Awalnya banyak yang menduga Edgar ‘Anjing Gila’ Davids satu-satunya pemain yang menggunakan kacamata di lapangan.
Pernah melihat Edgar Davids menggunakan kacamata pelindung saat bermain sepakbola? Mantan gelandang tim nasional Belanda itu terpaksa melakukannya karena menderita glaukoma di mata kanannya. 



Awalnya, banyak yang menduga gelandang bertahan yang bersinar bersama Ajax Amsterdam dan Juventus itu adalah satu-satunya pemain yang menggunakan kacamata di lapangan. Ternyata, anggapan itu salah. Jauh sebelum Davids, ada pemain yang benar-benar menggunakan alat bantu penglihatan karena memiliki mata yang minus.

Kapten tim Dutch East Indies atau Hindia Belanda (sekarang Indonesia), Achmad Nawir menggunakan kacamata saat memperkuat Hindia Belanda di Piala Dunia 1938. Nawir merupakan seorang dokter. Kebanyakan pemain Hindia Belanda ketika itu berusia 25 tahun. Jauh sebelum Edgar Davids mengenakan kacamata ketika Piala Dunia untuk Belanda, Achmad Nawir terlebih dahulu melakukannya. Kaca mata itu juga yang dia pakai di luar lapangan.



Namun di era modern, sosok yang dikenal sebagai perintis pemain berkacamata juga berasal dari Belanda. Dia adalah Johannes Cornelis van Daele atau yang biasa disapa Joop van Daele. Lahir di Rotterdam, 14 Agustus 1947, Van Daele membela klub di kampung halamannya, Feyenoord Rotterdam, pada 1967-1977.

Van Daele juga sempat memperkuat Go Ahead Eagles, Fortuna Sittard, hingga pensiun sebagai anggota Excelcior. Setelah gantung sepatu, mantan bek itu sempat menjadi asisten pelatih di Fortuna dan Excelcior. Dia juga pernah menjadi pelatih kepala Papendrecht serta Excelcior. Sayang, karier Van Daele tidak sesukses saat bermain.

Ketika menjadi pemain, Van Daele meraih sejumlah prestasi membanggakan, khususnya bersama Feyenoord. Tiga gelar juara Eredivisie 1968/1969, 1970/1971, serta 1973/1974 diproduksi. Begitu pula satu Piala KNVB 1968/1969. Di level internasional, Van Daele menyumbangkan Piala Champions 1969/1970, Piala Intercontinental 1970, dan Piala UEFA 1973/1974.

Saat menjuarai Piala Intercontinental lewat kemenangan atas Estudiantes de La Plata, ada cerita unik terkait Van Daele. Kisah itu terjadi pada leg kedua di Rotterdam. Leg pertama di Buenos Aires, skornya 2-2. Feyenoord berbalik unggul 1-0 pada leg kedua. Gol penentu kemenangan klub berseragam merah-putih itu dicetak Van Daele. Padahal, dia baru masuk di babak kedua dan tidak main pada leg pertama. 

Ketika selebrasi, kacamata Van Daele diambil paksa pemain Estudiantes, Carlos Pachame, dan dihancurkan. Kacamatanya diinjak hingga pecah berkeping-keping. Tindakan itu dilakukan Pachame karena kesal dengan Van Daele menggagalkan keinginan Estudiantes menjuarai kompetisi yang kini berlabel Piala Dunia Antarklub FIFA itu. 



Kemarahan juga terjadi karena sebelum laga Estudiantes melayangkan protes kepada wasit. Protes itu diabaikan. Mereka menganggap, menggunakan kacamata di pertandingan sepak bola ilegal dan membahayakan. Akibatnya, beberapa saat setelah kick-off, Oscar Malbernat dengan sengaja mencoba merusak kacamata Van Daele. Tapi, usaha itu tidak berhasil.  

Keesokan harinya, media-media di Belanda tidak membahas hasil akhir maupun jalannya pertandingan. Mereka lebih tertarik mengulas kacamata Van Daele yang hancur. "Seseorang dengan cepat mengambil kacamata saya dan memberikannya kepada pemain lain (Carlos Pachame). Dia yang merusaknya," ujar Van Daele, dikutip Dutch Multimedia.

Kejadian janggal itu rupanya menginspirasi seorang komedian, pemusik, sekaligus penulis asal Belanda, Toon Hermans, untuk membuat sebuah karya. Hermans menulis lagu yang kemudian dinyanyikan Luc Lutz setelah Van Daele menolak menyanyikannya sendiri. Lagu itu berjudul "Het brilletje van Van Daele" (Kacamata milik Van Daele).

Ada juga penyanyi terkenal Belanda, Johnny Hoes, yang membuat lagu berjudul Van Daele de klusjesman (Van Daele seorang tukang). Dalam lagu itu terdapat lirik yang mempertanyakan hilangnya kacamata Van Daele. “Di mana kacamata Van Daele berada? Di mana kacamata itu?" kata Hoes, dilansir De Volkskrant.

Setelah insiden, Van Daele mendapatkan kacamata baru. Dia juga dikontrak menjadi model iklan sebuah produk kacamata terkenal di Belanda. Lalu, pada 1972 Van Daele beralih menggunakan soft contact lens. Kacamata yang digunakannya lalu diserahkan kepada Feyenoord dan hingga kini masih tersimpan di museum klub yang ada di De Kuip Stadium.    

Namun, apa yang terjadi pada Van Daele saat itu menggambarkan brutalnya Piala Intercontinental sebelum berubah menjadi Piala Toyota dan akhirnya menjelma menjadi Piala Dunia Antarklub FIFA. Saat menjalani pertandingan pertama di Argentina, Ernst Happel selaku nakhoda Feyenoord menceritakan timnya diperlakukan tidam manusiawi.

Ketika tiba di Buenos Aires, para pemain digiring layaknya tahanan. Mereka ditempatkan di sebuah hotel yang lebih mirip barak militer. Jaraknya, 12 km dari pusat kota. Di hari pertandingan, segala cara dilakukan Estudiantes untuk membuat pemain-pemain Feyenoord cedera. Menendang, menekel dari belakang, menginjak, mendorong, hingga meludah dihalalkan.

"Mustahil menang di pertandingan seperti ini. Ini seperti bukan pertandingan sepakbola," ucap Happel ketika itu.

Sekarang, Van Daele sudah menikmati masa pensiun. Dia menyandang status legenda di klub asal Rotterdam tersebut. Pasalnya, 1969/1970 adalah masa keemasan Feyenoord yang tidak mungkin dilupakan. Hingga hari ini mereka tidak pernah lagi menjuarai Liga Champions atau Piala Dunia Antarklub.