Chile lolos lewat laga selama 30 detik. Dijuluki laga paling menyedihkan sepanjang sejarah usai kudeta bersandi Operasi Jakarta.
Di era ketika Perang Dingin masih eksis, sepakbola tidak pernah bisa lepas dari kepentingan politik dan perebutan pengaruh ideologi. Salah satu contohnya terjadi saat Chile mendapatkan tiket Piala Dunia 1974 melalui play-off interzone melawan Uni Soviet.

Cerita unik dan tragis itu dimulai pagi hari 11 September 1973. Itu adalah hari ketika bom dari pesawat-pesawat tempur Chile membombardir Istana Kepresidenan La Moneda di Santiago. Sorenya, para pemimpin militer berhasil menyelesaikan kudeta menggulingkan Presiden Salvador Allende, yang terpilih secara demokratis. Kudeta itu dijalankan dengan sandi Operasi Jakarta.

Detail tentang apa yang terjadi pada hari itu masih diperdebatkan, meski autopsi medis menunjukkan Allende bunuh diri selama kudeta berlangsung. Pemerintahan sipil dihapuskan dan para pemimpin militer membentuk junta yang memiliki kendali mutlak atas negara dengan dipimpin Jenderal Augusto Pinochet.

Peristiwa itu tidak hanya mengguncang orang Chile, melainkan juga seluruh dunia. Kudeta Chile adalah peristiwa besar dalam Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) yang kapitalis dengan Uni Soviet yang komunis. Pasalnya, Allende memimpin Partai Sosialis Chile dan memiliki hubungan yang kuat dengan Fidel Castro.

Ketika Allende memenangkan Pilpres Chile 1970, Presiden AS, Richard Nixon, khawatir Chile akan berubah menjadi seperti Kuba sehingga memutuskan hubungan diplomatik. Di sisi lain, Uni Soviet sangat mendukung Allende dan memandang Chile sebagai sekutu potensial baru di Amerika.

Tindak lanjut dari kudeta itu membuat orang-orang yang dihubungkan dengan Allende harus menerima konsekuensi. Ribuan tahanan ditangkap dan dibawa ke pusat penahanan. Salah satu yang terbesar adalah Estadio Nacional de Chile di Santiago. Itu adalah tempat tim nasional Chile memainkan pertandingan sepakbola.

Beberapa minggu setelah kudeta, ribuan tahanan dibawa ke stadion bersejarah tersebut. Mereka disiksa secara brutal dan dieksekusi. Itu menciptakan ketegangan baru antara AS dan Uni Soviet, meski mereka sama-sama membantah pro atau kontra rezim baru.

Ketika kekacauan belum mereda, Chile dan Uni Soviet ditakdirkan berhadapan di play-off Piala Dunia 1974. Pertandingan antarzona yang mewakili CONMEBOL dengan UEFA tersebut harus dilaksanakan dengan format home and away. Laga pertama digelar di Moscow dan pertandingan kedua di Santiago, di stadion yang baru saja digunakan sebagai medan pembantaian politik terbesar dalam sejarah Amerika Latin.

Leg pertama berlangsung pada 26 September 1973 di Central Lenin Stadium (kini Luzhniki Stadium) di depan 48.891 pasang mata. Itu situasi yang sulit bagi para pemain La Roja. Sebab, setelah kudeta, rezim militer melarang semua orang Chile meninggalkan negara.

Pengecualian diberikan kepada para pemain yang berangkat ke Moscow. Tapi, mereka diperingatkan untuk tidak membuat pernyataan politik karena keluarga berada dalam pengawasan militer dan bisa dieksekusi jika macam-macam.

Beberapa anggota tim, seperti Leonardo Veliz dan Carlos Caszely, secara politis dekat dengan pemerintahan Allende. Selain itu, Uni Soviet sebagai sekutu pemerintah yang digulingkan, mengutuk kudeta militer dan tidak mengakui pemerintahan baru. Mereka juga telah memutuskan hubungan diplomatik.

Saat tiba di Moscow, tidak ada otoritas Chile yang menerima La Roja. Hanya ada beberapa mahasiswa Chile yang sedang belajar di Moscow, yang menyambut. Para pemain dibiarkan sendirian. Bahkan, Elias Figueroa dan Carlos Caszely sempat ditahan imigrasi atas tuduhan penyimpangan dalam paspor mereka.

Setelah itu, para pemain menjalani latihan seperti biasa hingga hari pertandingan tiba. Saat duel berlangsung, otoritas Uni Soviet melarang masuk jurnalis dan kamera ke dalam stadion. Itu adalah pertandingan yang aneh dan sangat menegangkan.

Bahkan, sempat muncul rumor pertandingan akan dibatalkan dan semua pemain Chile akan ditangkap sebagai sandera untuk pembebasan semua tahanan politik yang sedang dalam genggaman junta militer.

