Rasa khawatir menghantui seluruh warga Afghanistan, tak terkecuali pesepakbola wanita ini
Kini anggota sepakbola wanita Afghanistan mengkhawatirkan hidup mereka usai Taliban mengambil alih kota Kabul baru-baru ini.

Setelah penarikan Amerika Serikat dari Afghanistan usai perang selama dua dekade di kawasan itu, kelompok militan Islam Taliban kini telah mendapatkan kembali kendali atas ibu kota negara itu.

Naiknya kelompok Taliban ke ranah kekuasaan pemerintahan Afghanistan telah memberikan ketakutan kembali ke negara itu karena warga Afghanistan yang tak terhitung jumlahnya telah mati-matian mengevakuasi kota dan hal itu dirasakan oleh para bintang olahraga elit negara itu yang juga berada di kapal evakuasi bersama warga lainnya.

Mantan pesepakbola profesional dan aktivis hak asasi manusia, Khalida Popal, yang saat ini tinggal di Denmark, telah menerima sejumlah panggilan telepon emosional dari sesama pemain yang meminta bantuan ketika kekacauan terjadi di sekitar wilayah tersebut.

Nasihatnya kepada mereka sederhana: pergilah sekarang selagi bisa.

"Saya telah mendorong untuk menghapus saluran media sosial, menghapus foto, melarikan diri dan menyembunyikan diri," ujar Popal kepada Associated Press.

"Itu menghancurkan hati saya karena selama bertahun-tahun kami telah bekerja untuk meningkatkan visibilitas wanita dan sekarang saya mengatakan kepada wanita saya di Afghanistan untuk tutup mulut dan menghilang. Nyawa mereka dalam bahaya."



Setelah bertahun-tahun kerusuhan politik di kota Kabul akibat kudeta kelompok Taliban, sejumlah negara Barat tiba di Afghanistan pada akhir 90-an untuk mencoba memulihkan ketertiban di sana.

Taliban akhirnya digulingkan dan kematian pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden menunjukkan bahwa gangguan itu tampaknya hampir berakhir.

Tetapi hanya beberapa hari setelah presiden AS yang baru, Joe Biden memerintahkan pasukannya untuk kembali ke Amerika, alhasil Taliban telah menyapu seluruh negara dan sekarang telah merebut ibu kota Kabul setelah presiden Afghanistan melarikan diri ke negara tetangga Uzbekistan.

Setelah keruntuhan pertama Taliban, Afghanistan memiliki secarik masa depan yang tampak cerah dan para aktivis seperti Popal melakukan banyak hal untuk hak-hak perempuan di sana.

Sekarang banyak orang, termasuk Popal sendiri, tidak begitu optimis.

"Generasi saya memiliki harapan untuk membangun negara, mengembangkan situasi untuk generasi perempuan dan laki-laki berikutnya di negara ini," tambahnya.

"Jadi saya mulai dengan wanita muda lainnya menggunakan sepak bola sebagai alat untuk memberdayakan perempuan dan anak perempuan."

Di bawah kepemimpinan Popal yang luar biasa, Afghanistan akhirnya memiliki liga sepak bola wanitanya sendiri yang dibentuk pada tahun 2007 sebelum kemudian Popal akhirnya ditunjuk sebagai direktur Asosiasi Sepak Bola Afghanistan selama 4 tahun.



Dan selama tugas inilah ia menerima sejumlah ancaman pembunuhan setelah secara terbuka mendorong para pemainnya untuk menggunakan platform mereka dalam menyoroti meningkatnya ketegangan di wilayah tersebut akibat kelompok Taliban.

Akibat ancaman yang dilakukan terhadapnya, Popal terpaksa mencari suaka di Denmark.

"Saya menerima begitu banyak ancaman dan tantangan pembunuhan karena saya dikutip di TV nasional," ujarnya.

"Saya menyebut Taliban sebagai musuh kami. Hidup saya dalam bahaya besar."



Bahkan saat tinggal di belahan dunia lain di Denmark, Popal terus menggunakan suaranya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di Afghanistan. Dengan dukungan personel militer Barat di lapangan di Afghanistan, ada rasa janji dan keamanan - meskipun perasaan itu kini telah berubah.

"Para wanita Afghanistan percaya pada janji mereka tetapi mereka pergi karena tidak ada lagi kepentingan nasional. Mengapa Anda berjanji?" ujar Popal.

"Inilah yang dikatakan gadis-gadisku yang menangis dan mengirim pesan suara. Mengapa tidak mengatakan kamu akan pergi seperti ini? Setidaknya kita bisa melindungi diri kita sendiri."

"Kami tidak akan menciptakan musuh. Mereka menangis. Mereka hanya menangis... mereka sedih. Mereka seperti putus asa. Mereka memiliki begitu banyak pertanyaan. Apa yang terjadi pada mereka tidak adil."

“Mereka bersembunyi. Kebanyakan dari mereka meninggalkan rumah untuk pergi ke kerabat dan bersembunyi karena tetangga mereka tahu bahwa mereka adalah pemain (sepak bola). Mereka duduk, mereka takut. Taliban sudah berakhir. Mereka berkeliling menciptakan ketakutan. "