Salah satunya Bepe, jebolan Diklat Salatiga yang menjadi punggawa timnas Indonesia selama beberapa dekade.
Jawa Tengah dengan berbagai budaya serta tradisinya memang unik, termasuk sepakbolanya. Dalam perjalanan persepakbolaan di tanah Yavadvip itu, Jateng setidaknya memiliki dua tim yang cukup mentereng yakni Persis Solo dan PSIS Semarang, yang mana kedua tim tersebut berasal dari dua daerah yang bisa dikatakan sudah bagus dan maju.

Tetapi ada satu daerah yang memiliki peranan penting di tanah air dalam hal mencetak penyerang-penyerang handal, yakni Salatiga. Yap, di lapangan Ngebul, anak-anak dari seluruh Indonesia berlatih dan menempa diri untuk menjadi pesepakbola profesional dengan nama "Diklat Salatiga". Nama diklat Salatiga dahulu sangat fimiliar kerena hasil didikan mereka banyak di antaranya menjadi sosok penting di timnas serta membela beberapa tim besar bahkan luar negeri.  Lalu siapa saja kah mereka? Berikut ulasannya:

1. Kurniawan Dwi Yulianto

Lahir di Magelang pada 13 Juli 1976, pria yang akrab disapa Ade ini adalah salah satu jebolan diklat Salatiga. Sebelum berkiprah bersama Sampdoria serta beberapa tim besar lainnya seperti Persija, Persebaya dan lain-lain, Kurniawan terlebih dahulu menghabiskan waktu berlatihnya di Salatiga sejak kelas 3 SMP, yang mana dirinya memang bersekolah di sana.

Ketika pertama kali masuk bersama pemain muda lainnya, Kurniawan langsung mendapat julukan dari rekan-rekannya dengan panggilan Si Kurus karena penampilannya yang seperti lidi,

Dia mengaku tak masalah mendapat panggilan itu. Apalagi dengan nama itu, bisa memudahkan berbaur dengan senior.

Adapun umurnya yang kala itu masih 15 tahun menempa diri dengan serius untuk menjadi penyerang handal. Saat itu, Si Kurus sudah menunjukkan kecepatan di atas rata-rata di antara pemain seusianya serta yang paling penting dirinya mampu mencari posisi yang tepat untuk mencetak gol. Kurniawan pun mengaku kemampuannya itu semakin bagus kala dengan disiplin mengikuti program latihan.

Setelah dari Salatiga, dirinya kemudian bergabung di diklat Ragunan yang kemudian membukakan jalannya menuju primavera. Di sisa 18 tahunnya sebagai aktor lapangan hijau, Kurniawan tercatat membela membela beberapa tim besar serta meraih beberapa gelar begengsi. Selain itu Kurniawan menempatkan dirinya sebagai pencetak gol terbanyak kedua untuk tim Garuda dengan raihan 33 gol di bawah Bambang Pamungkas.

2. Gendut Doni

Gendut Doni, salah satu penyerang terbaik yang pernah dimiliki Indonesia serta Macan Kemayoran adalah jebolan diklat Salatiga. Gendut Doni sendiri adalah putra daerah dari Salatiga yang kemudian menjadi bergabung di diklat Salatiga antara tahun 1996-1997.

Terbatasnya pengetahuan serta kompetisi resmi, Doni yang saat itu masih belia mengaku lebih sering menghabiskan waktunya dengan bermain tarkam dan hal itu adalah sesuatu yang berharga untuknya.

Pria yang kini berusia 41 tahun ini, tak langsung secara resmi menjadi bagian dari diklat Salatiga, melainkan seperti anak magang yang harus melewati beberapa tes terlebih dahulu,

Selesai bermain di Salatiga, Doni kemudian memulai karir profesional pertamanya bersama PSIS Semarang di tahun 1998 disusul dengan membela beberapa tim besar lainnya seperti Persija, Arema hingga Persebaya.

3. Bambang Pamungkas

Nama selanjutnya adalah Bambang Pamungkas. Ikon timnas Indonesia selama beberapa dekade serta ikon dari tim kebanggaan ibu kota, Persija, adalah pemain yang lahir dari diklat Salatiga. Pria yang kini berusia 40 tahun adalah junior dari Kurniawan Dwi Yulianto serta rekan satu angkatan dari Gendut Doni.

