Kisah Arrigo Sacchi, Joki Tidak Harus Pernah Menjadi Kuda

"Arrigo Sacchi menjadi pelatih sukses meskipun tidak pernah menjadi pemain."

Feature | 18 January 2020, 07:59
Kisah Arrigo Sacchi, Joki Tidak Harus Pernah Menjadi Kuda

Libero.id - Sepak bola punya versi sejenis dengan duluan mana ayam dan telur. Dilema tertua dalam sepak bola adalah, bermain cantik atau hanya sekadar memikirkan kemenangan. Permainan atau hasil. Romantis atau pragmatis. Ratusan tahun setelah sepak bola ditemukan, debat itu berlanjut hingga kini.

Setiap orang punya opini berbeda tentang mana yang benar. Pernah pertanyaan ini disodorkan kepada Nemanja Vidic, saat itu masih membela Manchester United. Vidic yang dikenal sebagai “Jagal dari Serbia” itu mengaku lebih mementingkan hasil. “Orang akan mudah lupa soal gaya permainan. Sepak bola bukan soal gaya, tetapi soal kemenangan,” kata Vidic jelang final Liga Champions 2009 antara MU lawan Barcelona dikutip dari therepublikofmancunia.com (25/06/2009).

Lain halnya kalau ditanyakan kepada Joseph “Pep” Guardiola, dulu pelatih Barcelona kini mengasuh Manchester City. Jawabannya bertentangan dengan Vidic. “Permainan kami bercirikan sepak bola menyerang. Menang atau kalah, saya ingin menunjukkan siapa kami dan gaya apa yang kami percaya,” kata Pep dikutip situs resmi Barcelona, tahun 2009.

Pendekatan yang berbeda-beda itu kemudian memunculkan empat varian tentang korelasi antara permainan dan hasil. Varian pertama adalah menang dengan bermain cantik. Kedua, menang dengan bermain buruk. Ketiga kalah dengan bermain cantik, dan keempat, kalah dengan bermain buruk.

Jika dijabarkan dalam proses yang panjang, akan muncul empat tolok ukur berdasarkan empat varian tadi. Varian pertama berarti aspirasi kuat bermain indah, dengan level sukses tingkat tinggi (Barcelona era Pep Guardiola, AC Milan di awal 1990-an, atau Ajax pada era 1970-an). Varian kedua berarti aspirasi rendah untuk bermain cantik, dengan level sukses tinggi (Chelsea di bawah Jose Mourinho atau semua tim sukses asal Italia kecuali AC Milan awal tahun 1990-an). Varian ketiga, aspirasi kuat untuk bermain cantik, tetapi tetap rendah level suksesnya. Dan yang keempat, fokus kepada hasil dengan aspirasi rendah bermain cantik, tetapi tetap sulit untuk sukses.

Kalau disuruh memilih dari empat varian itu, semua tim pasti ingin varian pertama. Semua tim ingin menang, sekaligus bermain cantik.

Nah, tentang varian pertama ini ada kisah menarik pada diri pelatih legendaris Italia, Arrigo Sacchi. Ini pelatih jenius yang akan selalu tercatat dalam tinta sejarah sepak bola dunia. Uniknya, Sacchi adalah pelatih yang tidak pernah menjadi pemain bola.

Kritik orang atas kredibilitasnya sebagai pelatih AC Milan tanpa pernah menjadi pemain dijawab cerdas. “Seorang joki, tidak harus pernah menjadi kuda.”

Perjalanan bisnis Arrigo Sacchi bersama ayahnya, seorang pengrajin sepatu, ke Jerman, Prancis, Swiss, dan Belanda, merevolusi pemikirannya bahwa sepak bola Italia identik dengan bertahan. Baginya, bertahan adalah masalah mental akibat malas. “Tim besar punya satu persamaan, mereka menguasai lapangan, mereka menguasai bola. Artinya, ketika memegang bola, berarti memegang kendali permainan, dan ketika bertahan, berarti mengontrol ruang,” kata Sacchi dikutip Guardian (22/11/2011).
 
Sacchi, dalam Inverting the Pyramid karya Jonathan Wilson, pernah menceritakan momen ketika striker Milan, Marco van Basten bertanya kepadanya, mengapa sebuah tim harus tampil menghibur untuk menang. Sacchi menunjukkan kepada van Basten, majalah World Soccer yang memuat daftar tim terhebat dunia. Peringkat pertama adalah Brasil 1970, Hungaria 1954, dan Belanda 1974.

Milan era Sacchi ada di peringkat keempat. Sacchi menyerahkan majalah itu pada van Basten. “Inilah mengapa untuk menang harus tampil meyakinkan. Saya melakukan ini karena ingin menghibur penonton selama 90 menit. Saya ingin, mereka terhibur bukan karena timnya menang, tetapi karena menyaksikan permainan yang indah.”

Filosofi itulah yang menjadi modal utama Sacchi. Bukan pengalaman sebagai pemain tetapi komitmennya pada konsep intelejensia kolektif. Sacchi ingin 11 pemain selalu terlibat dalam setiap momen dalam permainan. Dia biasa dengan pola 4-4-2 pertahanan zonal marking. Dia memakai garis pertahanan tinggi dengan menekan sejak wilayah lawan.

Pada masa Sacchi, Milan bermain dengan dua penyerang yaitu Ruud Gullit dan Marco van Basten. Beruntung saat itu Sacchi didukung oleh pertahanan dengan bek paling tangguh di eranya, kuartet Franco Baresi, Billy Costacurta, Mauro Tassotti dan Paolo Maldini.

Prestasi fenomenal Sacchi adalah membawa AC Milan memenangi Piala Champions dua tahun berturut-turut yaitu 1989 dan 1990. Prestasi yang baru disamai Real Madrid 18 tahun kemudian.

Gaya Sacchi menginspirasi pelatih-pelatih lain seperti Fabio Capello dan Carlo Ancelotti, nama terakhir dulu pemainnya pada era tim impian AC Milan. “Sacchi betul-betul mengubah sepak bola Italia. Filosofinya, metode latihan, intensitas dan taktik. Tim Italia selama ini selalu fokus bertahan, tetapi kami bertahan dengan cara menyerang dan menekan,” kata Ancelotti dikutip UEFA.com (24/07/2016).

Libero.id

Jose Mourinho (@spursofficial)

Sacchi juga menginspirasi kelahiran pelatih-pelatih yang tidak punya rekam jejak bagus sebagai pemain seperti Jose Mourinho, kini melatih Spurs dan Andre Villas Boas. 

Apapun, inspirasi terbesar Sacchi tetaplah filosofinya bahwa bermain bola tidak seharusnya hanya memburu kemenangan. Lebih penting dari itu menang dengan cara menghibur. “Sebuah kemenangan akan tercatat dalam buku sejarah, tetapi cara kamu meraihnya akan dikenang dalam sanubari orang,” kata Sacchi.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network