Ternyata, ada korelasi antara back pass dengan trofi Liverpool. Apa itu?
Sepanjang sejarah Liga Premier, Liverpool baru punya satu gelar juara, yaitu pada 2019/2020. Padahal, di era lama Divisi I, The Reds mengoleksi 18 trofi. Ternyata, hampa gelar yang terlalu lama ada berhubungan dengan aturan back pass yang dimulai sejak 1992 atau pertepatan kick-off Liga Premier.

Di Inggris, Liverpool adalah klub elite. Pasukan Juergen Klopp itu menjuarai kompetisi elite Inggris pertama kali pada 1900/1901. Mereka melanjutkannya pada 1905/1906, 1921/1922, 1922/1923, 1946/1947, 1963/1964, 1965/1966.

Puncak kejayaan Liverpool terjadi pada 1970 dan 1980-an. Di era itu, pasukan Anfield menjuarai 11 edisi Divisi I, yaitu 1972/1973, 1975/1976, 1976/1977, 1978/1979, 1979/1980, 1981/1982, 1982/1983, 1983/1984, 1985/1986, 1987/1988, dan 1989/1990.

Tapi, semuanya berubah pada 1990-an, khususnya ketika Liga Premier kick-off pada 1992/1993. Saat itu, muncul aturan baru terkait back pass. Jika sebelum 1992 kiper bisa menangkap bola yang disodorkan pemain lapangan (outfield), maka setelah 1992 tidak lagi.

Aturan ini muncul akibat dampak dari Piala Dunia 1990 yang membosankan dan puncaknya di final Euro 1992. Saat itu, Denmark mengalahkan Jerman lewat taktik negative football Peter Schmeichel dkk yang melakukan back pass berkali-kali dan membuat Juergen Klinsmann dkk stres berat.

Sejak muncul larangan back pass dalam sepakbola, permainan menjadi lebih menarik. Aliran bola menjadi lebih cepat. Suporter kemudian menyukai perubahan aturan ini dan dampak besarnya kepada permainan.

Namun, aturan baru itu juga sempat menjadi bumerang bagi penjaga gawang. Kiper Manchester City pada 1992, Andy Dibble, misalnya, harus menderita patah tulang setelah berbenturan dengan pemain lawan. Benturan terjadi setelah dia ragu menangkap atau menendang bola.

Andy Dibble kemudian menyebut dirinya sebagai "korban pertama perubahan aturan sepakbola yang radikal".

Selanjutnya, beberapa laga Liga Premier 1992/1993 tak ubahnya komedi sepakbola dengan banyaknya blunder yang dilakukan pemain dan kiper. Contohnya pada pertandingan Leeds United menghadapi Wimbledon.

Saat itu Leeds United sedang menekan Wimbledon. Mereka sedikit kesulitan menembus pertahanan yang cukup solid. Lalu, bek kanan Wimbledon, Roger Joseph, menghadapi umpan lambung Eric Cantona. Dia panik apakah melakukan umpan atau sapuan bersih. Bola akhirnya direbut pemain Leeds United, Lee Champman. Dan, gol.

Ada lagi kasus Norwich City saat dikalahkan Arsenal 2-4. Empat gol The Gunners datang dari pemain The Canaries yang ragu-ragu dalam mengamankan bola, antara melakukan operan ke penjaga gawang atau sapuan ke depan.

Perubahan ini tidak hanya berdampak di Inggris. Di Serie A, yang terkenal defensive, rataan gol berubah. Dari 2,27 gol pada 1991/1992 melonjak menjadi 2,85 gol pada 1992/1993. Mayoritas gol lahir dari blunder pemain belakang dan kiper.

Statistik menunjukkan, adanya aturan baru membuat rata-rata blunder pemain meningkat hingga 1,8 per pertandingan pada Liga Premier 1992/1993.



Michael Cox dalam bukunya The Mixer, menjelaskan secara rinci bagaimana aturan ini mengubah keseluruhan taktik sepakbola. Munculnya cara baru mengulur waktu bermunculan. Penguasaan bola juga menjadi kewajiban bagi tim yang sedang unggul. Dan, itu menjadi transisi sepakbola modern.

Tapi, dari semua klub sepakbola yang ada di Inggris, Italia, atau Spanyol, Liverpool yang paling berdampak dengan aturan back pass. Kok, bisa?

Harap diingat, pada era 1970 hingga 1980-an, Liverpool memang sangat perkasa. Mereka layaknya Barcelona di era Pep Guardiola dan Luis Enrique atau Real Madrid di zaman Zinedine Zidane dan Carlo Ancelotti. The Reds era itu seperti Manchester United di periode Sir Alex Ferguson.

Kemudian, ketika Liga Premier digelar dengan aturan back pass diterapkan, Liverpool loyo. Mereka butuh bertahun-tahun untuk beradaptasi. Bahkan, gelar Liga Premier perdana baru diraih pada 2019/2020.



Lalu, apa hubungannya dengan back pass? Defender The Reds pada Liga Premier 1992/1993, Nick Tanner, pernah menyatakan bahwa aturan back pass membuat dirinya dan rekan-rekannya di Anfield kesulitan beradaptasi dengan cepat. Bahkan, itu sangat menyulitkan mereka.

"Kami kesulitan mengubah mindset kami bahwa kami tidak lagi diperbolehkan melakukan umpan ke penjaga gawang," ujar Nick Tanner kepada BBC sport beberapa tahun lalu.

"Biasanya, (ketika) kami unggul 1 gol, (kami) melakukan umpan ke Bruce Grobbelaar (kiper). Lalu, dia menguasai bola (dengan tangan), (itu) memberikan waktu untuk kami menguasai permainan," pungkas pesepakbola Inggris yang membela Liverpool pada 1988 hingga 1994 itu.