Mengenal Pengaturan Skor (Match Fixing), Sejarah dan 5 Solusi Mengatasinya

"Salah satu insiden paling terkenal di zaman modern datang dari Italia pada tahun 2006 yang dikenal dengan Calciopoli."

Feature | 19 September 2020, 11:41
Mengenal Pengaturan Skor (Match Fixing), Sejarah dan 5 Solusi Mengatasinya

Libero.id - Pada tahun 2013, mantan Head of Security FIFA, Chris Eaton, berujar bahwa masalah pengaturan skor atau match fixing, dianggap sebagai suatu “krisis” sepakbola. Sementara mantan presiden UEFA, Michel Platini mengatakan bahwa match fixing telah membuat “sepak bola mati”.

Berangkat dari situ, publik tahu dengan jelas bahwa pengaturan skor pertandingan adalah hal yang sangat merugikan banyak pihak. Tidak hanya untuk pemain, pelatih dan klub tetapi juga untuk para penggemar. Pada masa sebelum pandemi, ribuan hingga jutaan orang di seluruh dunia pergi untuk menonton pertandingan sepak bola secara lansung, menanti sebuah pertandingan yang tak terduga, hal-hal yang mengejutkan sering kali menjadi faktor yang membuat pertandingan menarik. Namun, ketika hasil dari suatu pertandingan telah diketahui sebelum bola ditendang, itu merupakan pengalaman yang memilukan untuk para fans sepak bola.

Sejarah pengaturan pertandingan

Secara rentang masa, pengaturan pertandingan tak memiliki waktu yang pasti, namun sejak pertandingan olimpiade olahraga terdahulu, sudah banyak atlet yang menerima tuduhan bahwa mereka disuap untuk kalah dalam suatu pertandingan, pun begitu juga dengan pelaku sepak bola.

Negeri Ratu Elizabeth yang memiliki Liga Premier sebagai kompetisi nomor 1 di dunia, diketahui memiliki pengalaman match fixing, antara tahun 1893 dan 1898, dimana tim promosi dan yang terdegradasi antar divisi-divisi di Football League tidak diputuskan oleh raihan poin di klasemen, seperti yang dilakukan sekarang. Alih-alih, menggunakan format yang lebih modern seperti 'play-off', waktu itu justru mereka memakai format yang dikenal dengan sebutan ‘Test Matches'.

Test Match itu seperti pertandingan play-off hari ini, pertandingan berlangsung antara tim yang akan menuju final. Tapi selama dua tahun sejak tahun 1896, format setengah kompetisi diperkenalkan, banyak tim-tim profesional yang secara gamblang melakukan match fixing.

Pada tahun 1898, Stoke dan Burnley mengikuti pertandingan Test Match, dimana kedua tim sudah mengetahui hasil pertandingan dari sistem setengah kompetisi. Cukup dengan hasil imbang, kedua tim itupun mendapatkan jatah promosi.

Tidak mengherankan bila pertandingan berakhir dengan hasil imbang 0-0, dengan Athletic News mengkritik pedas kolusi terang-terangan yang dilakukan kedua tim. Sebuah laporan pertandingan setelah insiden tersebut menyatakan,
"Tim bisa melakukannya tanpa penjaga gawang, penyerang menjadi gelisah karena tugas mereka seperti tidak mencetak gol".

Pertandingan itu juga membuat Football League berubah menjadi Divisi Pertama dengan tambahan kuota tim menjadi delapan belas klub untuk memungkinkan keempat klub yang terlibat dalam Test match memiliki kesempatan promosi.

Pada tahun 1915, pertandingan antara Liverpool dan Manchester United menimbulkan kecurigaan ketika United menang 2-0 setelah penampilan buruk dari klub Merseyside tersebut. Setelah pertandingan, diduga bahwa sejumlah besar uang telah ditempatkan pada papan skor. FA kemudian melakukan penyelidikan dan menemukan bahwa pemain dari kedua belah pihak telah terlibat dalam penipuan, dengan tujuh pemain sepak bola dilarang bermain seumur hidup sebagai hasilnya, meskipun itu membantu Setan Merah terhindar dari degradasi.

Insiden Pengaturan Pertandingan Elite

Pada tahun 1978 Argentina menjadi tuan rumah Piala Dunia dan memasuki pertandingan terakhir Grup B melawan Peru karena mengetahui bahwa mereka harus menang dengan setidaknya empat gol yang jelas jika mereka maju ke final dengan mengorbankan Brasil. Tuan rumah unggul 2-0 di babak pertama, dengan pertahanan Peru tampaknya runtuh selama babak kedua, meski memiliki reputasi sebagai salah satu pertahanan terbaik di kompetisi kala itu.

Pertandingan berakhir dengan kekalahan 0-6, dengan rekaman video menunjukkan penjaga gawang Peru bahkan tidak repot-repot melakukan penyelamatan dan para pemain bertahan berdiri dengan tangan di pinggul saat para pemain Argentina bergerak maju untuk mencetak gol.

Hebatnya FIFA tidak mengambil tindakan setelah pertandingan, memutuskan bahwa semuanya baik-baik saja. Yang lebih janggal lagi, pertandingan La Albiceleste sempat ditunda hingga pertandingan Brasil selesai dengan alasan keamanan.

