Kisah Frank Mill, Eks Striker Dortmund Pemegang Rekor Miss of the Century

"Dipaksa terus mengingat momen memalukan."

Analisis | 24 December 2021, 15:33
Kisah Frank Mill, Eks Striker Dortmund Pemegang Rekor Miss of the Century

Libero.id - Selain menjadi salah satu klub raksasa di Bundesliga, Borussia Dortmund terkenal dengan klub yang memiliki striker tangguh dalam mencetak gol.

Sederet nama stiker yang pernah tampil cemerlang bersama Dortmund dari Lewandowski, Aubameyang, hingga sekarang Erling Halland. Ketiga Striker itu memiliki kisah kejayaannya masing-masing bersama Dortmund.

Tapi, berbeda dengan stiker yang satu ini, Frank Mill. Bisa dibilang dia tidak begitu berjaya bersama Dortmund. Puncak kejayaan pribadinya saat memenangkan Piala Jerman bersama Dortmund pada 1989, tepat tiga tahun setelah kekalahan melawan Bayern Muenchen.

Bahkan, pada debutnya bersama Dortmund, dia tampil kurang maksimal. Padahal, dia sangat diharapkan mampu tampil gemilang pada pertandingan sengit melawan Bayern.

Dia membuat momen kegagalan mencetak gol di depan gawang saat debut, dan momen itu terus diingat sampai sekarang.

Bagaimana kisahnya?

Frank Mill pasti merasa seperti Marty McFly, karakter utama dari Back to the Future. Terlepas dari apa yang dia lakukan, dia terus-menerus diseret kembali ke pertengahan 1980-an. Untuk satu hari khususnya pada 9 Agustus 1986.

Itu adalah pertandingan pertama Mill untuk Dortmund. Tepat sebelum babak pertama, dia bermain bersih. Satu umpan membelah pertahanan Bayern. Dan, setelah menggiring bola melewati kiper, dia mendapati dirinya di depan gawang yang kosong. Apa yang terjadi selanjutnya sering digambarkan di Jerman sebagai 'kehilangan abad ini'.

Mill menunggu terlalu lama. Dengan jaring terbuka di depannya, dia melakukan sentuhan ekstra untuk menstabilkan dirinya, sedikit ke samping kotak enam yard, menunda apa yang tampaknya tak terhindarkan.

Saat penjaga datang dengan tergesa-gesa untuk melakukan blokir, Mill tiba-tiba kehabisan ritme. Dia seperti kehilangan arah ketika bola tertahan di kakinya.

Ketika dia akhirnya menembak, bola malah membentur tiang. Kemudian bola memantul kembali ke bek Bayern. Itu adalah momen kegagalan dia mencetak gol paling menyedihkan yang terus menghantuinya sepanjang hidup.

35 tahun kemudian, setiap kali siapapun di sepakbola Jerman melewatkan kesempatan bagus seperti Mill, tidak butuh waktu lama bagi para komentator untuk mengangkat cerita ini.

Tindakan gagal mencetak gol dari permainan terbuka dikenal sebagai 'A Mill'. Drama ini turut dikaitkan ketika membahas kegagalan Timo Werner selama beberapa tahun terakhir bersama Chelsea.

Mill, sosok yang sekarang berusia 63 tahun, terus-menerus dipaksa untuk mengingat tindakan momen profesionalnya yang paling memalukan. Dia mengambil ini secara filosofis. Dia tidak akan menolak untuk menjawab jika dia telah ditanya dengan cara yang benar.

"Beberapa tahun yang lalu, saya pergi ke toko daging lokal dengan teman lama saya, Matthias Herget, mantan bek Jerman Barat," katanya.

"Seorang wanita tua di belakang konter membungkus roti dan sosis kami dan ketika dia mengangkat matanya, dia berseru dengan keras: 'Ah! Anda menabrak tiang!'

"Setiap kali seorang pria di jalan meneriakkan namaku dan mencoba mengejekku, saya hanya menolak untuk bereaksi. Namun, secara umum, setelah sekian lama, saya bisa menertawakan diriku sendiri" pungkasnya.

"Itu gila. Saya ingin membuat para pemain Bayern terlihat konyol, menggulingkannya melewati garis. Tapi, saya berlari lebih cepat dari bola dan kehilangan kendali. Itu hanya tergeletak di antara kaki saya dan kemudian tiba-tiba itu terjadi."

Ketika adegan itu ditayangkan di TV Jerman, Mill menjadi viral walau masih dengan gaya 1980-an. Tidak serta-merta terpampang di internet tentunya, namun momen itu mendominasi media koran hingga tabloid saat itu. Para fans membicarakannya tanpa henti. Bahkan, momen itu dengan cepat menyebar ke seluruh dunia.

Beberapa bulan setelah kepergiannya dari Dortmund, Mill pergi mengunjungi seorang teman di San Francisco. Di kamarnya di Fairmont Hotel, dia memesan burger dan menyalakan TV. Dia menemukan program yang menyajikan klip-klip aneh dari dunia olahraga.

"Pertama saya melihat seorang pemain bola basket yang merobek keranjang saat mencoba melakukan dunk," katanya. "Saya tertawa dan menggigit burger saya. Dan, pada saat itu, saya melihat diri saya di layar membentur tiang di Munich."

Kegagalan seperti itu biasanya dapat mengubah seorang pemain sepakbola profesional - terutama striker - menjadi karakter tertutup. Mereka diyakini bakal memikirkan kegagalan mencetak gol tersebut.

