Kisah Fode Camara, Legenda Guinea yang Terjerat Match Fixing di Indonesia

"Camara dihukum tidak diizinkan terlibat dalam sepakbola Indonesia seumur hidup."

Biografi | 20 January 2021, 13:53
Kisah Fode Camara, Legenda Guinea yang Terjerat Match Fixing di Indonesia

Libero.id - Pada 2003, Fode Camara datang ke Indonesia untuk membela Pupuk Kaltim (PKT Bontang. Beberapa tahun bermain, pria asal Guinea itu menjadi legenda. Sempat melatih Bontang FC setelah pensiun, Camara harus kembali ke kampung halamannya gara-gara match fixing di Indonesia Premier League (IPL) 2013.

Camara memulai karier sepakbola di usia yang sangat muda, yaitu 7 tahun. Ketika menginjak usia 15 tahun, dia terpilih mewakili tim junior Guinea untuk tampil pada Piala Dunia U-16 1989 di Skotlandia. Guinea tergabung bersama Portugal, Arab Saudi, dan Kolombia di Grup D.

Saat itu, Camara harus melawan Luis Figo, yang baru berusia 16 tahun dan belum dikenal. Tapi, akibat perbedaan kualitas yang mencolok, Camara gagal membawa Guinea bersinar. Meski mencetak 3 gol dari 3 pertandingan yang dijalani, Guinea gagal lolos ke fase knock-out lantaran hanya bermain imbang 3 kali.

Ternyata, koleksi gol Camara sama dengan Khaled Jasem (Bahrain), Gil Gomes dan Tulipa (Portugal), serta Khalid Al Rowaihi (Arab Saudi). Mereka berada di puncak klasemen akhir daftar pencetak gol terbanyak. Tapi, atas pertimbangan jumlah menit bermain dan kartu kuning yang diterima, Camara dinobatkan sebagai peraih Sepatu Emas.

Setelah turnamen, pemain yang kampung halamannya dipanggil "Careca" itu tetap bertahan di Eropa. Ada banyak agenda seleksi yang harus dijalani Camara dengan beberapa klub profesional di Prancis, Belgia, Belanda, Inggris, Jerman, hingga Italia. Kemudian, dia bergabung dengan Sint-Niklase di kompetisi Belgia.

"Semuanya dimulai pada 1989 di Piala Dunia Junior di Skotlandia. Agen dan pemandu bakat telah memperhatikan kehebatan saya. Saya adalah pencetak gol terbanyak turnamen," ujar Camara kepada Guinee News, tahun lalu.

"Saya sempat menjalani trial di Nancy (Prancis). Tapi, mereka tidak menerima saya. Selanjutnya klub Divisi II Belgia, Sint-Niklase mengontrak saya 4 tahun. Setelah itu saya dikontrak 2 tahun di klub Divisi I, Zulte Waregem. Dari Belgia saya ke China untuk bermain di Yunnan Hongta dan Chengdu Wu Niu," tambah Camara.

"Selama 3 tahun karier di China dan dimanapun saya bermain dalam karier internasional saya, saya selalu masuk dalam daftar tiga pencetak gol terbanyak dari berbagai kejuaraan terkait," beber pria kelahiran Conakry, 9 Desember 1973, itu.

Pengalaman di China membawa Camara ke Indonesia. Pada 2003, agen pemain membawa Camara ke Bontang untuk memperkuat PKT. Di Stadion Mulawarman, Camara dengan cepat menjadi pemain pujaan suporter. Gol demi gol lahir seiring performa PKT di kompetisi sepakbola kasta tertinggi Indonesia.

Kepada orang-orang di Guinea, Camara mengaku menjadi pemain terkenal di Asia Tenggara. "Saya berhenti bermain sepakbola pada 2012 di klub Divisi III Thailand (Nonthaburi FC). Saya cedera setelah menjalani kontrak 2 tahun. Saya tidak tahan sehingga memutuskan berhenti dari permainan ini," ujar Camara.

"Tapi, sebelumnya saya juga pernah bermain di Indonesia selama 5 musim. Di PKT Bontang. Di Divisi Utama. Masa tinggal saya di negara ini (Indonesia) luar biasa. Di Thailand, saya mampu mengangkat klub dari posisi 19 ke peringkat 3. Saya adalah pencetak gol terbanyak turnamen," ungkap Camara.

Sayang, karier brilian Camara tercoreng ketika kembali ke Indonesia untuk menjadi pelatih Bontang FC pada IPL 2013. Klub penerus PKT itu mencederai sportivitas saat menjalani play-off Grup K melawan PSLS Lhokseumawe. Pertandingan penentuan itu dimenangkan Bontang 4-3.

Ketika hari pertandingan, Camara diplot sebagai pelatih kepala Bontang. Tapi, karena lisensi belum memenuhi syarat yang digariskan, dia ditulis sebagai manajer agar bisa duduk di bench.

Camara disebut sebagai pihak yang membagikan uang kepada pemain. Uang tersebut berasal dari pihak ketiga bernama Michael, yang diduga mafia dari Malaysia. Uang itu diberikan melalui Yusuf, yang disebut berasal dari Surabaya. Camara kemudian membagikan uang kepada pemain di hotel.

Kasus itu terungkap terungkap setelah kecurigaan atas hasil pertandingan tidak wajar dengan indikasi pengaturan skor melalui Early Warning System (EWS) yang dimiliki FIFA. Akibatnya, Camara dihukum tidak diizinkan terlibat dalam sepakbola Indonesia seumur hidup. Sementara klub dilarang bermain 2 tahun dan terdegradasi ke kompetisi kasta terendah plus denda Rp100 juta.

Salah satu faktor terjadinya suap adalah gaji para pemain yang tidak dibayar berbulan-bulan karena dana dari konsorsium IPL tidak cair. "Camara mengakui semuanya kepada kami. Tapi, dia menyebut uang itu berasal dari sponsor yang diberikan kepada pemain," kata Ketua Komisi Disiplin PSSI ketika itu, Hinca Panjaitan.

Akibat hukuman itu, Camara terpaksa pulang ke Guinea. Tapi, dia tidak bisa jauh dari sepakbola. Dia segera mengambil kursus kepelatihan di Asosiasi Sepakbola Guinea (FGF) yang dilanjutkan ke Konfederasi Sepakbola Afrika (CAF). Saat ini, Camara bergabung dengan salah satu klub elite Guinea, Horoya AC. Camara merupakan pelatih tim cadangan (U-21).

"Seperti yang saya katakan, Horoya adalah klub pertama saya di Guinea. Anda tahu alasannya. Ayah saya adalah penggemar sejati klub. Saya juga pernah  bermain dan memenangkan 4 trofi di sini. Jadi, jelas alasan mengapa saya kembali," kata Camara saat ditunjuk melatih tim muda Horoya.

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network