Pernah terjadi pada suatu era, bola menjadi kambing hitam kekalahan. Kok, bisa?
Sebelum Piala Dunia 2010 digelar di Afrika Selatan, Adidas meluncurkan bola resmi. Itu hal biasa dan sudah mereka lakukan setiap turnamen akan digelar. Tapi, yang terjadi saat itu diluar dugaan. Bola dengan tajuk "Jabulani" itu menuai kecaman dari banyak pesepakbola dunia, khususnya kiper.

Jabulani adalah bola Adidas ke-11 di Piala Dunia. Bola ini memiliki 11 warna yang dikatakan mewakili 11 pemain tim sepakbola serta 11 bahasa resmi dan 11 suku di Afrika Selatan. Namanya berarti "Untuk Merayakan" dalam Bahasa Zulu, salah satu dari 11 bahasa tersebut.

Dan, sejujurnya, banyak orang yang ingin merayakan Piala Dunia di tanah Afrika untuk pertama kalinya. Sayangnya, beberapa fitur teknis yang tertanam di Jabulani membuat Piala Dunia itu sedikit kurang meriah. Setidaknya untuk Adidas dan kolaborator ilmiahnya di Loughborough University.

Mengapa? Sejak 1960-an, sebagian besar bola standar terdiri dari 32 panel campuran segi enam dan segi lima. Tapi, Adidas telah mencampuradukkan segalanya. Bola Piala Dunia 2006, Teamgeist, terbuat dari 14 panel melengkung, dan empat tahun kemudian Jabulani memotong angka itu menjadi hanya delapan.

Pengurangan panel yang diikat secara termal daripada dijahit itu membuat bola lebih bulat dari sebelumnya. Tapi, ketika para pemain mulai menendangnya, segera menjadi jelas bahwa Adidas telah membuat sebuah kesalahan fatal yang dikenang hingga bertahun-tahun kemudian.

Beberapa minggu sebelum pertandingan pembukaan turnamen, laporan aneh mulai muncul tentang Jabulani. Itu muncul dari semua peserta Piala Dunia, termasuk oleh nama-nama populer.

Xavi Hernandez contohnya. Gelandang legendaris Spanyol yang bisa melakukan operan dengan mata tertutup itu mengatakan bahwa bola banyak bergerak sehingga sulit dikendalikan. Sementara Giampaolo Pazzini mengaku kehilangan banyak sundulan dalam latihan.

Pujian untuk para Jabulani pun terkesan buruk. Dalam video iklan bola tersebut, Frank Lampard menggaruk-garuk kepalanya. Dia mengatakan bahwa tekstur Jabulani akan membantu dengan sedikit gerakan dan belokan.

Selayaknya bola baru, meskipun telah diuji di Loughborough University dengan bantuan robot, memiliki hasil mengecewakan. "Mengerikan, mengerikan. Ini seperti salah satu bola yang anda beli di supermarket," keluh mantan penjaga gawang Brasil, Julio Cesar.

Kiper menjadi pemain yang paling banyak mengeluh. Sebab, bola itu tidak bisa ditangkap dengan sempurna. "Ini seperti bola pantai. Sungguh menyedihkan bahwa kompetisi sepenting Piala Dunia memiliki elemen vital seperti bola dengan karakteristik yang sangat buruk," ucap Iker Casillas.

Bahkan, penjaga gawang sekelas Gianluigi Buffon, yang biasanya sangat sopan ketika berbicara, ikut-ikutan mencemooh Jabulani. "Model baru ini sama sekali tidak memadai dan saya percaya itu memalukan untuk memainkan kompetisi yang sangat penting dengan banyak juara ambil bagian dengan bola seperti itu," kata Buffon.




Bagaimana di panggung yang sebenarnya?

Ketika pertandingan pembukaan Piala Dunia tiba pada 11 Juni 2010, orang-orang sangat bersemangat. Bukan hanya untuk melihat tuan rumah Afrika Selatan menghadapi Meksiko, melainkan juga untuk melihat apakah semua pembicaraan tentang Jabulani itu benar.

Jabulani telah dibicarakan begitu banyak. Dalam hal ini, bola memasuki sekelompok kecil entitas netral tim untuk menjadi pusat perhatian di turnamen internasional besar, bergabung dengan Pierluigi Collina di Piala Dunia 2002, rumput sintetis di Piala Dunia Wanita 2014, dan ngengat besar di tangan Cristiano Ronaldo di Euro 2016.

Namun, ketika Jabulani diprediksi akan menciptakan banyak gol, pada kenyataannya justru sebaliknya. Selama turnamen, 145 gol dicetak dengan laju 2,27 per pertandingan. Statistik ini menjadi catatan gol terendah per pertandingan sejak di Piala Dunia 1990.

Sehari setelah hasil imbang 1-1 Afrika Selatan dengan Meksiko, Inggris berusaha mencapai hasil yang sama saat melawan Amerika Serikat dengan gol awal Steven Gerrard dinegasikan oleh Rob Green, yang melepaskan tembakan Clint Dempsey ke gawang.

Pelatih Inggris saat itu, Fabio Capello, mengatakan bola mungkin menjadi faktor. Dan, Green sendiri, mengakui kesalahannya dengan sedikit syarat. "Bola mungkin telah bergerak. Saya tidak sering melewatkan bola sebanyak itu," ucap Green.

Namun, ada satu atau dua kesempatan ketika pengaruh Jabulani tampak lebih sulit dibantah. Saat pertandingan Uruguay versus Ghana di perempat final, orang hanya ingat tentang Luis Suarez dan Asamoah Gyan. Tapi, mereka lupa bahwa gol Sulley Muntari dari jarak 30 meter sedikit aneh.

Meski Piala Dunia di Afrika Selatan itu sudah lama berlalu, masih banyak pemain yang mengkritiknya. Bahkan, beberapa tahun lalu saat masih di Manchester City, Yaya Toure membandingkan Jabulani dengan bola produksi Mitre yang ringan dan seharusnya tidak dapat dimainkan di Piala Liga.