Pernah juara Liga Champions dengan Milan, kini tertantang sebagai pelatih Malmo.
Jika anda penggemar AC Milan, Feyenoord, atau tim nasional Denmark, pasti akrab dengan Jon Dahl Tomasson. Di masa jaya, dia adalah penyerang oportunis mirip Filippo Inzaghi. Kini, sebagai pelatih, dirinya baru saja meloloskan Malmo ke fase grup Liga Champions.

Sebagai klub Swedia, langkah Malmo mencapai babak utama kompetisi elite Benua Biru panjang dan berliku. Mereka harus memulai melawan Riga FC di Kualifikasi I. Kemudian, HJK Helsinksi menanti di Kualifikasi II, yang dilanjutkan Glasgow Rangers (Kualifikasi III), dan Ludogorets Razgrad (play-off).

Selain para pemain yang sudah panas karena kompetisi di Swedia, Allsvenskan digelar mengikuti tahun kalender, keberadaan Tomasson sebagai pelatih juga jadi kunci keberhasilan klub yang mendidik Zlatan Ibrahimovic itu. 

Tomasson bukan pelatih kaleng-kaleng. Dia pertama kali ditunjuk sebagai nakhoda Malmo pada 5 Januari 2020. Dia langsung memimpin klub berseragam biru muda tersebut menjuarai kompetisi untuk pertama kali setelah puasa dua musim. Itu juga menjadi gelar ke-21 Malmo di Allsvenskan.

"Saya sedikit lelah. Secara mental itu adalah pertandingan yang sangat sulit dan saya pikir kami melihat semangat tim yang hebat lagi. Tapi, kami membuat impian kami menjadi kenyataan," ujar Tomasson di situs resmi klub. 

"Sangat sulit untuk melewati semua babak kualifikasi Liga Champions. Tapi, para pemain benar-benar melakukan pekerjaan yang sempurna. Kami punya mimpi untuk tampil di sana (fase grup). Dan, kami benar-benar melakukannya. Selamat untuk semua pemain dan terima kasih atas jerih payahnya," tambah Tomasson.



Sama seperti takdir Malmo di Liga Champions, karier Tomasson di kepelatihan juga harus melewati jalan berliku. Tomasson pensiun sebagai pemaain pada 6 Juni 2011. Lalu, dia mengumumkan akan menjadi asisten pelatih di klub Belanda, Excelsior. Selanjutnya, Tomasson menjadi pelatih kepala klub itu pada awal musim 2013/2014. 

Ketika Roda JC Kerkrade memecat Ruud Brood dari jabatan pelatih kepala pada 15 Desember 2013, Tomasson diberi penawaran. Dia setuju dan pada 26 Desember 2013 diumumkan bahwa Tomasson telah dipilih menjadi pelatih kepala yang baru. Dia menandatangani kontrak 3,5 tahun mulai 3 Januari 2014. 

Petualangan Tomasson dengan Roda ternyata tidak mulus. Pada 26 Mei 2014, dia dipecat setelah Roda terdegradasi ke kasta kedua kompetisi Belanda. Artinya, Tomasson hanya bekerja di sana lima bulan.

Pemecatan Roda ternyata berdampak sangat dignifikan pada karier kepelatihan Tomasson yang barus seumur jagung. Pasalnya, setahun dia menganggur sampai pada 19 Juni 2015 ditunjuk sebagai asisten pelatih Vitesse Arnhem. Lalu, pada 7 Maret 2016, Tomasson pergi karena ditunjuk sebagai asisten pelatih Denmark. 

"Tidak mudah menjadi pelatih. Ada banyak hal yang berbeda seperti yang pernah kita jalani ketika menjadi pemain. Tapi, bagi saya semuanya merupakan tahapan yang harus dilalui," ujar Tomasson dalam sebuah kesempatan.



Sebagai pemain, Tomasson memperkuat banyak klub Eropa. Dua yang paling terkenal adalah Feyenoord dan Milan. Di kedua klub itulah pria kelahiran Copenhagen, 29 Agustus 1976, tersebut mendapatkan sejumlah piala membanggakan. Salah satu yang tak mungkin dilupakan adalah Liga Champions 2002/2003.

Itu adalah musim perdana Tomasson berseragam I Rossoneri. Tomasson paling sering digunakan sebagai pemain pengganti, tapi berhasil mencetak tiga gol selama kampanye Liga Champions. Sayang, dia melewatkan final karena cedera yang dialami pada leg pertama final Coppa Italia.

Kehadiran Tomasson di Milan benar-benar dikenang pelatihnya, Carlo Ancelotti. Saat melatih Chelsea, Ancelotti pernah ditanya media tentang bagaimana kualitas lawannya di Liga Champions 2010/2011, FC Copenhagen. Dan, jawabannya mengejutkan.

"Etos kerja Denmark mengejutkan saya. Mereka memberikan segalanya dalam latihan. Ini adalah pemain yang sangat profesional dan terampil. Yang tampil terbaik dan menunjukkan kontinuitas paling, adalah Jon Dahl Tomasson, yang selalu harus berjuang untuk bermain. Dia tidak pernah memiliki karier mudah. Tapi, dia tidak pernah menyerah dan mencoba mengambil setiap kesempatan yang dia dapatkan," ungkap Ancelotti, dilansir eb.dk.