Kisah Jorginho, Jago Bola di Brasil karena Diajari Ibu

"Fase hidupnya keras, dari perceraian orang tua hingga tak mendapat fasilitas yang layak"

Biografi | 10 July 2021, 16:11
Kisah Jorginho, Jago Bola di Brasil karena Diajari Ibu

Libero.id - Bagi kebanyakan orang, pantai berpasir dan perairan biru di Imbituba, Brasil selatan merupakan surga yang damai. Tetapi bagi maestro lini tengah Italia, Jorginho, itu adalah akar dari pendidikan sepakbolanya.

Bintang Euro 2020 ini telah berperan penting bagi Italia dalam perjalanan mereka ke final, di mana mereka akan berhadapan dengan Inggris di Wembley.

Bintang Chelsea yang dipuji atas kebangkitan karirnya yang epik itu menilai bahwa kesuksesan yang ia dapatkan sekarang adalah peran dari ibunya yang luar biasa.

"Ibuku bermain sepak bola jadi aku belajar banyak darinya," ungkap Jorginho pada 2013 lalu.

"Dia masih bermain hari ini dan mengerti banyak. Dia akan membawa saya ke pantai dengan bola dan saya akan menghabiskan sepanjang sore melakukan latihan teknis di pasir."

Ibu Jorginho, Maria Tereza Freitas, ingin putranya bersiap untuk apa pun dan segalanya dalam permainan. Dia ingin Jorginho selangkah lebih maju dari lawannya.

"Saya dibesarkan untuk menghadapi masalah," katanya.

Namun terlepas dari persiapan itu, Jorginho tidak tahu bahwa perpisahan orang tuanya datang begitu cepat, dimana saat itu usianya baru menginjak enam tahun. Sejak saat itu, Maria menjadi pelatih bagi Jorginho.

Tereza menghabiskan sebagian besar waktunya bekerja sebagai pembersih serta pramusaji, dan mendapatkan cukup uang untuk membeli sepatu sepakbola putranya. Ia juga membawa Jorginho bermain untuk tim lokalnya Brusco.

Ikatan di antara mereka begitu kuat, mereka harus pindah sejauh 180 kilometer dari rumah pada usia 13 tahun dan itu masih membuatnya kesal jika diingat-ingat.

“Jika saya membicarakannya, saya merasa ada yang mengganjal di tenggorokan saya,” kata Jorginho.

Bersama dengan 50 anak laki-laki lainnya, anak muda itu terpilih sebagai bagian dari proyek yang dibentuk oleh pengusaha Italia di Guabiruba untuk menciptakan generasi sepakbola Brasil yang bagus.

Namun apa yang ia dapatkan saat itu jauh dari fasilitas mutakhir yang didapatkan di akademi Chelsea di Cobham. Jorginho ingat bahwa ia harus mandi air es. Dia tidak bisa melupakan latihan tanpa tujuan, atau makanan yang sama setiap harinya. Tapi itu sangat berharga pada akhirnya.

Setelah dua tahun, dia menjadi salah satu dari sedikit pemain yang terpilih untuk bergabung dengan klub Verona, yang saat itu berada di kasta kedua sepakbola Italia.

Namun, kesepakatan pertama Jorginho di klub jauh dari menguntungkan. Sementara agen mengambil 27.000 Pound (RP 542 juta) dari transaksi, gelandang itu hanya mendapatkan 18 Pound (RP 361 ribu) per minggu.

Sebagian besar dari itu terus berhubungan dengan ibunya, yang berhasil meyakinkannya untuk melanjutkan pendidikan sepakbola setelah dia mengancam akan berhenti. Pada awalnya, bocah lelaki itu berjuang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Dia tidak bisa tinggal di sekolah asrama dengan rekan satu timnya yang lain.

Sebaliknya, Riccardo Prisciantelli, mantan kepala eksekutif Hellas Verona, dijadikan Jorginho sebagai panutan dan dia hidup dalam sebuah perjanjian.

"Saya tidak bisa berbuat apa-apa," katanya. “Saya menggunakan lima euro untuk pulsa seluler, membeli produk kebersihan, dan 15 euro sisanya digunakan untuk telfon dengan keluarga saya."

“Seperti itulah yang saya alami selama satu setengah tahun."

“Pada tahun kedua, saya berlatih dengan para profesional dan ketika saya bertemu dengan kiper Brasil Rafael Pinheiro, yang hampir menjadi saudara bagi saya, saya menceritakan kisah saya dan dia tidak percaya."

"Dari sana, dia tidak membiarkan saya melewatkan apa pun."

Sejak awal di Verona, Jorginho mendapatkan julukan sebagai 'Serigala Masa Depan'. 

Prisciantelli mengatakan kepada MailOnline, "Semua orang mengakui tekad seekor singa, bagi saya dia adalah serigala."

"Dia bekerja tiga kali lebih keras di lapangan dan lebih keras dari siapa pun."

"Setiap malam, air mata jatuh di ruangan yang gelap dan sedih bersama pendeta. Tapi saya tahu dia tidak pernah menyerah."

"Saya membeli beberapa peralatan untuk mendirikan gym kecil di pusat olahraga. Dia akan tiba saat fajar dan terus berjalan sampai kami mengizinkannya pergi."

Setelah masa peminjaman yang sukses dengan klub Serie D Sambonifacese, Jorginho kembali ke Verona dan tampil luar biasa, melakukan debutnya di tim utama saat berusia 18 tahun pada September 2011. 

Dia adalah pemain kunci dalam tim pemenang promosi mereka pada 2013 dan pindah ke raksasa Italia Napoli enam bulan kemudian. Selama berada di Stadio San Paolo, Jorginho belajar tentang Chelsea setelah sekamar dengan Nathaniel Chalobah, mantan gelandang The Blues yang dipinjamkan ke Napoli pada 2015.

Selama tiga tahun, Jorginho bekerja di bawah mantan bos Blues Maurizio Sarri di Naples. Dan mereka dipertemukan kembali di London Barat. Karena pelatih Italia tahu kualitasnya dengan baik.

“Jorginho bukan pemain fisik, dia pemain teknis,” kata Sarri.

“Kualitas terpenting adalah dia sangat cepat dalam berpikir.”

Jorginho, sendiri, harus berterima kasih kepada ibunya untuk itu. Pantai Imbituba akan selalu menjadi sejarah bagi mereka. Sementara Wembley mungkin hanya panggungnya.

(diaz alvioriki/muf)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network