Kisah Eks Nakhoda Timnas Spanyol Melatih Negara Paling Bahaya di Dunia

"Clemente adalah pelatih terbaik Spanyol sebelum era Vicente del Bosque. Kini, dia ada di Libya."

Biografi | 21 October 2021, 17:05
Kisah Eks Nakhoda Timnas Spanyol Melatih Negara Paling Bahaya di Dunia

Libero.id - Libya dikenal sebagai salah satu negara gagal di Afrika. Wilayah ini rawan konflik, perang saudara, dan hal-hal lain yang ekstrem. Tapi, bukan berarti tidak ada sepakbola di negara ini. Bahkan, tim nasional Libya dilatih arsitek legendaris Spanyol, Javier Clemente.

Javier Clemente Lazaro lahir pada 12 Maret 1950. Dia dikenal sebagai pelatih sepakbola Spanyol dan mantan pemain yang bermain sebagai gelandang.

Terpaksa pensiun dari bermain di usia 20 tahunan karena cedera, Clemente memulai karier kepelatihan pada 1975. Selama empat dekade berikutnya, dia memimpin beberapa klub dan tim nasional, termasuk Athletic Bilbao, Espanyol, dan La Furia Roja.

Dijuluki El Rubio de Barakaldo, Clemente memenangkan La Liga 1982/1983 dan 1983/1984 bersama Bilbao. Dia juga memimpin Spanyol tampil di Piala Dunia 1994 dan 1998, serta Euro 1996. Clementa sempat mengantarkan La Furia Roja menorehkan 31 pertandingan tanpa kekalahan.

Setelah sempat melatih Serbia dan Kamerun, Clemente mendapatkan tantangan menukangi Libya. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Pasalnya, negara kaya minyak di Afrika Utara itu berada dalam status perang saudara berkepanjangan. Ini adalah negara paling berbahaya di dunia selain Somalia, Suriah, Afghanistan, dan Yaman.

Clemente ditunjuk melatih Libya sejak Mei 2021. Ini merupakan periode kedua setelah sebelumnya, pada 2013-2016, dirinya juga bermukim di Tripoli. Saat itu, Libya memenangkan African Nations Championship 2014. Itu adalah Piala Afrika mini yang pemainnya berasal dari klub-klub liga lokal. 

Tugas terbaru Clemente adalah membawa Libya maju ke Piala Dunia 2022 di Qatar. Saat ini tim asuhannya berada di urutan kedua Grup F. Dari empat pertandingan, Libya mengoleksi enam poin atau tertinggal empat poin dari Mesir di puncak klasemen. 

Masih ada dua pertandingan melawan Gabon dan Angole untuk lolos ke putaran terakhir, yaitu play-off. Hanya juaga grup yang mendapatkan kesempatan berebut lima tiket ke Qatar. Jadi, Clemente masuh harus berharap Mesir imbang atau kalah melawan Angola dan Gabon.

"Penilaian umum saya tentang kualitas pemain (Libya) saat ini adalah bagus. Tim ini punya nama (pemain) yang lebih besar dan lebih kuat dari tim 2014 (saat juara African Nations Championship)," kata Clemente saat diumumkan melatih Libya untuk periode kedua, dilansir BBC Africa. 

Clemente ditunjuk oleh Asosiasi Sepakbola Libya (LFF) untuk menggantikan pelatih berkebangsaan Montenegro, Zoran Filipovic, yang dipecat. "Saya senang bisa kembali ke Libya lagi. Saya tahu fans mencintai saya, dan itulah mengapa saya setuju untuk kembali," ucap Clemente.

"Saya tidak memikirkan saat-saat kegagalan dengan Libya. Saya hanya mengingat saat-saat kegembiraan ketika kami memenangkan Piala Afrika dengan pemain asli Libya dan sambutan yang luar biasa oleh orang-orang Libya," tambah Clemente.

Meski Libya tidak akan berada di putaran final Piala Afrika 2022, kesempatan lolos ke Qatar justru terbuka. Peluang tetap ada, meski pada pertandingan bulan ini dikalahkan Mesir 0-1. "Saya memiliki kepercayaan besar pada semua pemain untuk melakukan upaya besar," kata Clemente.

Clemente dipilih melatih Libya lagi karena mengenal tim dengan baik. "Itu bukan pilihan acak. Saya meminta semua orang untuk mendukungnya di tahap selanjutnya sampai kami mencapai tujuan kami," ujar Presiden LFF, Abdel Hakim Al-Shalmani.

Melatih di negara konflik bukan hal mudah. Di negara yang sistem politik, hukum, dan keamanan belum sepenuhnya stabil, risikonya kematian. Tembak-menembak bisa berlangsung setiap saat. Begitu pula dengan ledakan bom mobil, yang terkadang menganggu sesi latihan timnas.

Bahkan, izin Libya untuk menggelar pertandingan kandang baru didapatkan FIFA tahun ini setelah dibekukan selama delapan tahun. Laga-laga itu juga tidak digelar di Tripoli, melainkan Benghazi dengan alasan keamanan. Sebab, Benghazi jauh lebih stabil dibanding Tripoli yang berstatus ibu kota negara.

(mochamad rahmatul haq/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network