Kisah Graziano Pelle, Penari Ballroom hingga Pendobrak Italia di Euro 2016

"Pelle pernah menolak berjabat tangan dengan pelatihnya."

Feature | 03 July 2021, 05:26
Kisah Graziano Pelle, Penari Ballroom hingga Pendobrak Italia di Euro 2016

Libero.id - Euro 2020 telah menjadi turnamen internasional paling digandrungi, walau turnamen akbar di Benua Biru itu sempat tertunda karena pandemi Covid-19.

Di antara banyak kontestan yang tampil, yang menarik adalah Italia. Mereka seperti terlahir kembali sebagai tim tangguh yang tak terkalahkan di bawah racikan Roberto Mancini.

Ini merupakan perubahan besar dari taktik defensif tim Italia di turnamen sebelumnya. Sebuah penampilan yang luar biasa setelah gagal lolos ke Piala Dunia 2018, dan perubahan penting dari Euro terakhir lima tahun lalu, ketika mereka bermain dengan serangan yang sangat berbeda.

Kini, Mancini lebih memanfaatkan kecepatan di lini depan dengan mengandalkan Ciro Immobile, Lorenzo Insigne, dan Domenico Berardi.

Sementara di bawah pelatih Italia sebelumnya, Antonio Conte, pada Euro 2016. Gli Azzurri hanya memiliki senjata sangat berbeda dengan mengandalkan Graziano Pelle sebagai pendobrak di lini depan.

Pelle adalah salah satu pemain yang terlambat berkembang di level internasional. Dia baru membuat penampilan senior Italia pertamanya saat berusia 29 tahun dan hanya mengumpulkan 20 caps secara total.

Namun, dia seperti menjadi penangkal petir pada permainan Italia saat mereka mampu mengalahkan Belgia dan Spanyol di Prancis. Dia juga salah satu pemain yang sukses memenangkan adu penalti untuk menyingkirkan Jerman di perempat final.

Jalan Pelle ke puncak kariernya cukup berliku-liku. Dimulai dari kota asalnya Lecce, di mana dia awalnya berlatih dansa di ballroom. Dia kemudian menjadi juara nasional pada usia 12 tahun.
Dia tampil mengesankan dalam masa pinjaman ke Serie B bersama Crotone dan Cesena, tetapi jalan menuju tim utama tetap terhalang.

Pelle, pertama kali pindah ke Belanda bersama AZ Alkmaar, tetapi gagal untuk memantapkan dirinya sebagai pencetak gol reguler secara konsisten selama empat musim. Dia hanya mendapatkan medali Eredivisie pada 2009.

Kembalinya ke Italia bersama Parma juga tidak berhasil. Bahkan, saat Feyenoord merekrutnya pada 2012, tampak sebagai pilihan yang aneh. Bagaimanapun, ini adalah striker yang telah mencetak 15 gol di liga papan atas selama lima musim sebelumnya.

Namun, penampilannya lebih baik dari yang diperkirakan siapapun karena Pelle akhirnya menemukan alurnya. 15 gol dalam lima musim, berubah menjadi 50 gol dalam dua musim.

Kepiawaian Pelle dalam duel udara ditambah ketangguhan fisiknya, dikombinasikan dengan sentuhan pertamanya yang bagus, serta penyelesaian akhir yang akurat membuatnya menjadi salah satu striker yang harus diperhitungkan.

Penampilannya yang bagus di Feyenoord membuatnya pindah ke Liga Premier. Dia menghabiskan dua tahun bersama Southampton.

“Kami ingin menggantikan Rickie Lambert. Ronald (Koeman) pernah bekerja dengan Graziano di Feyenoord. Graziano memiliki gaya yang sama, Anda tahu, mencetak rekor dll," kata mantan Wakil Ketua Southampton, Les Reed kepada FootballFanCast.

“Jadi, dari tiga pilihan striker, yang dipilih Graziano. Tidak perlu dipikirkan lagi karena pelatih (Koeman) mengenalnya, mempercayainya, tahu cara menanganinya, dan seterusnya,” tambah Reed.

Selama masa tugasnya yang sukses di St Mary's, Pelle juga menarik perhatian Conte, yang ditunjuk sebagai pelatih Italia setelah tersingkirnya Gli Azzurri di fase grup di Piala Dunia 2014.

Pelle pernah bermain untuk Italia di level U-21 dan berada di skuad Italia di Olimpiade 2008 di Beijing. Tetapi, harapan untuk dipanggil timnas senior tampak tidak masuk akal sampai Conte datang dan memanggilnya.

Pelle mencetak gol terbanyak di kualifikasi Euro 2016 untuk Italia dengan tiga gol.

Pelle mencetak gol tendangan voli untuk melengkapi kemenangan 2-0 atas Belgia di pertandingan pembukaan mereka, sebelum mengulangi prestasi itu untuk menutup skor yang sama melawan juara bertahan Spanyol di babak 16 besar.

Namun, seperti yang ditunjukkan Euro ini, pahlawan dapat dengan cepat berubah menjadi penjahat. Pelle gagal mengeksekusi penalti dalam kekalahan adu penalti 6-5 dari Jerman.

Dia tetap dalam set-up di bawah penerus Conte, Gian Piero Ventura. Tetapi, selama kualifikasi 2018 melawan Spanyol, Pelle menolak jabat tangan dengan pelatih baru saat dia digantikan.

Alhasil, Pelle dipulangkan dari skuad dan tidak pernah dipanggil lagi. “Mewakili tim nasional Italia melibatkan berbagai nilai dan menunjukkan sikap yang sesuai dengan status seragam Azzurri," bunyi pernyataan Federasi Sepakbola Italia (FIGC).

“Ini dimulai dengan hubungan seorang pemain dengan staf, rekan satu timnya, dan para pendukung. Pemain akan kembali ke klubnya hari ini,” timpal FIGC.

Pelle sempat menimpali itu lewat akun media sosial miliknya, Instagram. "Sayangnya, itu terjadi lagi dan saya telah mengacau."

Itu adalah situasi yang tidak menguntungkan. Ini tentu tidak menguntungkan Italia. Tanpa titik fokus serangan, mereka menempati posisi kedua setelah Spanyol hingga dipermalukan Swedia di babak play-off. Hasil buruk itu memicu pemecatan Ventura dan mengantarkan era Mancini.

Bagi Pelle, dia jelas masih punya banyak hal untuk diberikan, bahkan sekarang tetap dihormati di Italia. Juventus sempat mempertimbangkan merekrut pemain berusia 35 tahun itu disaat Nyonya Tua krisis gol pada Januari 2021.

Namun, puncak karier pemain yang pernah berkarier di klub Liga Super China, Shandong Luneng, itu terjadi pada 2016. Penampilannya seolah seperti akan membawa Italia merebut mahkota Eropa. Dan, inilah yang sekarang ingin dicapai Gli Azzurri setelah lima tahun tidak tampil di pentas internasional.

(diaz alvioriki/yul)

Baca Berita yang lain di Google News




  • 0%Suka
  • 0%Lucu
  • 0%Sedih
  • 0%Kaget

Opini

(500 Karakter Tersisa)

Artikel Pilihan


Daun Media Network