Sepanjang kariernya, dia dikenal karena kepribadiannya. Ayahnya bekerja sebagai pedagang barang rongsokan dan Mill mewarisi lidah dan keramahannya yang tak kenal takut. Dia bermain tanpa bantalan tulang kering dan sering mencuri bola dari penjaga gawang saat hendak menendang bola.

Di Jerman, ada pepatah yang bisa menggambarkan karakter seperti itu, 'mit allen Wassern gewaschen', yang secara harfiah diterjemahkan menjadi: "dicuci dengan semua air". Terjemahan yang lebih baik adalah 'untuk mengetahui setiap trik dalam buku'.

Tapi, rekan setim Mill di Dortmund, Norbert Dickel, mungkin menyimpulkan kelicikannya ketika menggambarkannya dengan permainan kata-kata: "Dia dicuci dengan semua air limbah."

Mill selalu percaya diri, ramah, dan memang klinis sebagai striker. Dia menghabiskan 15 tahun di Bundesliga, bermain untuk Borussia Monchengladbach, Dortmund, dan Fortuna Dusseldorf di liga papan atas Jerman antara 1981 dan 1996.

Dia mewakili Jerman Barat di Olimpiade 1988 dan juga masuk skuad Piala Dunia 1990. Namun, dia tidak tampil dalam skuad Franz Beckenbauer saat mengangkat trofi di Italia. Dia tidak dianggap  sebagai juara dunia meski mencetak 253 gol dalam 656 pertandingan sepanjang kariernya.

Meskipun tingginya hanya 5 kaki 9 inci, kemampuannya mencetak gol sangat baik. Salah satunya mencetak banyak gol lewat sundulan.

Namun, pencapaian terbesarnya adalah memenangkan Piala Jerman bersama Dortmund pada 1989 - tiga tahun setelah kekalahan melawan Bayern - ketika Mill menyumbangkan satu gol dan dua assist dalam kemenangan 4-1 yang menakjubkan atas Werder Bremen.

Ketika dia memikirkan kembali persiapan untuk pertandingan itu, dia mengingat gangguan yang tidak biasa.

"Selama bertahun-tahun dengan Dortmund kami berlatih lido pada hari Jumat, dan kami melakukan hal yang sama pada hari sebelum final piala (Jerman)," katanya. "Itu adalah waktu yang sama sekali berbeda.”

"Di musim panas, halaman rumput digunakan oleh para nudis. Kami membawa tujuan kami ke area yang tidak terlalu ramai dan bermain di sana karena memiliki permukaan yang bagus. Jadi, ada orang yang berjemur telanjang, dan di depan kami berlatih. Saya tidak bisa mengatakan bahwa semua tembakan tepat sasaran."

Mill mengingat masa-masa yang berbeda itu dengan dengan kerinduan. Dia ingat bagaimana dia dan rekan setimnya di Dortmund akan mengunci diri di ruang kecil dan berbicara berjam-jam sambil makan kue, kopi, dan rokok.

Atau, saat tergabung bersama tim nasional Jerman, seseorang menempatkan kelinci hidup di kotak dokter tim sebelum pertandingan persahabatan. Ketika Andreas Brehme mengalami cedera awal, maka kelinci keluar dari tas ketika fisioterapis berlari ke lapangan.

Dia juga sangat banyak bicara ketika membahas topik yang ingin disangkal oleh banyak mantan pemain internasional: tuduhan doping.

Adalah mantan penjaga gawang Jerman Barat, Toni Schumacher, yang mengangkat topik ini ketika dia merilis bukunya Anpfiff (Kick-Off) pada 1987. Buku itu membuat klaim tentang tidak hanya praktik doping, tetapi juga skandal lain di sekitar tim nasional yang melibatkan poker, pelacur, dan penyalahgunaan alkohol.

Untuk waktu yang lama, tidak ada pemain lain yang sependapat dengan Schumacher bahwa penyalahgunaan Captagon - amfetamin bermerek terlarang sekarang diproduksi dalam jumlah besar di Suriah - adalah umum di Bundesliga era 80-an.

"Potongan-potongan tablet diletakkan di dekat baskom ruang ganti dan Anda bebas untuk membantu diri Anda sendiri. Itu 'trendi' pada waktu itu. Para dokter mengetahuinya, para manajer, semua orang. Tapi, tidak ada yang membicarakannya," tutur Mill.

"Banyak pemain yang meminumnya sampai mereka tidak bisa berjalan lagi. Anda tidak langsung melihat konsekuensinya, tetapi efeknya pada tubuh Anda dalam jangka panjang," bebernya.

Mill mengakui dia mengambil Captagon sekali, tanpa mengatakan pertandingan tertentu. "Saya mencetak dua gol dalam permainan. Setelah itu, saya tidak pernah lelah," ujarnya.

“Di tengah malam (di rumah) saya menyalakan lilin yang diletakkan di rak kayu. Saya ingin menonton ulangan Aktuelles Sportstudio (program highlight ala Match of the Day). Saya akhirnya tertidur, tapi bangun tepat pada waktunya untuk menghentikan penyebaran api (karena lilin telah membakar rak). Saya berpikir dalam hati: 'Wah, Anda hampir saja membuat diri Anda terbakar.' Jadi, saya mundur dari mengambil Captagon untuk kedua kalinya," pungkasnya.

Bagi Mill, itu adalah yang kedua dari dua malam yang menentukan ketika dia menonton dirinya sendiri di TV. Sekali di San Francisco, dan yang lain di rumah yang hampir menjadi yang terakhir baginya.

Media Jerman akan terus meneleponnya setiap kali seseorang melewatkan peluang besar, tetapi dia memiliki lebih banyak hal untuk diceritakan. Salah satu generasi sepakbola yang tampaknya jauh dari dunia.

(atmaja wijaya/yul)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network