Aksi Para Atlet Olimpiade yang Melakukan Gestur Tangan 'X' Sebagai Bentuk Protes

"Aksi protes lainnya sepanjang sejarah Olimpiade."

Feature | 04 August 2021, 05:50
Aksi Para Atlet Olimpiade yang Melakukan Gestur Tangan 'X' Sebagai Bentuk Protes

Libero.id - Komite Olimpiade Internasional (IOC) sedang menyelidiki tindakan protes yang dilakukan oleh seorang atlet dari kontingen Amerika Serikat dalam upacara pengalungan medali di Olimpiade Tokyo akhir pekan lalu.

Seorang atlet tolak peluru dari AS bernama Raven Saunders, yang memenangkan medali perak di Tokyo, mengangkat tangannya dan menyilangkannya dengan tanda X sambil berpose untuk foto di podium medali. Beberapa saat kemudian, atlet anggar AS, Race Imboden, yang memenangkan perunggu juga muncul untuk menunjukkan gestur tangan tanda X.

Saunders mengatakan kepada New York Times beberapa atlet dari AS menyusun rencana selama beberapa minggu terakhir untuk menggunakan simbol X sebagai cara mereka memprotes.

Atlet AS lainnya, yaitu Gwen Berry juga mengatakan dia akan melakukan memprotes yang sama di Tokyo. “Protes di podium adalah hak asasi manusia,” kata Berry dalam wawancara TIME100 Talks. “Bukan IOC yang memutuskan.”

Apa yang diwakili oleh gestur 'X'?

Saunders menjelaskan bahwa X dimaksudkan untuk mewakili diskriminasi terhadap orang yang tertindas. Dia membuat gerakan itu setelah lagu kebangsaan China diputar saat pengalungan medali emas untuk Gong Lijiao pada cabang menembak. Dia menambahkan bahwa dia tidak ingin menghina lagu kebangsaan dari negara lain.

Saunders yang berkulit hitam dan seorang gay itu secara terbuka mengatakan bahwa kemenangannya bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dia mengatakan. “Saya ingin menjadi seperti yang saya cita-citakan untuk bisa menjadi diri saya sendiri dan tidak meminta maaf kepada yang lebih muda,” kata Saunders setelah acaranya.

Apa tanggapan IOC dan USOPC tentang protes itu?

Sampai saat ini, yang tertulis di Piagam Olimpiade IOC adalah melarang para atlet untuk berpartisipasi dalam segala jenis demonstrasi atau propaganda politik, agama atau rasial.

Sementara tahun lalu, IOC menegaskan kembali bahwa mereka tidak akan mengizinkan protes atlet dalam upaya untuk netralitas politik.

Pada 2 Juli 2021 menjelang Olimpiade Tokyo, IOC mengumumkan tentang perubahan pada 50 poin dalam Piagam Olimpiade yang mengizinkan beberapa bentuk demonstrasi yang merupakan sebuah upaya untuk menanggapi realitas protes atlet.

Di bawah aturan baru, para atlet sekarang dapat terlibat dalam demonstrasi untuk mengekspresikan pandangan mereka saat berada di lapangan permainan. Dengan catatan, atlet tidak diizinkan untuk memprotes selama kompetisi atau saat berada di podium.

Jika seorang atlet melanggar aturan itu, potensi pelanggaran akan dievaluasi oleh komite Olimpiade nasional atlet tersebut, federasi internasional untuk olahraga yang terlibat, dan IOC. Komite Olimpiade dan Paralimpiade Amerika Serikat (USOPC) mengumumkan mereka tidak akan menanggapi perilaku seperti itu di Olimpiade tahun ini, selama tindakan seorang atlet tidak dianggap mengandung unsur kebencian.

Pada saat upacara pembukaan Olimpiade, lebih dari 150 atlet, akademisi, dan relawan keadilan sosial menandatangani surat terbuka yang menuntut perubahan pada 50 poin dalam Piagam Olimpiade dan mendesak agar IOC menahan diri dan menjatuhkan sanksi pada atlet yang melakukan protes dan melakukan demonstrasi.

Di Tokyo, aturan dari USOPC itu akan dijadikan dasar untuk mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh Saunders. Dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke Reuters, USOPC mengatakan bahwa mereka telah melakukan tinjauan dan memutuskan bahwa Saunders tidak melanggar aturan apapun, dengan mengatakan. "Ekspresi damai Raven Saunders dalam mendukung keadilan rasial dan sosial bertujuan untuk menghormati pesaingnya dan tidak melanggar aturan kami, aturan yang berkaitan dengan demonstrasi.”

Bagaimana sejarah protes di Olimpiade?

Sementara IOC telah mengambil sikap tentang netralitasnya dalam urusan politik. Olimpiade telah menjadi panggung protes politik hampir sejak dimulai pada 1894. Salah satu contoh paling awal datang pada 1906 yang dilakukan oleh seorang atlet Irlandia bernama Peter O'Connor. Satu dekade sebelum Perang Kemerdekaan Irlandia, O'Connor marah karena harus tampil di bawah bendera Inggris. Dia melakukan protes dengan memanjat tiang bendera setinggi 20 kaki dan mengibarkan bendera Irlandia.

Yang paling terkenal adalah kejadian pada 1968, di mana sprinter Amerika bernama Tommie Smith dan John Carlos, mengangkat sarung tinju mereka sebagai bentuk 'Black Power' ketika lagu kebangsaan Amerika dimainkan di Mexico City pada 1968.

Foto mereka telah menjadi ikon protes di perhelatan olahraga dunia sekelas Olimpiade. Itu adalah tindakan berani yang pada akhirnya membuat para atlet kehilangan karier mereka, meskipun mereka tidak menyesali tindakan mereka. “Saya bangga dengan apa yang kami lakukan,” kata Carlos kepada New York Times pada 2016.

Baru pada 1975, Piagam Olimpiade membuat aturan yang melarang atlet melakukan segala bentuk protes saat tampil. Itu sebenarnya adalah bagian dari aturan dalam piagam. “Setiap jenis demonstrasi atau propaganda, baik politik, agama atau ras, di area Olimpiade dilarang.”

Ini menghadapi ujian pertama untuk Saunders. Dalam konferensi pers, juru bicara IOC, Mark Adams mengatakan bahwa mereka sedang meneliti masalah ini dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.

Sementara itu, Saunders menanggapinya dengan humor yang baik, dengan men-tweet. “Biarkan mereka mencoba dan mengambil medali ini. Saya berlari melintasi perbatasan, meskipun saya tidak bisa berenang.” Dia memasukkan emoji menangis-tertawa dan menyematkannya di bagian atas feed-nya.

(diaz alvioriki/yul)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network