Meski diwarnai situasi yang aneh, pertandingan akhirnya terselenggara dengan pengawasan FIFA. Diperkuat sosok legendaris dari Ukraina, Oleg Blokhin, dan dilatih Yevgeny Goryansky, pertandingan berkesimpulan imbang tanpa gol. Itu hasil yang mengecewakan bagi para pemimpin Uni Soviet.

Setelah pertandingan, semuanya normal. Para pemain Chile bisa meninggalkan Moscow untuk menuju Santiago. Mereka bersiap untuk menyelenggarakan pertandingan kedua di Estadio Nacional pada 21 November 1973.

Dengan situasi politik yang berubah, Uni Soviet melancarkan protes kepada FIFA untuk memindahkan arena pertarungan di tempat netral. Permintaan itu ditolak Chile dan FIFA. Bahkan, FIFA segera membentuk sebuah komisi untuk menginspeksi Estadio Nacional karena mendengar rumor masih ada 7.000 tahanan di dalam stadion.

Menurut kesaksian seorang politikus yang dipenjara di stadion itu, Gregorio Mena Barrales, utusan FIFA mengunjungi lapangan, berjalan mengelilingi stadion, memandang para tahanan dari jauh, dan memberikan pendapat. "Di stadion ini anda bisa bermain," kata wakil FIFA tersebut kepada otoritas Chile, dilansir miguelgarciavega.com.

Saat komisi FIFA memeriksa stadion, para tahanan disembunyikan dan dikunci di ruangan-ruangan di bawah tribun. Sebelum pertandingan dilaksanakan sebuah skenario disusun rapi. Militer akan menempatkan para tahanan ke lokasi penahanan di Gurun Atacama dan akan dikembali setelah selesai.

Tapi, skenario itu berantakan setelah Uni Soviet memutuskan boikot. Mereka menggunakan alasan politik dan keamanan. Keputusan itu didukung beberapa negara sekutunya, terutama Jerman Timur, yang sudah mengancam tidak akan tampil di Piala Dunia.

"Untuk pertimbangan moral, Uni Soviet saat ini tidak dapat bermain di stadion itu karena sudah tertumpah dengan darah para patriot Chile," tulis surat Uni Soviet kepada FIFA yang bocor ke media beberapa puluh tahun kemudian.

Tidak terima dengan boikot Uni Soviet, Chile menuntut kompensasi USD300.000. Mereka mengklaim uang itu sebagai pengganti pemasukan tiket pertandingan.

FIFA kemudian mengumumkan Chile menang 1-0 dan lolos ke Piala Dunia. Agar situasi tidak semakin panas, FIFA tetap mengatur agar pertandingan bisa diadakan. Laga seremonial itu dihadiri 15.000 orang dan hanya menampilkan 11 pemain Chile di lapangan dengan wasit asal Austria, Erich Linemayr.

Permainan tersebut berlangsung selama 30 detik, untuk memberi kesempatan Chile mencetak gol dari kick-off. Kapten Chile, Francisco Chamaco Valdes, yang diberi kepercayaan mencetak gol ke gawang kosong sebagai simbol kelolosan La Roja ke Jerman Barat.



Mengapa FIFA mengizinkan pertandingan itu tetap berlangsung?

Yang menjadi pertanyaan orang hingga hari ini adalah mengapa FIFA seperti tidak berdaya menghadapi gejolak politik dan perang ideologi saat era Perang Dingin? Itu benar-benar berbeda dengan FIFA masa kini yang tidak pernah takut untuk berhadapan dengan intervensi pemerintah negara anggota.

Pertandingan tersebut masih menjadi bagian sejarah yang kelam baik, untuk Chile maupun FIFA. Penulis Uruguay, Eduardo Galeano, yang ada di sana pada pertandingan itu, dengan terkenal menuliskan "pertandingan sepakbola paling menyedihkan yang pernah dimainkan".

Salah satu pemain Chile yang tampil di laga itu, Carlos Caszely, membuktikan kebenaran tulisan Galeano. Saat itu, ibunya disiksa selama kediktatoran Pinochet karena statusnya sebagai aktivis politik. "Tim itu melakukan hal yang paling konyol. Itu memalukan di seluruh dunia," kata Caszely.

Terlepas dari tragedi mengerikan yang terjadi selama junta militer berkuasa, Estadio Nacional tetap digunakan menggelar pertandingan sampai sekarang. Bahkan, pada 2015, stadion itu menjadi saksi kemenangan La Roja atas Argentina dan Lionel Messi pada laga puncak Copa America.

Sebelumnya, pada 2011, Chile akhirnya memperingati satu bagian sejarah kelam dari Estadio Nacional untuk mengenang para narapidana yang pernah ditahan. Di salah satu sudut tribun, ada bagian bangku kayu tua yang disebut "Escotilla 8." Tugu peringatan itu mencuat seperti jempol yang sakit di stadion yang baru direnovasi.

Itu adalah pengingat dari semua ketidakadilan yang terjadi di dalam stadion. Ini adalah pengingat akan masa ketika garis antara olahraga dan politik sering kali kabur, yang tidak ingin diulang sepakbola Chile maupun di tempat lain.