Mengawali karir sepakbolanya bersama Sekolah Sepak Bola (SSB) di Getas di usia 8 tahun, Bambang yang akrab disapa Bepe ini kemudian pindah ke Persikas Semarang Regency di tahun 1994 setelah 8 tahun menimba ilmu disana. Dua musim bermain untuk klub amatir tersebut, Bepe akhirnya pindah ke diklat Salatiga di tahun 1996 bersamaan dengan Gendut Doni.

Di awal seleksinya, pemain dengan caps terbanyak untuk timnas Indoneisa ini pernah ditolak bergabung dengan diklat Salatiga,

"Saat saya pertama kali seleksi ada batas tinggi minimum, yaitu 170 cm," ujar  Bepe dalam kanal Youtube Hanif dan Rendy Show.

"Tahun itu tinggi saya 168 cm, jadi tidak memenuhi standar untuk lolos seleksi," lanjutnya.

Adapun dirinya bisa bergabung dan terpilih ke dalam diklat Salatiga karena ada slot kosong yang ditinggal oleh seorang pemain sekalgius berkat penampilannya yang impresif di sebuah turnamen Jawa tengah,

"Setelah gagal seleksi saya mengikuti sebuah turnamen di Jawa Tengah, dan berhasil menjadi pemain terbaik. Waktu itu ada pemain Diklat Salatiga yang ikut program Primavera di Italia," jelasnya.

Hingga sekarang, Bepe adalah pencetak gol terbanyak dan mengemas penampilan terbanyak untuk tim Garuda dengan 38 gol dan 85 caps. Bakatnya itu pun sudah diakui oleh rekan seangkatanya, Gendut Doni kala di Salatiga,

"Jadi seperti saya, Bepe itu sebelum masuk Diklat Salatiga sudah biasa main dengan kami. Dari situ, dia juga mulai dipantau dan Bepe memang punya kualitas bagus."

Sebagai salah satu jebolan terbaik diklat Salatiga, dirinya pernah membawa Persija dua kali merasakan kampiun Liga pada tahun 2001 dan 2018 serta membawa timnas 3 kali ke final Piala AFF, yakni pada tahun 2000, 2002 dan 2010.

4. Tugiyo

Tugiyo, mungkin satu-satunya orang Indonesia yang disandingkan dengan legenda Argentina, Diego Maradona berkat posturnya yang pendek dan gempal, serta pergerakan dan kemampuan mendribel bolanya.

Lahir dari keluarga yang sederhana, ayah Tugiyo adalah seorang penarik becak sementara ibunya adalah seorang buruh tani. Tugiyo kecil menghabiskan masa kecilnya dengan menggembala kambing dan bermain bola. Dirinya mulai serius menekuni sepak bola pada usia 7 tahun kala bergabung dengan Persipur Purwodadi yang kemudian menghantarkannya ke diklat Salatiga karena bakat serta ketekunannya.

Berbeda dengan masa Gendut Doni dan Bepe, kala itu diklat Salatiga tak menetapkan aturan baku terkait tinggi seorang pemain, terutama di lini depan dan tinggi dari Maradona Purwodadi itu hanya mencapai 163 cm. Bergabung disana selama dua tahun mulai dari tahun 1992 hingga 1994, Tugiyo menjadi salah satu pemain yang membela tim PON Jawa Tengah di Jakarta.

Masuk ke level yang lebih tinggi, Tugiyo kemudian melanjutkan sepakbolanya dalam diklat Ragunan yang kemudian menjadi pintu untuknya membela timnas Indonesia U-16 dan PSSI baretti. Disana, Tugiyo bergabung dengan sejumlah nama beken seperti Uston Nawawi, Charis Yulianto, Elie Aiboy, Aris Indarto, Nova Arianto dan lain-lain.

Dalam sisa 11 tahun karir sepakbolanya, Tugiyo lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membela tim asal Jawa, seperi  PSIS Semarang, Persik Kendal, Persip Pekalongan dan beberapa tim lainnya.

Salah satu momen terbaik dalam karirnya adalah membawa Laskar Mahesa Jenar menjadi kampiun Divisi Utama di tahun 1999 berkat gol semata wayangnya kala bersua Persebaya di final.