Ole Gunnar Solksjaer dan Frank Lampard mengamini tren tersebut. Gattuso, Seedorf, Inzaghi juga mengalami di Milan.
“Bukan apa yang anda ketahui, melainkan siapa yang anda kenal,” kalimat itu agaknya sangat tepat dengan kondisi manajemen tim-tim besar saat ini, termasuk Juventus dalam kaitan pemilihan pelatih.

Penunjukan Andrea Pirlo oleh Juventus adalah langkah kesekian kali klub besar Eropa yang mempekerjakan mantan pemain atau legenda klub mereka sebagai pelatih, meskipun mereka tidak memiliki CV yang mumpuni untuk membenarkannya.

Ole Gunnar Solskjaer dan Frank Lampard adalah contoh lain, dimana kedua pria itu diminta oleh Manchester United dan Chelsea untuk membimbing anak-anak muda disana sebagai seorang pelatih. Orang akan bingung melihat alasan di balik pemilihan mereka berdua. Berdasarkan prestasi sebagai pelatih, ataupun track record-nya sebagai pemain.



Mikel Arteta di Arsenal adalah contoh lain yang memulai jalur pelatih setelah menjadi pemain di klub tersebut. Dia membawa The Gunners ke jalur yang benar, memenangkan Piala FA setelah mengambil alih posisi pelatih di tengah musim. Pengangkatannya mewakili tren legenda klub menjadi pelatih berkat koneksi mereka dengan manajemen daripada pencapaian prestasi mereka.

Apakah tren ini akan terus berlanjut dalam 10 tahun ke depan? Waktu yang akan menjawabnya.

Kasus Juventus yang memilih Andrea Pirlo juga sekaligus mengonfirmasi habisnya masa bagi pelatih-pelatih legendaris kurun sebelumnya.

Mari coba lihat pelatih elit seperti Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, dan lainnya – mereka semua sekarang mengambil langkah untuk turun ke kelompok klub yang lebih rendah (Tottenham, Everton dll). Harus diakui strategi permainan berkembang melampaui dari pengalaman dan pengetahuan mereka. Nama-nama besar itupun mulai tak masuk dalam hitungan untuk posisi manajer klub top Eropa.

Hal itu secara tak langsung juga menegaskan bahwa gagasan meritokrasi adalah mitos dalam dunia manajemen, khususnya sepak bola sekarang ini. Anda tidak perlu lagi membuktikan diri anda mempunyai banyak prestasi ataupun kemampuan dalam manajemen tim sepakbola yang baik untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pelatih.

Anda hanya perlu bermain untuk klub besar dan berperan sampai dianggap sebagai sosok yang populer bahkan legenda dan anda bisa bermain ke Liga Champions sementara lebih banyak pelatih berbakat bekerja keras di liga yang lebih rendah dengan imbalan kecil.

Ada juga contoh lainnya yakni ketika Barcelona memecat Ernesto Valverde awal musim ini, sebelum mempekerjakan Quique Setien, manajemen El Barca coba mendekati Xavi Hernandez yang saat ini masih melatih Al Sadd di Qatar. Sejauh ini, Setien tampil mengecewakan  di Barcelona dan kemungkinan akan didepak dari Camp Nou begitu Messi dan kawan-kawan tersingkir dari Liga Champions. Saat itu juga Xavi kemungkinan besar akan menggantikannya. Tapi pertanyaannya, apakah Xavi pantas mendapatkan pekerjaan itu? dan bisa memenuhi ekspektasi para fans?

Bahkan ketika Real Madrid merekrut Zinedine Zidane untuk pertama kalinya, dan demikian pula ketika Barcelona merekrut Pep Guardiola, mereka berdua terlebih dahulu melatih tim B dari duo raksasa Spanyol itu, tak langsung dipercayakan untuk memegang tim utama.

Sebagai sebuah opini, sepertinya adil untuk Pirlo bila ia melatih tim U-23 Juve terlebih dahulu sebelum dipromosikan sebagai pelatih tim utama di kota Turin.



Bisa jadi, Pirlo akan memenangkan Serie A di tahun pertamanya sebagai pelatih Bianconeri. Seperti banyak yang tahu, Juventus tim spesialis juara Liga. Tapi bagaimana jika ia tak mampu membawa pulang Liga Champions ke Allianz Stadium? Seperti Maurizio Sarri.

Bisa jadi hierarki Juventus akan memberinya lebih banyak waktu bahkan jika Sang Maestro tidak segera membawa pulang Liga Champions. Seperti disinggung di awal “Ini bukanlah apa yang anda ketahui, melainkan siapa yang anda kenal.”

Padahal, seperti kata Gennaro Gattuso rekan Pirlo sesama sebagai pemain. “Berposisi sebagai pemain dan pelatih itu jelas sekali bedanya.”