Laga sepakbola di Afrika tak pernah bebas dari ancaman kekerasan bersenjata.
Setiap kali Piala Afrika bergulir, masalah keamanan selalu jadi salah satu fokus perhatian. Itu karena banyaknya gerakan perlawanan yang masih aktif di Afrika, termasuk di Kamerun. Bahkan, salah satu kota penyelenggara, Limbe, berada dalam situasi perang sipil selama 50 tahun.

Limbe adalah satu-satunya kota di wilayah Kamerun yang warganya bicara Bahasa Inggris. Mereka menjadi minoritas diantara mayoritas pengguna Bahasa Prancis. Dan, selama bertahun-tahun, wilayah itu ingin merdeka. Situasi chaos tersebut masih berlangsung hingga hari ini dan berasal dari masa lalu, dari  warisan sejarah dan kolonialisme. 

Dulu, Kamerun merupakan bekas jajahan Prancis dan Inggris. Warisan kolonial kelam itu ternyata masih meninggalkan perpecahan diantara suku-suku di Limbe.

Selama beberapa dekade setelah kemerdekaan Kamerun, Anglophones (penutur berbahasa Inggris) mengeluh karena merasa terpinggirkan. Mereka mengeluh karena kekuatan politik dan ekonomi terkonsentrasi di tangan warga mayoritas berbahasa Prancis (Francophones).

Pada 2016 pengacara dan guru dari kelompok Anglophones memimpin gerakan demonstrasi. Banyak yang ditangkap. Akibatnya, dalam beberapa bulan setelah insiden tersebut, wilayah itu berperang.

Tidak ada yang tahu persis berapa banyak orang yang tewas, meski kelompok separatis dan tentara sama-sama dituduh melakukan kekejaman dan pelanggaran HAM. Konon, lebih dari satu juta orang telah dipaksa meninggalkan rumah mereka, mengungsi ke negara-negara tetangga.

Seperti kebanyakan Anglophone di Kamerun, Limbe berubah menjadi apa yang dikenal sebagai "kota hantu". Itu karena ancaman kelompok separatis untuk menyerang siapa saja yang pergi bekerja atau bersekolah, yang mereka anggap sebagai simbol pemerintah pusat.



Bahkan, sebuah kelompok yang mengatasnamakan "Ambazonia" mengancam akan menyerang stadion di hari pertandingan. Mereka mengklaim telah memasang sejumlah bahan peledak (IED) di Limbe Omnisport Stadium jika pertandingan Piala Afrika tetap digelar di daerah itu.

Untuk meredam gejolak, pemerintah pusat mengerahkan ribuan personel militer dan polisi untuk mengamankan Limbe dan stadion sepakbola berkapasitas 20.000 penonton. Limbe Omnisport Stadium dibangun pada 2012 dan diresmikan pada 26 Januari 2016.

Ini adalah salah satu dari sedikit stadion di dunia yang dibangun di atas bukit dan memiliki pemandangan laut yang menakjubkan. Pada November 2016, stadion ini menjadi tuan rumah pertandingan sepakbola wanita sebagai bagian dari turnamen internasional pertamanya.



Lalu, selama Piala Afrika 2021, Limbe akan menyelenggarakan pertandingan Grup F yang berisi Mali, Tunisia, Mauritania, dan Gambia, serta satu pertandingan Grup E antara Sierra Leone dengan Guinea Khatulistiwa. Limbe juga akan menyelenggarakan dua pertandingan babak 16 besar.

"Kami sangat senang bagi warga Kamerun. Kami akan senang menyambut orang-orang dari negara lain untuk turnamen hebat ini," kata Erik, salah satu penjaga gawang di klub lokal Limbe, dilansir BBC Sport.

Sebagaimana yang lainnya, Erik mengatakan dia tidak sabar untuk melihat pemain-pemain bintang Liga Premier seperti Mohamed Salah dari Mesir dan Sadio Mane dari Senegal. Tapi, apa boleh buat kemungkinan dia hanya bisa menonton bintang-bintang itu hanya dari layar  televisi.

"Mungkin saya bisa berbicara dengan mereka, menyapa mereka. Saya akan sangat senang," ucap Erik.