Dulu dikenal sebagai pemain yang tangguh. Kini, ketangguhannya diuji dalam peran pelatih.
Akhir pekan lalu, Mark van Bommel mengawali petualangan sebagai pelatih VfL Wolfsburg dengan mengalahkan VfL Bochum di laga perdana Bundesliga 2021/2022. Tapi, publik Jerman kini menanti sampai sejauh mana petualangan mantan gelandang tim nasional Belanda itu di Volkswagen Arena.

Wolfsburg telah menunjuk Van Bommel sebagai pelatih kepala sejak 2 Juni 2021 untuk menggantikan Oliver Glasner. Sebagai pemain, dia memiliki reputasi menakutkan. Tapi, sebagai pelatih, dia masih hijau.

Saat bermain di berbagai klub, termasuk Bayern Muenchen, Van Bommel sempat diberi atribut "Pemimpin Agresif". Julukan yang mengacu pada pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, itu diberikan oleh pelatih legendaris Ottmar Hitzfeld. Itu sebagai penilaian atas penampilan kuat Van Bommel di lini tengah.

Van Bommel membuat 183 penampilan untuk Bayern pada 2006-2011. Dia memenangkan dua gelar liga, tapi juga mendapatkan lebih dari 50 kartu kuning.

"Sebagai pemain, dia adalah ahli trik kotor. Karakteristik intinya adalah kaki yang diperpanjang, siku yang menonjol, tinju yang mengepal, dan kata-kata tajam yang ditujukan kepada penonton, lawan, dan kadang-kadang rekan satu tim," tulis Sueddeutsche Zeitung saat penunjukkan Van Bommel sebagai pelatih Wolfsburg.

Tapi, anda tidak akan pernah memenangkan gelar liga di Belanda, Spanyol, Jerman dan Italia, atau memenangkan Liga Champions, atau mencapai final Piala Dunia setelah dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Belanda dua kali, hanya dengan menjadi "pemain kotor".

"Saya tidak pernah menyukai label itu. Tapi, saya juga tidak pernah bisa menyingkirkannya. Anda menikmatinya ketika anda mencegat permainan dan memainkan umpan yang bagus untuk sebuah gol. Itu tidak begitu terlihat, tapi penting bagi tim untuk mencegat umpan," kata Van Bommel.

Sebagai pemain, filosofi Van Bommel jelas. Tapi, sebagai pelatih, belum terlihat. Pria berusia 44 tahun itu pernah bekerja sepabagi pelatih junior di Belanda. Dia juga menjadi asisten mertuanya, Bert van Marwijk, di tim nasional Australia dan Uni Emirat Arab (UEA).

Satu-satunya pekerjaan Van Bommel sebagai pelatih kepala ada di PSV Eindhoven. Kariernya berakhir setelah hanya memimpin klub di 75 pertandingan dan finish runner-up Eredivisie. Setelah tersingkir dari fase grup Liga Eropa, PSV menggambarkan Van Bommel sebagai "tidak layak melatih".


Melatih berbeda dengan bermain

Sekarang, di Wolfsburg, tantangannya sangat berat. Itu karena Wolfsburg asuhan Glasner mampu finish empat besar sehingga akan kembali bermain di Liga Champions.

Namun, itu tidak seberapa. Tantangan paling menantang bagi Van Bommel adalah manajemen. Dia harus bisa bekerjasama dengan Joerg Schmadtke selaku General Manager (GM). Di negara lain, posisi ini dikenal sebagai direktur teknik, direktur olahraga, atau direktur sepakbola, yang tugasnya belanja pemain.

Schmadtke tiba di klub pada Juni 2018. Dia mengelola klub dengan caranya sendiri. Hobinya, bertengkar dengan pelatih. Kemudian, sang pelatih pergi karena tidak tahan berhubungan dengan Schmadtke.

Tercatat, sudah dua pelatih yang berhenti sejak Schmadtke mengelola klub. Pertama, Bruno Labbadia. Meski memimpin tim dari lolos di play-off degradasi ke Liga Eropa, Labbadia memilih untuk tidak memperpanjang kontrak karena perbedaan pendapat mengenai transfer.

Hal yang sama  dialami Glasner, yang  tidak mendapatkan pemain yang dia inginkan, meski memimpin Wolfsburg kembali ke Liga Champions untuk ketiga kalinya dalam sejarah klub. "Ide-ide yang datang dari Glasner tidak bisa dilakukan," kata Schmadtke kepada Wolfsburger Allgemeine Zeitung.

Alasan penolakan-penolakan Schmadtke adalah uang. Sebab, meski mendapat manfaat dari dukungan keuangan yang signifikan dari perusahaan induk Volkswagen sebagai salah satu dari tiga pengecualian Bundesliga dari aturan kepemilikan 50+1, ikat pinggang tetap harus diperketat di Wolfsburg dalam beberapa tahun terakhir.

Penghematan dilakukan menyusul skandal emisi yang mengguncang Volkswagen pada 2015. Itu menyebabkan nvestasi perusahaan di tim sepakbola dipotong 30% menjadi sekitar 75 juta euro (Rp1,2 triliun).

Dan, kebijakan transfer Schmadtke mencerminkan hal itu. Sebut saja Wout Weghorst, Ridle Baku, Xaver Schlager, Kevin Mbabu, Paulo Otavio, Maxence Lacroix, Maximilian Arnold, John Anthony Brooks, hingga Sebastian Bornauw. Semuanya kelas dua.




Pembuktian kualitas Van Bommel

Sekarang, Wolfsburg yakin bahwa Van Bommel memiliki apa yang diperlukan untuk mengambil tongkat estafet dan melanjutkan kemajuan klub, terlepas dari pengalamannya dan kepribadiannya yang kuat.

"Bahkan, sebagai pemain, dia dulu berpikir seperti pelatih dan akan mempertanyakan segalanya," kata Andries Jonker, yang pernah bekerja dengan van Bommel sebagai asisten pelatih Louis van Gaal di Bayern dan juga pernah melatih Wolfsburg pada 2017.

"Dia menuntut banyak dari dirinya sendiri dan dia menuntut itu dari anggota tim lainnya juga. Bahkan, jika dia tidak senang dengan pemanasan, karena dia pikir para pemain tidak berkonsentrasi, dia akan marah di ruang ganti dan memberi tahu mereka. Anda membutuhkan emosi dan kepribadian ini ketika anda ingin mencapai hal-hal hebat," tambah Jonker.

Jika dia menginginkannya, Wolfsburg bisa menjadi langkah penting bagi karier kepelatihan van Bommel yang masih muda. Tapi, dia harus segera menerima bahwa hanya ada satu "Pemimpin Agresif" di Volkswagen Arena saat ini.