Trofi itupun didapat bukan dari pertandingan resmi.
Dalam sepakbola antarnegara, ada istilah pertandingan resmi dan pertandingan tidak resmi. Yang resmi seperti Piala Asia atau Piala Dunia. Sementara yang tidak resmi termasuk Piala AFF, SEA Games, Asian Games, Olimpiade, hingga turnamen-turnamen minor layaknya Piala Kemerdekaan Indonesia atau King's Cup Thailand.

Untuk kategori pertama, tim nasional Indonesia belum pernah tercatat dalam buku sejarah FIFA atau AFC sebagai sang juara. Jangankan Piala Dunia, untuk Piala Asia pasukan Garuda juga hanya 4 kali ambil bagian.  

Sementara untuk ajang tidak resmi, Indonesia juga memiliki catatan yang biasa-biasa saja pada masa lalu hingga saat ini. Pada kompetisi sekelas SEA Games misalnya, tim Merah-Putih pernah dua kali meraih medali emas, yaitu 1989 dan 1991. Sedangkan pada Piala AFF, Indonesia hanya sanggup menjadi runner-up 5 kali.

Bagaimana dengan turnamen minor? Meski tidak banyak, beberapa kali Indonesia mencatatkan prestasi bagus ketika diundang sebagai salah satu peserta.

Dalam kategori ini, Indonesia pernah menjuarai Merdeka Tournament di Malaysia pada 1961 dan 1969. Kemudian, Aga Khan Gold Cup (Bangladesh) pada 1961, King's Cup (Thailand) pada 1968, Pesta Sukan Cup (Malaysia) pada 1972, Jakarta Anniversary Tournament (Indonesia) pada 1972, dan Piala Kemerdekaan (Indonesia) pada 1987, 2000, 2008.

Ada banyak cerita unik yang menghiasi "kesuksesan" Indonesia menjuarai beberapa turnamen tidak resmi tersebut. Salah satu yang dibicarakan orang hingga hari ini tercipta pada 2008. Saat itu, skuad Garuda menjuarai Piala Kemerdekaan setelah mengalahkan Libya U-23.

Sayang, tidak ada yang bisa dibanggakan dari kemenangan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 29 Agustus 2008, tersebut. Kok, bisa?

Piala Kemerdekaan tahun tersebut merupakan yang pertama sejak 2000. Digelar untuk memperingati Kemerdekaan Indonesia ke-63 tahun, PSSI gagal mendatangkan tim-tim berkelas maupun skuad utama. Akibatnya, hanya ada 6 tim berpartisipasi. Mereka adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Myanmar, dan Libya U-23. Dua tim lainnya, timnas senior dan timnas U-23.

Perjalananan timnas dimulai di fase grup dengan menghajar Kamboja 7-0 dan Myanmar 4-0. Kemudian, timnas senior mengalahkan timnas U-23 di semifinal. Timnas senior harus bertemu Libya U-23 di final. Tim junior dari Afrika Utara itu tampil perkasa sejak fase grup hingga semifinal.

Meski menghadapi pemain-pemain muda Libya (mayoritas berusia 20 tahun), timnas senior mengandalkan para pesepakbola top. Sebut saja Bambang Pamungkas, Firman Utina, Ponaryo Astaman, Nova Arianto, Markus Horison, Charis Yulianto, Erol Iba, Ismed Sofyan, Muhammad Roby, serta dilatih Benny Dollo.

Unggul di atas kertas ternyata tidak membuat Indonesia memimpin di lapangan. Pasukan Garuda justru tertinggal 0-1 di menit 13 setelah heading Abdalla Mohammed menjebol jala Markus. Setelah mencoba bangkit di sisa babak pertama, wasit asal Brunei, Shahabuddin Mohd Hamiddin, meniup peluit panjang tanda istirahat.

Semuanya berjalan biasa-biasa saja pada awalnya. Para pemain kedua kubu masuk ruang ganti. Setelah 15 menit, anggota skuad Indonesia mulai meninggalkan ruang ganti untuk menuju lapangan. Tapi, langkah tersebut ternyata tidak diikuti pemain-pemain Libya.

Para penonton yang hadir di stadion dan pemirsa televisi bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Begitu pula wasit dan panitia pelaksana pertandingan. Setelah diberi waktu tambahan 15 menit untuk masuk lapangan, Libya tidak juga terlihat. Akibatnya, wasit memberikan kemenangan WO 3-0 untuk Indonesia atau 3-1 secara agregat.

Para pemain Indonesia bergembira mengangkat Piala Kemerdekaan seperti menjadi juara Piala Asia. Mereka berteriak-teriak kegirangan layaknya Spanyol saat menjuarai Piala Dunia 2010. Sebaliknya, para pendukung masih bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka juga merespons dengan sinis selebrasi pasukan Garuda di lapangan.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada para punggawa Libya sehingga menolak melanjutkan pertandingan malam itu?

Semua kekacauan itu berawal saat jeda. Ketika hendak masuk ruang ganti, sejumlah ofisial Indonesia menghina Pelatih Libya, Gamal Adeen Abu Nowara, menggunakan kata-kata yang tidak pantas dan provokatif. Menurut kubu Libya, aksi itu dilanjutkan dengan pemukulan ke wajah Gamal oleh Pelatih kiper, Sudarno.  

Gamal mengklaim pukulan Sudarno sangat keras dan menyebabkan kacamata yang sedang dikenakan rusak. Lensa kirinya pecah. Bibir Gamal juga memar. Akibatnya, kontingen Libya memutuskan tidak melanjutkan pertandingan. Mereka beranggapan Piala Kemerdekaan hanya uji coba sehingga tidak pantas jika kubu Indonesia bertindak berlebihan. Sudarno membantah memukul pelatih Libya.

"Saat di pintu masuk lorong ruang ganti saya mengalami tekanan berupa kata-kata. Setelah kejadian itu saya dipukul. Bagaimana kami bisa melanjutkan pertandingan kalau sikap mereka seperti ini?" ujar Gamal di sesi konferensi pers resmi setelah pertandingan.



Sebaliknya, kubu Indonesia mengaku tidak mengetahui kejadian itu. Bendol selaku pelatih maupun Charis sebagai kapten bahkan masih sempat menganggap timnas pantas memenangkan pertandingan. Sementara Sudarno tetap menjadi pelatih kiper hingga 2010 ketika Alfred Riedl menukangi timnas senior.

Sudarno sebenarnya bukan sosok asing di sepakbola Indonesia. Dia menjadi pelatih kiper pada tiga periode. Selain 2008-2010, mantan kiper Persija Jakarta tersebut bekerja pada 2000-2001 dan 2002-2007. Tapi, pada 3 Februari 2021, Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, memasang foto Sudarno disertai ucapan belasungkawa di Twitter resmi miliknya, @iriawan84.