Namun, salah satu insiden paling terkenal di zaman modern datang dari Italia pada tahun 2006  yang dikenal dengan Calciopoli. Secara singkat, Calciopoli melibatkan klub-klub top di Italia yang bekerja sama dengan kepala Asosiasi Wasit Italia untuk memastikan pemilihan ofisial yang disukai untuk pertandingan mereka.

Tentu saja wasit dari pertandingan kemudian membuat keputusan yang menguntungkan pihak yang telah 'bersikeras' pada pengangkatan mereka, yang berarti bahwa mereka memenangkan lebih banyak pertandingan daripada kalah.

Buntutnya, Juventus yang terlibat langsung kehilangan gelar Serie A mereka dan terdegradasi ke Serie B di musim berikutnya. Fiorentina dan Lazio juga terdegradasi, sementara AC Milan diizinkan tetap di Serie A tetapi memulai musim dengan defisit lima belas poin.

Apa yang bisa dilakukan?

Dilansir dari bleacherreport.com, ada 5 hal yang bisa dilakukan, terutama untuk FIFA sebagai organisasi yang mewadahi sepak bola di seluruh dunia, tentu dengan kerjasama dengan asosiasi sepak bola negara lainnya;

5. Bayar para pemain dengan layak

Salah satu alasan terbesar kenapa para pemain rentan terhadap suap adalah karena mereka sangat membutuhkan uang. Ketika pengaturan pertandingan ditemukan di China, terungkap bahwa pemain di liga top Negeri Bambu itu hanya menerima 235 Euro per bulan, dan uang itu tidak pernah dijamin akan datang tepat waktu. Secara alami, itu membuat para pemain menjadi benci terhadap klubnya dan tentu saja rawan akan match fixing. Di Eropa sendiri, UEFA telah membuat aturan Financial Fair Play yang di dalamnya juga mengatur gaji minimum setiap pemain.

4. Selesaikan Masalah Internal

Tokoh penting FIFA kerap kali tersandung kasus korupsi dan sebagainya. Mohamed bin Hammam dan Jack Warner adalah sedikit dari banyaknya tersangka kasus korupsi dan penyuapan yang terjadi dalam lingkar badan tertinggi sepak bola itu.

Sampai FIFA bisa tegas dan dispilin dalam menjaga ‘rumah tangganya’ sendiri, maka masalah match fixing ini akan sulit selesai. Pada tahun 2011, FIFA dan Interpol sempat melakukan kerja sama dalam menjalankan progaram ‘Integrity in Sport', namun pada 2015 lalu Interpol secara mengejutkan menghentikan penggunaan dana hasil kerja sama dengan badan sepakbola dunia tersebut.

3. Kolaborasi Lebih Lanjut dengan Otoritas Publik

Sebagian besar orang yang "berada di belakang" pengaturan pertandingan biasanya terkait dengan kejahatan terorganisir, dan belum tentu dunia olahraga. Ini menimbulkan pertanyaan apakah organisasi olahraga mampu menangani masalah pengaturan pertandingan sendiri (otonomi olahraga) atau apakah kerjasama dengan otoritas publik dan intervensi hukum diperlukan.

Kasus korupsi baru-baru ini menunjukkan bahwa untuk menangkap pengatur pertandingan, pihak berwenang perlu menggunakan metode peradilan pidana formal. Ini termasuk keahlian polisi, penyadapan telepon, wawancara polisi, penuntutan dan pengadilan. Dalam menggunakan metode ini, dan tidak hanya mengandalkan badan pengatur olahraga, negara harus terus berkomunikasi dengan anggota FIFA tentang potensi korupsi match fixing.

2. Tahan Bandar Taruhan

Selain meminta pertanggungjawaban pemain dan tim, FIFA juga harus meminta pertanggungjawaban dari bandar taruhan. Harus ada kewajiban bagi bandar untuk memberikan laporan rinci tentang aktivitas setiap kuartal yang berkaitan dengan pendapatan dari taruhan pada kompetisi.

1.Membuat sanksi yang seragam

Dalam laporan UEFA tentang pengaturan pertandingan, disebutkan bahwa penalti/ sanksi sangat berbeda di seluruh Eropa. Untuk pelanggaran umum, hukuman maksimum untuk korupsi bervariasi dari 2 tahun di Finlandia hingga 15 tahun di Rumania.

Untuk pelanggaran yang lebih serius, seperti penipuan, bisa terkena hukuman penjara berkisar dari 2 tahun di Slovakia, hingga 5 tahun di negara-negara seperti Jerman dan Irlandia, hingga 10 tahun di Republik Ceko dan Hongaria.

Dalam beberapa kasus, kisaran hukuman maksimum berkisar dari 6 bulan di Yunani, hingga 8 tahun di Bulgaria untuk pelanggaran yang sama.

Sebagai badan pengaturnya sendiri, FIFA perlu turun tangan dan membuat hukuman seragam untuk pemain dan tim yang terlibat dalam pengaturan pertandingan. Dengan hukuman yang seragam, akan ada kesadaran yang lebih tinggi untuk semua klub terhadap pengaturan pertandingan.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network