Sepakbola jadi alat permersatu bangsa. Contohnya ada di Afrika Selatan setelah apartheid.
Sepakbola bukan hanya permainan menendang bola. Di berbagai tempat, olahraga ini memiliki makna yang sangat dalam. Bahkan, bisa mempersatukan sebuah bangsa yang sempat terpecah. Contohnya yang terjadi pada Mark Fish, Nelson Mandela, dan Afrika Selatan selama Piala Afrika 1996. 

Pada dekade 1990-an, Fish adalah bek tengah tangguh. Dia menikmati karier sempurna bersama Lazio di Serie A. Kemudian, Bolton Wanderers dan Charlton Athletic di Liga Premier. Di tempat-tempat itu, Fish adalah batu karang tangguh di pertahanan yang tidak mudah diterobos.

Tapi, bukan itu pencapaian terbesar karier profesionalnya. Kebanggaan sejatih Fish sebagai pemain justru datang saat membela negaranya, Afrika Selatan, di Piala Afrika 1996.

Fakta menunjukkan, Afrika Selatan telah menghabiskan tiga dekade tanpa kompetisi internasional karena dikeluarkan FIFA akibat politik apartheid. Dan, segalanya mendadak berubah pada 1991 ketika reformasi sistem politik terjadi dan Asosiasi Sepakbola Afrika Selatan (SAFA) yang baru yang multietnis terbentuk.

Setelah Bafana Bafana gagal lolos ke Piala Afrika 1994, Afrika Selatan mendapatkan kepercayaan untuk menggelar Piala Afrika 1996. Mereka mengantikan Kenya yang mundur karena tidak siap.

Dilatih pria kulit putih, Clive Barker, generasi baru sepakbola Afrika Selatan diperkuat pemain-pemain multiras. Andre Arendse, Neil Tovey, Eric Tinkler, hingga Fish sendiri mewakili kulit putih. Sementara nama-nama seperti John Moshoeu, Mark Williams, Philemon Masinga, Shaun Bartlett, Lucas Radebe, atau Helman Mkhalele merupakan pemain kulit hitam.

Bafana Bafana melewati ujian pertama dengan mengalahkan Kamerun, yang bertabur bintang. Mereka menang 3-0 berkat gol Masinga, Williams, dan Moshoeu. "Kami bisa saja mencetak lima atau enam gol melawan tim peringkat pertama di benua itu," kenang Fish beberapa tahun kemudian, dilansir Planet Football.

Kemudian, Afrika Selatan mengalahkan Angola 1-0 dan dikalahkan Mesir 0-1. Mereka lolos ke perempat final sebagai juara Grup A untuk menantang Aljazair. Hasilnya, menang 2-1. 

"Mereka sulit dilawan. Mereka sangat terorganisasi dan memainkan sepakbola Eropa. Hari itu hujan. Hari yang basah. Stadion mungkin seperempat penuh," beber Fish.

Di semifinal, tim kuat lainnya, Ghana, menunggu. "Pada semifinal, sebagian besar negara menyaksikan Bafana Bafana dan mendukung kami. Kami membuat banyak negara lebih sadar siapa Bafana Bafana. Semua orang tahu siapa The Springboks itu, dan seiring berkembangnya turnamen, kami membuat seluruh negara sadar," ujar Fish.

Pertarungan semifinal dengan Ghana. Tim itu dipelopori oleh bintang Leeds United, Anthony Yeboah. Laga tersbeut digambarkan Fish sebagai ujian terbesar Afrika Selatan di turnamen.

Untungnya, Radebe, teman Yeboah dan legenda Leeds juga, bisa kembali memperkuat pertahanan Bafana Bafana setelah cedera lutut. "Dia bukan pemain yang verbal. Dia memimpin dengan memberi contoh. Dia tidak akan berteriak dan menjerit seperti yang dilakukan beberapa orang. Suatu kehormatan bisa bermain dengannya," ungkap Fish. 



Fish menganggap pertandingan melawan Ghana itu sebagai sesuatu yang mirip dengan final de facto. "Ghana adalah tim yang bagus. Rasanya siapa pun yang menang dari kami dan Ghana akan mengangkat trofi," kata Fish.

Akhirnya, Afrika Selatan menang 3-0 dan menantang Tunisia di final. Keberhasilan ini membuat negara bersatu. Dan, dalam sekejap tidak ada lagi kulit putih, kulit hitam. Semuanya kuning-hijau seperti warga seragam Bafana Bafana.  

"Sayangnya karena sejarah dan politik Afrika Selatan, seluruh generasi pesepakbola fenomenal tidak bisa bermain di panggung dunia. Jadi, pada 1996, bukan hanya kami yang datang ke pertandingan, melainkan juga pesepakbola dari generasi 1960, 1970, 1980 yang tidak bisa mewakili negara. Ini lebih dari sekedar sepakbola bagi kami," ungkap Fish. 

Dengan dukungan seluruh Afrika Selatan yang bersatu, Bafana Bafana menatap Tunisia di final. Laga di Soccer City, Johannesburg, itu dihadiri 80.000 pasang mata. Hadir pula Mandela, mantan presiden kulit putih FW de Klerk, dan Uskup agung Desmond Tutu. 

Mereka unggul 2-0 dan meraih Piala Afrika untuk pertama kali dalam sejarah. "Apa yang telah kami capai untuk bangsa, lebih dari sekadar sepakbola. Itu dimasukkan ke dalam gagasan Mandela tentang sihir Madiba. Dia ingin menyatukan negara melalui olahraga dan dia telah mencapainya," pungkas Fish.