungsi

Libero.id - Sepakbola bukan hanya tentang olahraga. Lebih jauh dari itu sepakbola adalah tentang membangun sebuah persatuan, menciptakan kebahagiaan, kemanusiaan, hingga merajut mimpi besar, meski bagi kaum yang terpinggirkan. 

Sebagai pengungsi yang terbuang dari tanahnya karena diskriminasi dan penindasan, orang-orang Rohingya dari barat Myanmar hidup dalam kesulitan di negeri asing. Makan serba kekurangan dan tidak tercukupinya fasilitas kesehatan menjadi pemandangan sehari-hari. 

Tapi, bukan bebarti mereka menyerah dengan keadaan. Menggunakan sepakbola para pengungsi Rohingya yang mendapatkan suaka di Australia membentuk klub, yang diberi nama Rohingya United. Mereka mendaftarkan diri untuk bermain di Q-League Premiers. 

Itu adalah kompetisi di negara bagian Queensland, Australia. Kompetisi itu baru dibentuk dan diikuti 28 klub, serta menampilkan banyak komunitas asing di Queensland. Bukan hanya pengungsi Rohingya, melainkan juga Somalia, imigran Pakistan, Bhutan, Bosnia, Vietnam, hingga orang-orang keturunan Spanyol. 

Pendiri Rohingya United, Rafique Mohammed, bercerita kehidupannya sebagai pengungsi di Bangladesh (sebelum mendapat kesmepatan pergi di Australia) sangat berat. Dia dan keluarganya hanya mendapatkan jatah makan untuk dua minggu, yang dibagikan personel PBB.

"Satu kilogram beras, sedikit minyak, dan beberapa sayuran. Ada banyak orang yang hanya dapat sedikit makanan setiap harinya. Itu tidak pernah, dan tidak akan pernah cukup," ucap Mohammed kepada The Guardian.

Hanya itu yang dimakan Mohammed selama 13 tahun pertama hidup di kamp pengungsian di Bangladesh. Dia lahir di Nayapara, Myanmar, dan melarikan diri ke Bangladesh karena diskriminasi dan perlakuan tidak manusiawi Pemerintah Myanmar. 

Saat di Bangladesh itulah Mohammed berkenalan dengan sepakbola. Berkat PBB dia akhirnya bisa melihat pertandingan sepakbola yang sesungguhnya. Itu terjadi pada Piala Dunia 2010. Saat itu, personel PBB mengizinkan beberapa pengungsi untuk ikut menyaksikan televisi di kantor kecil mereka yang berfungsi sebagai pusat administrasi kamp. 

"Jadi, kami menyelinap masuk (ke kantor PBB) untuk menonton beberapa menit. Itu adalah pertama kalinya saya melihat sepakbola yang sebenarnya. Ini gila. Saya hanya menangis sambil memegang bola sepak dari tumpukan plastik yang saya buat. Itu adalah momen terbaik dalam hidup saya," ujar Mohammed.

Ketika Mohammed bersama ibu dan dua saudara laki-lakinya tiba di Australia, dia baru benar-benar bisa menyentuh bola yang sebenarnya. "Saya hanya menangis, memegang bola sepak tersebut. Itu momen terbaik dalam hidup saya. Saya tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata," ungkap Mohammed.

Tantangan awalnya adalah beradaptasi dengan bola. Kemudian, dia bergabung dengan klub komunitas di Brisbane, Virginia United, selama dua musim. Dalam kehidupan umum, 18 bulan pertama itu sangat sulit. Beberapa sepupu yang sudah tinggal di Australia menawarkan bantuan. Tapi, kemampuan Bahasa Inggris yang minim membuat dia hanya bisa pergi ke komunitasnya.

Setelah beberapa tahun di Australia, Mohammed mulai memberanikan dirinya untuk menjelah lebih jauh. Pada 2016, dia mendirikan Rohingya United bersama pengungsi Rohingnya lainnya yang beruntung tinggal di Negeri Kanguru.

"Kami memiliki banyak pemain muda. Jadi, saya dan sepupu saya menciptakan klub dan berpikir mungkin di masa depan kami bisa masuk ke liga. Kami baru saja membuat semua orang turun untuk menendang bola di sore hari. Begitulah awalnya," ungkap Mohammed.

"Lambat laun, kami mendapatkan banyak anggota komunitas yang datang untuk menonton kami. Jadi ini sangat penting bagi kami, karena kami mewakili komunitas kami dan kami membawa nama Rohingya ke mana pun kami pergi," tambah Mohammed.

Ide Mohammed untuk membentuk Rohingya United ternyata mendapatkan sambutan antusias. Banyak anak muda Rohingya di Australia yang mendaftar untuk berlatih dan bermain. Akibatnya, klub itu sudah tidak bisa menampung orang-orang yang ingin bergabung.

Kemudian, Mohammed membentuk tim kedua untuk menampung mereka yang tidak bisa bergabung dengan Rohingya United. Klub itu dinamakan Queensland Rohingya (QR) The Brave. 

Baik Rohingya United maupun QR The Brave sama-sama mendaftar di kompetisi yang baru memulai musim perdana di Queensland, yaitu Q-League. Itu adalah liga multikultural yang menawarkan komunitas migran dan pengungsi kesempatan untuk bermain sepakbola tanpa membayar biaya pendaftaran yang terlalu tinggi.

"Semua orang mencintai kehidupan mereka sekarang. Mereka memiliki kesempatan mereka sendiri, tujuan mereka sendiri. Sayangnya 1,6 juta orang masih berharap untuk mendapatkan tempat seperti saya. Saya masih berjuang untuk membuat mereka bersama saya di sini. Kami memiliki banyak ruang di sini, di Australia. Mengapa mereka tidak bisa datang ke sini juga?" ungkap Mohammed.

Pada akhir Juni 2017, diperkirakan 35.480 orang dari Myanmar tinggal di Australia. Menurut Dewan Pengungsi Australia. Ada lebih banyak lagi di pusat penahanan lepas pantai (di Nauru). Mereka adalah manusia-manusia perahu yang berlayar dari pengungsian di Bangladesh ke Australia.

"Saya bisa bermain sepakbola. Saya bisa bertemu teman-teman lain di komunitas. Itu karena saya pergi ke Australia sebagai pengungsi. Saya harus pergi dan hidup sepenuhnya. Saya memiliki kebebasan," ucap Mohammed.

Kehidupan Mohammed di Australia sangat bagus. Dia kini memiliki ijazah Diploma di bidang IT. Dia juga bekerja untuk Football Queensland dan Multicultural Australia. Itu adalah LSM yang membantu pencari suaka, pengungsi, dan migran lainnya menemukan tempat tinggal dan bekerja serta mengakses layanan seperti transportasi dan perawatan kesehatan.

Di sela-sela kesibukannya, dia tetap fokus dengan Rohingya United dan QR The Brave. "Itulah cara terbaik untuk terhubung dengan orang Australia dan komunitas lain di sekitar saya. Bahkan, jika anda tidak tahu Bahasa Inggris, di lapangan andaakan mengerti karena tubuh anda berbicara dalam bahasa yang sama," pungkas Mohammed. 

(muhammad alkautsar/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network