Kisah Sporting Afrique, Klub Afrika di Liga Singapura yang Penuh Masalah

"Beberapa pemainnya nyasar ke Indonesia seperti Udo Fortune. Dituding perbudakan sepakbola. Sehari-hari hanya makan ayam dan nasi."

Feature | 28 January 2021, 12:00
Kisah Sporting Afrique, Klub Afrika di Liga Singapura yang Penuh Masalah

Libero.id - Liga di Singapura sangat unik. Dengan wilayah yang tidak terlalu luas dan penduduk yang sedikit, Asosiasi Sepakbola Singapura (FAS) harus mengundang tim asing untuk ikut kompetisi. Salah satunya Sporting Afrique.

Sebelum berubah menjadi Singapore Premier League (SPL), kompetisi profesional di Negeri Singa dikenal sebagai S-League. Liga baru yang lebih profesional dan mengundang banyak sponsor dibentuk pada 1996 untuk menggantikan kompetisi semiprofesional bertajuk FAS Premier League.

Dua klub dari kompetisi lama diundang bergabung, yaitu Geylang International (Geylang United) dan Balestier United (Balestier Central). Mereka digabungkan dengan enam klub amatir, yaitu Singapore Police, Singapore Armed Forces, Tampines Rovers, Tiong Bahru United, Wellington (Woodlands Wellington), dan Sembawang Rangers (merger Gibraltar Crescent dan Sembawang SC).

Setelah musim perdana yang sukses dengan 30.000 penonton di laga final, S-League mulai kedatangan klub peserta baru. Jurong FC bergabung pada 1997 diikuti Gombak United dan Marine Castle United pada 1998, serta Clementi Khalsa (1999) sehingga S-League diikuti 12 tim.

Tidak puas dengan klub-klub lokal, S-League menelurkan ide tim internasional. Mereka mengundang klub dari luar negeri untuk bergabung. Selanjutnya, datangnya Sinchi FC pada 2003. Tim itu terdiri dari para pemain Cina. Dua pemainnya, Shi Jiayi dan Qiu Li, di kemudian menjadi pemain Singapura yang dinaturalisasi.

Setelah Sinchi, datang klub J.League, Albirex Niigata, pada 2004. Klub ini terbukti menjadi salah satu tim asing paling sukses di S.League, dengan dukungan ekspatriat Jepang. Mereka masih bermain hingga musim lalu.

Klub asing lain yang berpartisipasi setelah itu adalah Korean Super Reds (Korea), Sporting Afrique (Afrika), Liaoning Guangyuan (China), Dalian Shide Siwu (China), DPMM FC (Brunei Darussalam), Beijing Guoan Talent (China), Étoile FC (Prancis), serta Harimau Muda A dan B (Malaysia).

Dari semua klub itu, yang paling unik adalah Sporting Afrique. Bukan karena prestasi atau permainan yang menghibur di lapangan. The Flamingos dibicarakan banyak orang di Negeri Singa akibat kontroversi yang dibuat ketika mengikuti S-League 2006.

Skandal yang melibatkan klub itu terbongkar ketika para pemain asal Benua Hitam menghubungi BBC. Mereka mengeluhkan perlakuan kurang manusiawi dari pemilik klub dan manajemen.

Ketika masih di Afrika, para pesepakbola miskin tersebut dijanjikan gaji besar mencapai 1.600 dollar Singapura atau setara Rp17 juta. Ternyata, para pemain minim pengalaman itu hanya menerima bayaran 100 dollar. Alasannya 700 dollar dipotong untuk makanan dan 800 dollar untuk akomodasi.

Kenyataannya, makanan yang diberikan hanya nasi dan ayam potong. Lalu, akomodasinya rumah dengan kamar yang berisi 5-6 orang. Yang lebih aneh adalah dalam kontrak tertulis para pemain dilarang berbicara kepada media tentang apa yang dialami selama membela Sporting Afrique.

"Saat kami datang ke Singapura, kami dijanjikan kehidupan yang lebih baik dan kontrak yang lebih baik dari apa yang kami miliki di Afrika. Tapi, kami hampir tidak punya cukup uang untuk bepergian dan membeli makanan. Kami juga tidak mampu mengirim uang ke rumah. Tidak mungkin ada orang yang bisa hidup dengan 100 dollar sebulan di Singapura," kata pemain tersebut kepada BBC ketika itu.

Ketika skandal itu muncul, para petinggi Sporting Afrique membantah telah melakukan perbudakan di sepakbola. Presiden klub, Collin Chee, yang juga anggota Exco FAS, menyatakan Sporting Afrique tidak pernah melanggar regulasi S-League, FAS, maupun Pemerintah Singapura.

"Kami bukan klub kaya dan ini (2006) adalah musim pertama kami di S-League. Para pemain tahu apa yang mereka tanda tangani. Kami tidak akan mengubah salah satu pasalnya. Jika mereka bermain bagus, mereka akan ditawari kontrak yang lebih besar di klub lain. Itu seharusnya menjadi ambisi mereka," kata Chee di surat kabar Singapore Today ketika itu.

Setelah kedutaan besar masing-masing pemain Afrika tersebut ikut melancarkan protes, masa depan Sporting Afrique di S-League tamat. FAS menolak proposal keikutsertaan mereka untuk kompetisi musim 2007. Artinya, mereka hanya bermain 1 musim dengan finish di posisi 9 dari 11 peserta.

Lalu, bagaimana dengan nasib para pemain setelah Sporting Afrique bubar? Mayoritas kembali ke negara asal. Sebagian melanjutkan karier di beberapa klub di Asia, termasuk Indonesia.

Contohnya, Udo Fortune. Pria Nigeria itu sempat menjadi pencetak gol terbanyak Divisi I (Liga 2) 2010/2011 bersama Persiba Bantul dengan 34 gol. Itu sekaligus membawa Persiba promosi ke Indonesia Super League (ISL) sebelum akhirnya membelot ke Liga Primer Indonesia (LPI). Fortune juga sempat bermain di beberapa klub Indonesia lain seperti Arema, Persib Bandung, hingga Persik Kediri.

Pesepakbola lain yang pada akhirnya menyeberang ke Indonesia adalah Lucky Diokpara, yang membela Persisko Tanjabbar Jambi di Divisi Utama 2013. Ada lagi Harrison Muranda (Kenya) yang pergi ke Vietnam untuk membela Haa Phat Ha Noi dan Song Lam Nghe An atau Nicholas Muyoti (Kenya) yang bermain di Churchill Brothers dan Sporting Goa (India).

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network