Sepakbola Indonesia berduka atas wafatnya Ivan Toplak. Rest in pride, coach!
Tiga hari lalu, kabar duka datang dari Slovenia. Menurut media lokal, Dnevnik, Ivan Toplak menghembuskan napas terakhir  pada usia 90 tahun di Maribor, Senin (26/7/2021). Bagi Yugoslavia, Slovenia, Serbia, hingga Indonesia, pria kelahiran Belgrade, 21 September 1931, itu adalah legenda.

Toplak memulai karier sepakbola sebagai pemain untuk Branik Maribor di Slovenia setelah Perang Dunia II berakhir (saat itu Slovenia masih bagian dari Yugoslavia bersama Serbia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Macedonia Utara, dan Kosovo). 

Pada  1951, Toplak menandatangani kontrak dengan klub elite Slovenia, Olimpija Ljubljana, di mana ia bermain selama tiga tahun berikutnya. Toplak bermain di sana selama tiga musim dengan penampilan yang cemerlang dan menarik perhatian klub-klub besar Yugoslavia yang berbasis di Serbia dan Kroasia.

Kemudian, Toplak meninggalkan Olimpija ke Red Star Belgrade pada 1954. Di sana, dia merumput tujuh tahun, hingga 1961. Hasilnya, gelar juara Liga 1 Yugoslavia 1955/1956, 1956/1957, 1958/1959, 1959/1960. Dia juga pernah memenangkan Piala Yugoslavia 1957/1958 dan 1958/1959, serta Piala Mitropa 1958.

Toprak kemudian  meninggalkan Red Star pada 1961 dan tak lama setelah itu pensiun dari sepakbola pada usia 30 tahun.  Dia langsung melatih Red Star pada 1964. Dia mengelola klub selama dua tahun, tapi tidak berhasil memenangkan apapun.

Setelah Yugoslavia, Toplak pergi ke Amerika Serikat pada 1967. Di sana, dia mengelola California Clippers pada 1967-1968, Stanford University (1969-1971, dan San Jose Earthquakes (1974-1975).

Kemudian, pada 1976, Toplak meninggalkan AS dan kembali ke Yugoslavia. Pada 1976-1977, dia menjadi pelatih Yugoslavia semua usia. Selain senior, Toplak juga bertanggung jawab pada Yugoslavia U-20 dan U-21. Dia memimpin tim U-21 ke semifinal Euro U-21 1980. Dia juga mempersembahkan perunggu di Olimpiade 1984.

Meski sukses dengan tim junior Yugoslavia, posisi Toplak di sekuad senior ternyata tidak sepenuhnya aman. Pada 1986, dia menjadi "pelatih bersama" Yugoslavia dengan Ivica Osim.


Datang ke Indonesia di saat yang salah

Setelah tidak bekerja dengan Yugoslavia, Toplak mendapatkan tawaran menukangi Indonesia. Konon, dia mendapatkan bayaran Rp300 juta. Itu tergolong besar karena USD1 pada 1991 setara dengan Rp1.977 (sekarang, 2021, USD1 ada di kisaran Rp14.000-Rp15.000).

Dengan bayaran yang sangat besar itu, harapan segudang diletakkan di pundak Toplak. Targetnya cukup ambisius sesuai level sepakbola Indonesia saat itu, yaitu tampil di Piala Asia 1992 dan medali emas SEA Games 1993.

Sayang, ada banyak hal di luar kemampuan Toplak yang membuat semua target itu tidak bisa terealisasi. Tim Merah-Putih hanya mampu menempati peringkat keempat di SEA Games. Untuk Piala Asia juga tidak bisa mencapai sasaran. Bahkan, di turnamen tidak resmi sekelas Piala Kemerdekaan 1992, Indonesia hanya menjadi runner-up.

Situasi itu terjadi karena Toplak mendapatkan waktu yang minim untuk menggenjot fisik serta mental para pemain. Itu berpengaruh sangat besar karena Toplak dikenal sebagai pelatih yang mengandalkan kekuatan fisik pemainnya. 

Akibatnya, para pemain Indonesia bermain sangat jelek. Fisik mereka lemah. Organisasi permainan juga rapuh dan kerja sama tim tidak terbentuk. Gantinya, individualisme yang cenderung menonjol. Sentimen Perserikatan dan Galatama juga sangat menonjol. 

Selain teknis, faktor non teknis yang membuat Toplak gagal adalah waktu yang tidak tepat. Dia datang ketika Indonesia baru saja sukses mendapatkan medali emas SEA Games 1991 dengan Anatoli Polosin sebagai pelatih.

Itu membuat Toplak dibanding-bandingkan dengan pelatih legendaris Uni Soviet itu. Apalagi, salah satu alasan PSSI menunjuk Toplak sebagai pengganti Polosin adalah gaya melatih yang sama, yang mengandalkan kemampuan fisik dan serangan yang spartan tanpa henti selama 90 menit.

Tapi, itu sudah menjadi masa lalu. Suka atau tidak, Toplak pernah mewarnai sepakbola Indonesia. Dalam waktu singkat, dia berhasil mendidik pemain-pemain legendaris seperti Herry Kiswanto, Rahmad Darmawan, hingga Elly Idris, yang kini sudah beralih profesi menjadi pelatih jempolan.

"Turut berduka cita atas wafatnya mantan pelatih timnas Indonesia periode 1992-1993, Ivan Toplak. Semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa," tulis PSSI di akun Twitter resminya.