Kisah Marseille Dilanda 5 Kerusuhan Saat Kompetisi Belum Setengah Musim

"Bukan hanya di Ligue 1, kerusuhan juga melibatkan Marseille di Liga Europa. Ada apa?"

Analisis | 22 November 2021, 12:10
Kisah Marseille Dilanda 5 Kerusuhan Saat Kompetisi Belum Setengah Musim

Libero.id - Jika anda perhatikan, tidak ada klub sepakbola yang hobi rusuh sebanyak Marseille. Bayangkan, kompetisi belum genap setengah musim, klub dari Prancis Selatan itu sudah berkali-kali dilanda kericuhan suporter. Yang paling baru, Senin (22/11/2021) dini hari WIB, melawan Lyon.

Pertandingan Marseille di Groupama Stadium itu berlangsung panas sejak awal. Sejak para pemain kedua kubu datang ke stadion, provokasi dari tribun sudah terjadi.

Situasi semakin panas saat kick-off. Bahkan, hanya butuh waktu lima menit untuk membuat sebuah botol minuman terbang mengenai kepala Dimitri Payet. Mantan pemain West Ham United tertegun, mengambil beberapa langkah, dan ambruk ke tanah sambil memegangi wajahnya.

Para pemain Marseille bergegas untuk membela rekan setim mereka. Sementara bintang-bintang Lyon memohon kepada penggemar untuk berhenti berkelakuan kurang pantas.

Momen memalukan itu otomatis membuat pertandingan ditangguhkan sementara karena Payet harus digotong dengan kompres es di wajahnya. Wasit yang memimpin pertandingan, Ruddy Buquet, meminta para pemain untuk masuk ke ruang ganti untuk menghindari kerusuhan yang lebih besar.

Dan, butuh lebih dari dua jam untuk memastikan kondisi kondusif. Tapi, pada akhirnya wasit memutuskan laga harus dibatalkan karena menilai tidak ada jaminan keamanan untuk para pemain dari aparat keamanan.


Bukan kejadian pertama musim ini

Adegan di atas sebetulnya tidak terlalu mengejutkan bagi sepakbola Prancis. Tercatat, sebelum melawan Lyon, Marseille juga terlibat kerusuhan pada empat pertandingan sebelumnya. Baik sebagai korban maupun pelaku. Bukan hanya di Ligue 1, melainkan juga Liga Europa.

Contohnya saat Marseille melawan Paris Saint-Germain (PSG) di Stade Velodrome, 24 Oktober 2021. Saat itu, serangan balik Lionel Messi dihentikan oleh seorang penggemar yang menyerbu lapangan.

Tidak hanya itu, ketika Messi atau Neymar mencoba melancarkan tendangan sudut, hujan benda-benda berbahaya terjadi. Bahkan, aparat keamanan harus melindungi pemain-pemain bintang mahal PSG itu dengan perisai untuk mencegah masalah yang lebih besar.

Sebulan sebelum Le Classique, kerusuhan juga kembali melibatkan Marseille saat bermain imbang tanpa gol dengan Angers di Stade Raymond Kopa. Suporter Marseille yang kecewa melawan aparat keamanan, membanjiri lapangan, dan bentrok dengan suporter Angers.

Insiden itu ternyata juga hanya berselisih sebulan dari kerusuhan di kandang Nice. Saat itu, Payet kembali menjadi korban. Dia dilepar botol minuman dan membalas, yang justru memicu kerusuahan lebih besar.

Para pendukung Nice kemudian menyerbu lapangan dan berkelahi dengan pemain serta staf pelatih Marseille. Bahkan, Pablo Fernandez, fisioterapis Marseille, dilarang bermain selama sembilan bulan setelah menjatuhkan seorang penyerang lapangan ke tanah di sela-sela kekacauan itu.

Tapi, apakah hanya di Ligue 1? Ternyata tidak. Kerusuhan juga melibatkan Marseille di Liga Europa. Pada 30 September 2021, mereka kedatangan Galatasaray di Stade Velodrome. Tim tamu juga memiliki riwayat pendukung garis keras yang menakutkan.

Ketika dua ultras bertemu di stadion, yang terjadi adalah kerusuhan. Para pendukung kedua kubu terlibat perang flare. Mereka berhadap-hadapan di tribun, melawan petugas, dan saling serang. Laga sempat dihentikan 10 menit sebelum akhirnya dilanjutkan dengan skor 0-0.


Budaya kekerasan suporter yang belum hilang 

Pertanyaannya, mengapa kejadian-kejadian seperti ini terus terjadi di Marseille? Alasannya, Marseille punya tradisi kekerasan suporter yang panjang, yang ternyata belum hilang di era modern. Aksi dari fans Marseille tentu saja memunculkan reaksi lawan. Ini seperti rantai kekerasan yang terus terulang.

Marseille memiliki dua gabungan kelompok suporter utama yang mengklaim sebagai ultras, yaitu Virage Nord-Patrice de Peretti dan Virage Sud-Chevalier Roze. Atmosfer yang dimunculkan kedua kelompok dalam laga-laga kandang Marseille memang luar biasa. Tapi, di belakang itu, tradisi kekerasan tidak bisa dihindari.

Virage Nord adalah gabungan dari kelompok-kelompok yang menempati tribun selatan. Mereka terdiri dari Marseille Trop Puissant (MTP), Fanatics, dan Dodgers yang membeli tiket pada awal setiap musim dan menjualnya kepada anggotanya. Virage Nord berada di sisi tribun yang dilindungi pagar tinggi. 

Pada 2002, Virage Nord secara resmi diberi nama Patrice de Peretti. Itu adalah nama mendiang pendiri dan pemimpin MTP. Pada 2010, seragam ketiga Marseille adalah penghargaan untuk MTP, dengan warna merah, kuning dan hijau Afrika. Itu simbol dari ultras sayap kiri ini. 

Sementara Virage Sud berada di sektor selatan dan dikendalikan Commando Ultras 1984 dan South Winners di sisi tengah serta Amis de l'OM dan Club Central des Supporteurs mengisi sisa bagian tribun (selatan kanan-kiri). Seragam ketiga Marseille pada 2007/2008 merupakan penghargaan untuk South Winners yang warnanya oranye.

Usaha untuk meredam kekerasan sebenarnya sudah dilakukan. Pada 2018, pemilik baru, Frank McCourt, dan presiden klub, Jacques-Henri Eyraud, memutuskan untuk mengeluarkan Yankee Nord dari stadion. Mereka tidak lagi diakui secara resmi oleh klub karena sejumlah kerusuhan yang dibuat.

Pencoretan Yankee Nord awalnya membuat suporter Marseille jinak. Tapi, situasi musim ini sepertinya membuat manajemen klub harus mengambil sikap yang jauh lebih keras karena kerusuhan yang terjadi sangat merugikan klub. 

(mochamad rahmatul haq/anda)

Baca Berita yang lain di Google News




Hasil Pertandingan Olympique De Marseille


  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network