Kisah Swansea City Boikot Medsos Terkait Rasialisme, Mirip Kasus Patrich Wanggai

"Korban serangan tidak hanya pemain Afrika, tetapi juga keturunan Asia."

Feature | 24 April 2021, 13:45
Kisah Swansea City Boikot Medsos Terkait Rasialisme, Mirip Kasus Patrich Wanggai

Libero.id - Serangan rasial di media sosial yang sempat menimpa Patrich Wanggai setelah PSM Makassar mengalahkan Persija Jakarta di Piala Menpora ternyata juga terjadi di kompetisi Inggris. Untuk meresponsnya, Swansea City memutuskan memboikot semua akun media sosial miliknya.

Manajemen Swansea telah memutuskan untuk tidak memposting konten media sosial apapun selama 7 hari mulai pukul 17.00 (8/4/2021) lalu. Hal itu sebagai protes karena selama berbulan-bulan sejumlah pemain The Swans pemain menjadi target serangan online dengan motif rasial.

Keempat pemain tersebut adalah Yan Dhanda, Ben Cabango, Rabbi Matondo, dan Jamal Lowe. Ini aneh karena tiga serangan di dunia maya yang menyasar 4 orang itu tidak hanya terkait pemain berkulit hitam keturunan Afrika, melainkan juga yang memiliki darah Asia.

Dhanda contohnya. Lahir di Birmingham, 14 Desember 1998, dan tumbuh di Tipton, gelandang serang merangkap winger itu memiliki kakek dan nenek yang berasal dari Punjab, India. Dia merupakan lulusan West Bromwich Albion dan Liverpool, yang bergabung dengan The Swans pada 2018.

Serangan rasial didapatkan Dhanda setelah Swansea bertemu Manchester City pada Putaran V Piala FA, 10 Februari 2021. Saat itu dia mendapatkan kesempatan bermain 77 menit dan Man City unggul 3-1. Entah apa yang melandasi, beberapa orang yang diketahui sebagai pendukung The Citizens menghina Dhanda dengan kata-kata yang tidak pantas melalui Facebook.

"Bagaimana mungkin ini masih terjadi pada 2021? Saya sangat bangga dengan siapa saya dan mewakili orang Asia. Ada banyak hal yang harus dilakukan (untuk melawan rasialisme)," tulis Dhanda di Twitter saat itu.

Setelah Dhanda, serangan rasial berlanjut kepada Cabango dan Matondo. Keduanya berusia 20 tahun dan menerima pesan kasar di Instagram setelah Wales menang 1-0 atas Meksiko. Matondo mengkritik Instagram, sementara Asosiasi Sepakbola Wales (FAW) mengatakan "muak dengan pelecehan rasial".

Facebook, yang memiliki Instagram, mengatakan telah secara permanen menghapus akun dari mana pesan itu dikirim dan "berkomitmen untuk berbuat lebih banyak". Kemudian, Kepolisian South Wales mengatakan sedang "menyelidiki asal mula posting media sosial bermotivasi rasial" yang ditujukan kepada Cabango dan Matondo.

Dalam sebuah pernyataan resminya kepada BBC Sport, juru bicara Facebook mengatakan: "Kami tidak ingin pelecehan rasis di Instagram dan telah menghapus akun yang mengirim pesan ini ke Ben Cabango dan Rabbi Matondo".

"Kami telah membuat alat yang berarti figur publik tidak perlu menerima DM (pesan langsung) dari orang yang tidak mereka ikuti dan kami baru-baru ini mengumumkan bahwa kami akan mengambil tindakan lebih keras saat mengetahui ada orang yang melanggar aturan kami," tambah pernyataan Facebook di Britania Raya.

"Pekerjaan ini sedang berlangsung dan kami berkomitmen untuk berbuat lebih banyak. Kami juga tahu masalah ini lebih besar dari kami. Begitu juga dengan industri, pemerintah, dan lainnya untuk bersama-sama mendorong perubahan masyarakat melalui tindakan dan pendidikan," bunyi pernyataan lanjutan Facebook.

Lalu, apakah pelecehan itu berhenti? Ternyata tidak! Pada 2 April 2021 setelah pertandingan Swansea melawan Birmingham City di St Andrew's Stadium, giliran Lowe yang dihina di Instagram.

"Ini adalah ketiga kalinya (kasus ketiga) dalam kurun waktu 7 minggu ketika salah satu pemain kami menjadi sasaran pesan yang sangat menjijikkan. Kami terus menyerukan kepada perusahaan media sosial untuk melangkah lebih jauh guna memberantas tingkat laku mengerikan ini dari platform mereka," kata juru bicara Swansea.

Sama seperti kasus-kasus sebelumnya, Facebook juga bertindak. Begitu pula Kepolisian setempat. Inspektur kepala Kepolisian South Wales, Lloyd Williams, menyatakan pihaknya tidak tinggal diam saat mengetahui aksi pelecehan terjadi di dunia maya.

"Perilaku ini adalah sesuatu yang tidak akan ditoleransi di komunitas kami. Petugas kami telah menangani kejahatan rasial dengan serius dan kami telah bekerja sama dengan mereka yang terlibat dalam sepakbola untuk meningkatkan kesadaran terhadap kejahatan rasial di antara pemain maupun suporter," ungkap Williams.

Dengan 1 juta pengikut di Twitter dan 385 ribu lainnya di Instagram, Swansea memiliki jangkauan 3,5 juta orang di media sosial. Karena itu, manajemen memutuskan salah satu cara untuk melawan rasialisme di dunia maya adalah dengan tidak memposting apapun.

Klub dari Wales yang saat ini tampil di Championship Division tersebut menyerukan kepada klub-klub lain, khususnya di Liga Premier mengikuti langkah mereka. Cardiff yakin jika semua tim sepakbola di Inggris bersatu melakukan boikot media sosial, dampak yang ditimbulkan akan sangat besar.

"Ini adalah keputusan yang kuat dan mudah-mudahan mendapatkan banyak daya tarik. Meski hanya membantu sedikit, itu akan menjadi hal yang baik daripada tidak berbuat sama sekali," kata Pelatih Swansea, Steve Cooper, dikutip Four Four Two.

"Pertama dan terpenting adalah kami ingin menunjukkan dukungan secara internal. Kami ingin bergabung dalam perjuangan yang lebih besar melawan diskriminasi secara umum. Jika ini membuat orang berpikir tentang apa lagi yang bisa dilakukan, maka bagus," tambah Cooper.

"Ini akan bagus (jika orang lain bergabung dengan Swansea). Tapi, itu adalah hak prerogatif klub dengan cara mereka menangani bentuk-bentuk diskriminasi. Tapi, bagi kami, itu nyata. Sayangnya, beberapa pemain kami berada di ujung yang salah dalam penyalahgunaan, dan kami tidak mendukung semua itu," pungkas mantan pelatih Inggris U-17 itu.

Baca Berita yang lain di Google News




Hasil Pertandingan Swansea City


  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network