Mengenal Sheriff Tiraspol, Klub Super Kaya dari Negara Sangat Miskin di Eropa

"Jika anda tahu kisah Shakhtar Donetsk dibawah Rinat Akhmetov, ini mirip dengan Sheriff."

Biografi | 26 August 2021, 16:10
Mengenal Sheriff Tiraspol, Klub Super Kaya dari Negara Sangat Miskin di Eropa

Libero.id - Keberhasilan Sheriff Tiraspol mencapai fase grup Liga Champions untuk pertama kalinya dalam sejarah memunculkan sejumlah pertanyaan. Siapa sebenarnya klub asal Moldova yang berbasis di sebuah wilayah sempalan bernama Republik Pridnestrovia atau yang dikenal sebagai Transnistria.

Sheriff berhasil menjadi satu dari 32 tim terbaik Benua Biru setelah mengalahkan Dinamo Zagreb di play-off. Pada pertemuan pertama di Tiraspol, The Yellow-Blacks unggul 3-0. Lalu, pada pertemuan kedua di Zagreb, imbang 0-0.

Klub ini awalnya didirikan pada 1996 sebagai FC Tiras Tiraspol. Lalu, pada 4 April 1997, mantan anggota KGB sekaligus Polisi Rahasia Uni Soviet yang mendirikan perusahaan jasa keamanan bernama Sheriff, Victor Gușan, menjadi sponsor utama klub. Berdasarkan kesepakatan, Tiras kemudian berubah menjadi Sheriff.

Dalam waktu singkat setelah pembentukannya, Sheriff sudah menjadi raksasa sepakbola Moldova. Mereka juara liga untuk pertama kalinya pada 2000/2001. Selanjutnya, mereka terus menjuarai kompetisi kecuali 1997/1998. Jika ditotal, Sherrif juara 19 kali dari 21 edisi Liga Moldova.


Bagaimana Sheriff membangun kekuatannya?

Jika anda tahu sejarah Shakhtar Donetsk dibawah kendali Rinat Akhmetov, ini sangat mirip dengan Sheriff. Seperti halnya Akhmetov, Gusan juga punya riwayat kotor dalam bisnis dan politik.

Sebagai mantan agen dan polisi rahasia Uni Soviet, Gusan benar-benar mengambil peluang dari kekosongan kekuasaan yang terjadi di Moldova setelah bubarnya negeri komunis itu. Situasi semakin menguntungkan karena wilayah tempat Tiraspol berada, Transnistria, adalah negara dalam negara.

Secara de facto, Transnistria adalah negara merdeka. Berbentuk Republik Sosialis, wilayah yang dideklarasikan pada 25 Agustus 1991 itu memberontak dari Moldova. Mereka punya pemerintahan, militer, pengadilan, hingga mata uang sendiri. Tapi, secara de jure tidak ada negara anggota PBB yang secara resmi mengakui mereka.

Transnitria menjalankan negaranya dengan mengadopsi Uni Soviet. Mereka memiliki bendera dan lambang, yaitu palu-arit. Sistem pemerintahan otoriter juga diterapkan. Tidak ada demokrasi dan kebebasan berbicara. Pemilihan umum hanya formalitas dan semua orang wajib menjalani dinas militer. Pemerintah mengontrol semuanya.

Selain tidak diakui dunia, Transnistria juga wilayah yang miskin, terbelakang, dan penuh dengan korupsi. Mereka memang memiliki industri baja yang berkualitas, yang menyumbang 60% pemasukan untuk Moldova. Tapi, perusahaan-perusahaan itu hanya dikendalikan oleh segelintir orang yang bekerja sama dengan penguasa korup.

Orang-orang ini bisa mendominasi ekonomi dan politik di kawasan itu bermula ketika komunisme runtuh. Saat Uni Soviet bubar, terjadilah kekosongan kekuasaan dan preman lokal seperti Gusan "menjarah" perusahaan-perusahaan itu dan menjadikan miliknya. Itulah alasan utama yang membuat Moldova menjadi negara paling miskin di dunia.

Dana-dana dari bisnis ilegal di Transnistria yang dikumpulkan Gusan digunakan untuk mendanai Sheriff. Bayangkan, di negara yang pendapatan per tahunnya hanya USD3.000 (Rp43 juta), klub membangun stadion kandang dan kompleks latihan senilai USD200 juta (Rp2,8 triliun).

Saat ini, Gusan menguasai hampir semua sektor ekonomi di Transnitria. Selain industri baja, dia punya bank, stasiun televisi, surat kabar, media online, perusahaan jasa keamanan, perusahaan pembiayaan kredit, kompleks perumahan dan apartemen, pompa bensin, perusahaan kontruksi, jaringan telepon seluler, supermarket, transportasi, restoran, hingga toko minuman keras.

Gusan juga mempunyai partai politik, yaitu Obnovlenie (Partai Republik). Bahkan, partai milik Gusan menguasai 35 dari 43 kursi parlemen Transnitria.

Secara kasat mata memang tidak ada hubungan antara Sheriff dengan pemerintah. Tapi, dengan apa yang dimiliki Gusan di wilayah itu, semua orang bisa melihat dengan jelas.

"Itu adalah model bisnis klub untuk merekrut pemain asing dari Amerika Selatan dan Afrika, menambah nilai mereka dan kemudian menjualnya ke klub Rusia," ujar salah satu anggota Asosiasi Sepakbola Transnitria, Petr Lulenov, menjelaskan bagaimana Sheriff mendapatkan uang dari sepakbola, dilansir BBC Sport.

"Tapi, karena liga domestik sangat lemah dan hanya ada sedikit persaingan untuk Sheriff, kebijakan itu tidak lagi berfungsi. Diharapkan juga bahwa tim dari Rusia dan Ukraina akan datang dan menggunakan fasilitas klub dan itu akan membantu menciptakan persaingan sepakbola yang besar. Tapi ternyata tidak seperti itu. Klub mengalami kerugian besar," tambah Lulenov.


Kesaksian mantan pemain Sheriff asal Australia

Salah satu pemain yang sempat membela Sheriff adalah Antony Golec. Pemain asal Australia itu bermain di sana pada 2016. Tapi, karena hal-hal non teknis yang menakutkan, mantan pemain Badak Lampung pada Liga 1 2019 tersebut memutuskan pergi.

"Terbang ke Moldova, Chisinau, adalah kota yang indah. Saya terkejut dan bersemangat. Tapi, masuk ke Tiraspol adalah kebalikannya. Rasanya seperti baru saja melewati perang," ujar Golec, dilansir stuff.co.nz.

"Pemilik di sana menjalankan segalanya di wilayah itu. Dia tidak pernah keluar kota. Saya tidak tahu (alasannya). Tapi, teman-teman sesama pemain asing memberitahu saya jika dia meninggalkan Transnitria, dia akan ditangkap. Saya tidak tahu (kejahatannya). Mungkin money laundring, korupsi, dan sebagainya. Saya tidak tahu," tambah Golec.

"Di sana, semuanya 'Sheriff'. Anda selalu diawasi 24 jam, 7 hari seminggu. Anda harus berhati-hati. Tidak ada yang berani protes. Itu sangat kontras. Kami punya stadion dan fasilitas latihan super mewah. Seperti di Inggris. Tapi, penduduk di sana sangat miskin," beber Golec.

Pemain berusia 31 tahun yang sekarang membela Macarthur FC itu juga menjelaskan Gusan secara teratur mengingatkan para pemain tentang tangannya yang memberi makan. Pasukan akan berbaris di luar kantornya untuk mengumpulkan gaji mingguan pemain.

Satu per satu, mereka akan melewati dua penjaga yang dipersenjatai dengan senapan mesin ringan untuk menerima pembayaran tunai dengan mata uang Transnitria. Jika pertunjukan tidak sesuai dengan keinginan presiden, amplop itu akan kosong.

"Dia akan datang ke pelatihan dengan tiga atau empat Hummer dan pengawalnya. Anda mendapat ide bahwa anda tidak bisa main-main dengan pria seperti itu. Banyak hal terjadi yang membuat anak-anak tidak senang. Ada saat-saat kami tidak akan dibayar. Bahkan, jika kami menjadi yang pertama," kata Golec.

Meski memenangkan liga seperti yang diharapkan, pelatih Sheriff saat Golec bermain, Zoran Vulic, dipecat dan semua pemain asing disuruh pergi. Ketika tawaran transfer dari klub Korea Selatan, Chunnam Dragons, disetujui Sheriff, Golec mengemasi tasnya untuk pergi ke Asia Timur.

"Saya sedang dalam perjalanan ke bandara ketika agen saya menelepon saya. Dia mendarat di Korea sehari sebelum saya dan berkata: 'Berbalik, kamu akan pergi ke Iran'. Saya pikir itu hanya lelucon, saya tidak percaya," ucap Golec.

"Ternyata, ada kesepakatan di bawah meja yang dilakukan antara Persepolis (klub Iran) dan pemilik Sheriff yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan lebih banyak uang. Sungguh, saya tidak punya pilihan. Saya terpaksa pergi ke Iran," kata Golec.

Meski Iran dan Moldova tidak berbeda jauh dari segi politik, Golec merasa bermain di Iran lebih bagus. "Ketika saya pertama kali muncul di tempat latihan, mereka memiliki 40.000 orang di sana. Fasilitas pelatihan penuh dengan orang-orang yang keluar hanya untuk melihat satu orang saja," pungkas Golec.

(andri ananto/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network